Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kurikulum Merdeka : Dapatkah Menguatkan Karakter Pelajar?

×

Kurikulum Merdeka : Dapatkah Menguatkan Karakter Pelajar?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhandisa Al-Mustanir
Pemerhati Kebijakan Publik

Seluruh sekolah di Banua yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayan Kalsel sudah menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar. Hal ini dilakukan untuk mengejar ketertinggalan di masa pandemi Covid-19. Dikutib dari Jejakrekam.com (21/7/2022) – Menurut Kadisdikbud Kalsel Muhamaddunusai, Rapat Kurikulum Merdeka Belajar fokus pada pembelajaran intrakurikuler yang beragam dan lebih intensif, sehingga peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep serta memperkuat kompetensinya terhadap bidang tertentu.

Baca Koran

“Guna mengejar keteringgalan dunia pendidikan di masa pandemi Covid-19 selama dua tahun, seluruh kalsel menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar 100 persen,” ucap Kadisdikbud Kalsel, Muhamaddunusai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPRD Kalsel. Ia mencontohkan, misalnya guru selama seminggu penuh fokus belajar suatu mata pelajaran tidak masalah, selama jam belajarnya terpenuhi. Pihaknya berpendapat dengan menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar akan mampu mencetak SDM berdaya saing dalam dunia global, yang tentunya harus disiapkan sejak dini.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Kalsel, HM Lutfi Saifuddin mengatakan untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan selama pandemi Covid-19, diperlukan pembentukan karakter anak didik. Menurut Lufti, pandemi Covid1-9 menyebabkan adanya penurunan pembelajaran peserta didik dibandingkan sekolah tatap muka di masa normal.

Sebelumnya, adanya Pandemi Covid-19 memang berdampak sangat serius bagi kualitas pembelajaran. Terlebih penerapan Kurikulum 2013 dinilai memberatkan sehingga pembelajaran daring tidak efektif. Maka penyederhanaan kurikulum pun menjadi pilihan kebijakan.

Selanjutnya, disusunlah Kurikulum Merdeka dengan arah: pertama, struktur kurikulum lebih fleksibel, jam pelajaran ditargetkan untuk satu tahun, bukan per minggu sebagaimana yang selama ini berjalan. Kedua, fokus pada materi esensial, tidak terlalu padat seperti sekarang. Ketiga, memberikan keleluasaan bagi guru menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Dalam hal ini guru juga dapat memberikan pembelajaran sesuai dengan konteks dan muatan lokal. Keempat, adanya aplikasi yang menyediakan berbagai referensi bagi guru untuk terus mengembangkan praktik mengajar secara mandiri dan berbagai praktik baik. Penyederhanaan kurikulum dan fleksibilitas menjadi hal paling menonjol sehingga paling mudah diterima oleh banyak kalangan sebagai solusi di masa pandemi.

Namun hal yang perlu kita cermati di sini adalah bagaimana implementasi dari kurikulum Merdeka Belajar ini dapat berpengaruh untuk membentuk karakter terbaik bagi pelajar? Disamping membentuk intelektualitas semata? Sedang Polemik konsep Merdeka Belajar sendiri masih menyisakan banyak PR.

Contohnya draf Peta Jalan Pendidikan 2020—2035 pun belum berhenti menuai kontroversi. Menjelang tahun baru 2022, ditambah penerbitan Permendikbud 30/2021 dan gelombang panas isu pengesahan RUU TP-KS, nasib generasi sungguh sedang dipertaruhkan.

Baca Juga :  BERKURBAN

Tidak adanya frasa “agama” dalam draf Peta Jalan Pendidikan 2020—2035, jelas memunculkan kontroversi. Padahal, draf tersebut memuat visi pendidikan 2035. Berikut ini bunyinya: “Visi Pendidikan Indonesia 2035. Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.” (Detik, 9/3/2021).

Sementara itu, frasa budaya tertulis bergandengan dengan Pancasila. Padahal, Pancasila “tanpa” agama malah jadi rancu. Pancasila sendiri selama ini diklaim terumus dari nilai-nilai agama. Sila pertama Pancasila menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa dan negara yang relijius, bukan sekuler. Karenanya, tidak mungkin bangsa Indonesia mengesampingkan agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (Republika, 9/3/2021).

Sehingga, makna ‘Merdeka’ di dalam kurikulum ini menuai multitafsir, apakah merdeka yang dimaksud adalah asas Kebebasan yang diusung oleh paham Sekuler? Jika iya, maka hal ini justru menjadi bencana serius untuk pembentukan karakter generasi penerus ke depannya. Masalahnya, dalam hal ini masyarakat tidak boleh mengabaikan sistem makro (supra sistem) yang berlaku di negeri ini. Mau diakui atau tidak, sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan bahwa nilai-nilai sekuler dan liberal kian menguat dalam kehidupan masyarakat. Terlebih adanya arus deras moderasi beragama dan adanya isu Deradikalisasi bagi perorangan atau sekelompok kaum muslimin, sejatinya makin menegaskan bahwa cepat atau lambat semua pihak harus menyadari bahwa negeri muslim terbesar di dunia ini memang sekuler dan liberal, dan Agama hanya sekedar formalitas saja.

