Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kebijakan Kala Negara Mengemis Pajak, Rakyat Meringis Diburu Pajak

×

Kebijakan Kala Negara Mengemis Pajak, Rakyat Meringis Diburu Pajak

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja

Pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh. Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan, setiap orang pribadi yang memiliki NIK tidak otomatis menjadi wajib pajak dan tidak diharuskan membayar pajak.

Baca Koran

Di dalam Undang-Undang Perpajakan telah mengatur dengan jelas bahwa wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia dan mempunyai penghasilan melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta per bulan. Penghasilan di bawah angka tersebut, tentu tidak wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. Dengan diresmikannya penggunaan NIK sebagai NPWP justru dinilai mempermudah administrasi bagi kedua belah pihak, baik bagi masyarakat maupun pemerintah.

Mendengar kata “pajak” pasti identik dengan tarikan yang negara bebankan kepada rakyat. Namun, tarikan tersebut rupanya membawa nasib mujur bagi sebagian masyarakat. Para pegawai pajak akan menerima bonus tunjangan sebesar Rp5,36 juta sampai Rp117,37 juta untuk para pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Sungguh angka yang fantastis. Bagi pemerintah, capaian tersebut adalah prestasi yang membanggakan sehingga negara perlu memberi mereka penghargaan atas jerih payah membukukan pajak sesuai target yang telah ditentukan. Sebagaimana kita ketahui, pajak adalah salah satu sumber devisa terbesar di negeri ini.

Pasalnya, pada 2022 rakyat harus bersiap dengan kenaikan berbagai bahan pokok di depan mata. Mulai dari harga minyak goreng, telur, hingga kenaikan tarif PPN sebanyak 11 persen. Kenaikan tarif PPN ini diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang baru saja disahkan. Aturan ini mulai berlaku pada April 2022 mendatang. Belum lagi kenaikan tarif dasar listrik, premium yang bakal “pensiun”, hingga naiknya LPG nonsubsidi.

Di negara penganut kapitalisme seperti Indonesia, pajak adalah lumbung pendapatan negara. Meski kaya SDA, tidak lantas membuat Indonesia memiliki pemasukan yang besar. Indonesia justru menumpuk utang yang mustahil terbayar dalam waktu singkat. Untuk melunasi utang dan pembiayaan APBN, negara membutuhkan “suntikan” dana yang besar. Salah satu suntikan tersebut berasal dari penerimaan pajak. Mau tidak mau, Kementerian Keuangan akan selalu mencari seribu celah dan cara agar capaian penerimaan pajak dapat mencukupi anggaran belanja negara.

Tidak heran jika negara sangat getol menarik pajak dari rakyat dalam segala bentuk. Seperti, pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, pajak penjualan barang mewah, PBB, cukai, bea materai, pajak kendaraan bermotor, pajak reklame,  restoran, hotel, penerang jalan, parkir, dan lainnya. Bahkan jasa pelayanan kesehatan, sosial, dan pendidikan pun tidak luput dari tarikan pajak.

Intinya, di kehidupan serba kapitalistik, tiada hidup tanpa pajak. Nahasnya, penarikan pajak rakyat tidak berbanding lurus dengan kebijakan penguasa terhadap masyarakat. Negara justru membebani rakyat dengan berbagai kenaikan bahan pokok yang tentu saja akan berimbas pada daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat menurun, pendapatan mereka pun ikut menurun. Ibarat kata, pembayar pajak merana, penerima pajak malah bersuka cita.

Mengingat, kebijakan yang mereka ambil seringkali berat sebelah. Sebagai contoh, kesejahteraan pegawai dan pejabat begitu diutamakan, tetapi kebutuhan pokok serta kesejahteraan rakyat mereka abaikan. Untuk pegawai dan pejabat negara, jumlah bonus dan tunjangan kinerja sangat besar, sementara UMP untuk buruh hanya naik 1,09 persen.

Kalaulah ada bantuan sosial, itu pun tidak merata, masih dikorupsi pula. Alih-alih mendapat bonus, setiap akhir tahun rakyat selalu mendapat hadiah nyelekit dengan naiknya berbagai harga barang. Sejatinya, rakyat membutuhkan tunjangan berupa kejelasan pernafkahan, lapangan kerja, dan jaminan kebutuhan dasar yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Namun, hingga saat ini, negara melalaikan tugas utamanya sebagai pengurus rakyat. Penguasa hanya peduli kesejahteraan untuk dirinya, kepentingannya, dan kelompoknya.