Pergaulan Bebas, Narkoba, Kekerasan Seksual, suburnya eksistensi kaum LGBT di kalangan pemuda, serta kenakalan dan kriminalitas lain yang hari ini juga di dominasi dilakukan oleh para remaja, adalah dampak dari salahnya arah dan konsep pendidikan yang terterapkan. Yang mana, konsep pendidikan hari ini makin menghilangkan eksistensi Agama sebagai faktor penting dalam pembentukan karakter dan selfcontrol seseorang. Malah sebaliknya, menuju pada arah Sekuler dan Liberalisasi secara sempurna sebagaimana orang-orang Barat.

Oleh karenanya, sangat berbahaya dan hanya akan menjadi bom waktu jika masyarakat dan pemerintah tidak menyadari dampak negatif ini bagi generasi dan malah dengan sukarela menerimanya.

Dahulu, pada awal mula kehancuran Khilafah Islamiyah di Turki Utsmani, Barat mencoba memasukkan sejumlah ide dan paham Sekuler Liberal hampir di seluruh wilayah dunia Islam pada saat itu. Awalnya, ide ini dianggap asing, sampai kemudian paham Sekuler Liberal ini dimasukkan pada Kurikulum Pendidikan, dan berhasil memengaruhi sebagian besar kaum terpelajarnya, yang tidak selang beberapa lama kemudian paham dan ide ini menjadi opini umum di masyarakat dunia Islam.

Efek dominonya, paham dan ide Sekuler Liberal tidak hanya sekedar diterapkan di sektor pendidikan saja, namun kemudian merambat pada sektor perundang-undangan, hukum, politik, ekonomi, sosial, dan seluruh instrumen kenegaraan dan kehidupan masyarakat dunia Islam saat itu. Pasalnya, tidaklah penjajah kafir Barat menduduki suatu negeri, melainkan sambil berupaya menjadikan negeri itu berdiri dengan menerapkan seluruh undang-undang Barat, hingga warganya menganggapnya sebagai undang-undang sipil kendati isinya bertentangan dengan syariat Islam yang selama ini mengatur mereka.

Baca Juga :  BEDA AGAMA

Keberhasilan penjajah kafir Barat dalam hal ini didukung dengan makin mantapnya pilar-pilar berlandaskan politik pengajaran yang dibakukan. Hal ini berwujud metodologi pendidikan ala Barat (baca: sekuler) yang hingga saat ini masih berlaku di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Barat paham benar bahwa sistem pendidikan adalah kunci yang sangat efektif untuk menghasilkan pasukan besar para pengajar dan peserta didik yang akan bersedia menjaga dan melestarikan metodologi pendidikan sekuler ini. Upaya penjajahan barat yang baru ini pada akhirnya membuahkan hasil yang sangat signifikan, tidak hanya sekedar berhasil meruntuhkan dan hancurkan institusi kenegaraan kaum muslim yakni, Khilafah Turki Utsmani, serta berhasilnya barat menduduki negeri-negeri kaum muslimin itu, namun yang paling parah adalah efek dari Sekularisme dan Liberalisme yang ditanamkan benar-benar mengakar pada diri-diri kaum muslimin di seluruh dunia Islam, termasuk salah satunya di Indonesia. Maka tidak heran, jika hari ini kemampuan berp
ikir kaum muslimin di ambang memprihatinkan, bukan karena kekurangan SDM yang cerdas secara intelektual semata, namun krisisnya para pemuda muslim yang memahami agamanya secara menyeluruh, sehingga akhirnya meninggalkan Islam sebagai solusi tuntas atas segala problematika kehidupan, dan mencari solusi selainnya yang kemudian menjadi masalah yang jauh lebih besar.

Di dalam Islam, pendidikan tidak sebatas hanya transfer ilmu dan pengetahuan semata, namun lebih dari itu, Di dalam Islam ilmu pengetahuan tersebut haruslah bisa mengubah sikap dan perilakunya, serta bisa memberi kontribusi positif bagi kemaslahatan umat.

Kurikulum Pendidikan di dalam Islam dibangun atas landasan Akidah Islam sehingga aplikasi dan metodologinya harus selaras dengan Akidah Islam tersebut. Dari kurikulum ini, maka akan terlahir generasi-generasi yang mempunyai ketauhid-an yang kuat, sehingga lahirla pula pada mereka rasa takut kepada Allah SWT. Hal ini tentu, akan meminimalisir terjadinya kemaksiatan yang dilakukan.

Ditambah, tentu saja Kurikulum Pendidikan Islam ini tidak berdiri sendiri, namun harus disokong oleh sektor utama yang mendasarinya, seperti terterapkannya Ideologi Islam dalam politik, ekonomi, dan sosial. Sebab, faktor-faktor inilah yang sangat berpengaruh pada pembentukan karakter masyarakat tersebab nilai-nilai Islam yang diterapkannya.

Iklan
Iklan