Baca Juga :  Beda Agama

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Taz Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan, menaikkan tarif PPN memunculkan situasi dilematis. Pasalnya, jika tarif PPN naik, beban pajak bagi masyarakat akan bertambah meski penerimaan negara dapat meningkat. Jika tarif PPN tetap, beban bagi rakyat tetap, sedangkan kondisi keuangan negara dapat makin mengkhawatirkan karena utang terus bertambah.

Ditambah lagi, kenaikan tarif PPN akan menurunkan omzet penjualan. Meski begitu, pemerintah membutuhkan pajak selain utang sebagai alternatif sumber pembiayaan negara maka menaikkan tarif PPN untuk meningkatkan penerimaan negara memang hal yang logis. Di saat yang bersamaan, pengusaha dan konsumen yang “berteriak” juga sangat wajar. Masing-masing pihak memiliki kepentingan dan rasionalitas sendiri-sendiri atau bounded rationality atas PPN.

Tentu jawabannya adalah kepentingan pemerintah. Seperti makan buah simalakama, tarif PPN naik maka rakyat jadi korban. Kalau tidak naik, keuangan negara yang tidak bisa diselamatkan. Kondisi tarik ulur kepentingan selalu terjadi dalam sistem demokrasi. Pejabat negara sering menyampaikan bahwa kepentingan rakyat di atas segalanya, itu hanya sekadar janji, tidak perlu dimasukkan ke dalam hati.

Di tengah kesulitan rakyat menjangkau harga minyak goreng, saat pejabat terkait mengatakan biaya pembangunan IKN bisa berasal dari masyarakat lewat crowd funding, malah Menkeu dengan ringannya mengatakan menaikkan tarif PPN bukan untuk menyusahkan rakyat. Sepertinya empati memang bukan sifat dari para pemangku kekuasaan dalam demokrasi. Betapa tidak, perusahaan besar mendapat keringanan pajak dari pemerintah.

Bahkan katanya diberikan banyak fasilitas, salah satunya perusahaan smelter Cina di RI tidak perlu bayar pajak. Situasi ini berbanding terbalik dengan kebijakan PPN, pajak akan dibebankan kepada masyarakat luas. Ekonom Faisal Basri menilai keputusan pemerintah untuk mengerek PPN sangat memaksakan. Ia pun menanyakan keberpihakan pemerintah yang seakan-akan membuat kebijakan untuk masyarakat Cina bukan RI. Perusahaan Cina mendapat fasilitas royalti nol persen. Sementara tarif PPN dinaikkan untuk dibebankan pada rakyat.

Negeri di mana warga RI lahir dan dibesarkan, tetapi kebijakan yang diputuskan tidak pernah pro pada kepentingan rakyat melainkan sang tuan investor. Semestinya memang rakyat marah dan tidak mempercayai lagi semua kebijakan rezim demokrasi. Jika terus begini layaklah demokrasi diganti dengan sistem Islam yang berkeadilan dan menjamin kesejahteraan.

Dalam sistem demokrasi, pemerintah mengatasi defisit anggaran dengan melakukan utang dan meningkatkan pendapatan lewat pajak. Pendapatan pajak dijadikan basis utama APBN, sementara pendapatan dari sektor SDA ditiadakan. Menaikkan tarif pajak dianggap win-win solution mengatasi krisis keuangan negara. Sementara, dalam Khilafah, jika terjadi defisit anggaran yakni penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran yang wajib dipenuhi maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim dalam bentuk pajak yang sifatnya sementara atau pinjaman. Khalifah akan menerapkan pajak pada masyarakat yang kaya.

Artinya, pajak tidak dibebankan pada masyarakat luas. Menurut Abdul Qadim Zalum, jika terjadi kekurangan pendapatan dari sumber pendapatan yang ditetapkan dalam Islam untuk membiayai pengeluaran, Khalifah dapat menerapkan pajak. Syaratnya, terdapat kebutuhan untuk menutupi kebutuhan dan kemaslahatan kaum muslim.

Masyarakat yang kaya akan membayar pajak untuk belanja yang hendak dibiayai baitulmal yaitu di antaranya pembiayaan jihad, industri militer, pemberian bantuan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, pembiayaan gaji orang yang diupah negara seperti tentara, pegawai, hakim, dan guru. Pun, pembiayaan untuk kemaslahatan yang dibutuhkan seperti bencana, gempa bumi, longsor, dan banjir.

Baca Juga :  PRODUK LOKAL

Selain menerapkan pajak bagi orang kaya, Khalifah juga bisa melakukan pinjaman. Meminjam dengan cara mempercepat pembayaran zakat dan kharaj bagi warga Khilafah, yang nantinya kewajiban mereka yang jatuh tempo akan dikurangi sesuai dengan utang negara kepada mereka. Negara pun mendorong rakyatnya untuk memberikan bantuan untuk membantu negara menangani masalah keuangan. Hal itu dilakukan rakyat dengan penuh ketaatan dan kelapangan hati.

Khilafah akan berupaya seoptimal mungkin mengatasi krisis keuangan negara tanpa membebankan rakyat dengan berbagai pungutan. Mengutamakan pembelanjaan negara dari sumber pendapatan yakni harta anfal, ganimah, fai, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya ialah harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur, dan harta sedekah/zakat. Khalifah sangat memahami hadist Rasulullah SAW, “Barang siapa melepaskan kesusahan duniawi seorang muslim, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat”. (HR Muslim)

Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama dalam penerimaan baitulmal (sebutan APBN dalam Khilafah). Perlu diketahui, dharibah atau pajak dalam Islam jauh berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme. Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga. Hanya kaum muslim yang kaya saja yang dipungut dharibah. Skema pemungutannya pun bersifat temporal, hanya jika kas negara kosong dan saat itu butuh dana sesegera mungkin.

Misalnya, ketika negara butuh dana untuk menanggulangi bencana, tetapi kas negara kosong, kewajiban pun jatuh pada kaum muslim yang kaya. Dari sinilah dipungut dharibah atas mereka. Akan tetapi, setelah kas negara terisi kembali dan keperluan selesai, penarikan dharibah harus dihentikan. Meski demikian, kondisi baitulmal yang kosong sangat jarang terjadi. Ini karena ada regulasi kepemilikan yang mengharamkan swasta untuk memiliki SDA yang menjadikan sumber kas negara melimpah. Begitu pun pengeluaran yang mengenal skala prioritas, akan menahan pembangunan yang dianggap tidak urgen dibutuhkan umat.

Islam telah menetapkan bahwa kepengurusan atas kemaslahatan serta kesejahteraan rakyat berada di pundak penguasa. Mereka wajib memenuhi dan menjamin apa yang dibutuhkan rakyat. Inilah tugas pokok negara, yakni riayah suunil umat (mengurus berbagai keperluan umat). Dalam sistem Islam, pajak adalah opsi terakhir jika kas negara benar-benar kosong. Itu pun hanya dikenai pada orang-orang kaya saja. Adapun pemasukan negara berasal dari pengelolaan SDA, harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, usyur, dll.

Negara yang bijak tidak akan memalak rakyat dengan pajak. Bagi rakyat, membayar pajak itu seperti rantai berat yang mengikat kaki dan tangan mereka. Bagi penguasa, menarik dan menerima pajak mungkin semudah mengisi pulsa. Jika pendapatan negara menipis, saldo keuangan negara diisi dengan tarikan pajak dari rakyat. Di sinilah urgensi kepemimpinan amanah dengan penerapan sistem yang membawa berkah. Penguasa yang mampu mengelola negara tanpa bergantung pada pajak. Hanya dengan penerapan sistem Islam serta kepemimpinan amanah, rakyat tidak akan lagi merasakan kebijakan yang berat sebelah serta beban berat ekonomi.

Oleh karenanya, perlu tersampaikan pada umat bahwa negara mengemis pajak pada rakyatnya hanya akan ditemukan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Padahal, pajak bukanlah satu-satunya sumber pemasukan negara. Ada sumber pemasukan lain yang seharusnya masuk kas negara. Akan tetapi, akibat liberalisasi kepemilikan, sumber pemasukan tersebut malah masuk kantong korporasi. Perlu juga tersampaikan bahwa penguasa rakus yang tega mengambil uang rakyat dan menetapkan kebijakan yang pro korporasi sejatinya lahir dari sistem politik demokrasi.

Iklan
Iklan