Oleh : Dewi Yuanda Arga, S.Pd
Aktivis Muslimah
Sabtu, 1 Oktober 2022, menjadi malam kelabu bagi Indonesia. Stadion Kanjuruhan malam itu menjadi saksi bisu peristiwa mematikan di laga pertandingan Arema FC Vs Persebaya. Sebanyak 131 orang meninggal, 302 luka ringan, dan 21 luka berat. Pertandingan sepak bola itu berakhir tragis setelah terjadi kericuhan. Ratusan orang meregang nyawa diantaranya perempuan 42 orang, laki-laki 91 orang dan 37 orang anak dengan rentang usia 3-17 tahun, serta korban yang belum teridentifikasi usianya sebanyak 18 orang (Data sewaktu-waktu bisa berubah), mengutip keterangan pers Kemenpppa, Rabu (05/10/2022).
Tragedi di Kanjuruhan disebut-sebut sebagai insiden terburuk kedua sepanjang sejarah liga sepak bola di dunia. Pada Mei 1964 pernah terjadi kerusuhan mematikan antar pendukung tim Peru dan Argentina. 318 orang tewas, dan lebih dari 500 orang luka-luka.
Kronologis tragedi ini berawal dari pertandingan sepak bola klub Arema FC dengan Persebaya Surabaya dengan skor 2-3. Ini kali pertama Persebaya menang pertandingan atas Arema FC di kandang Arma setelah berjalan 23 tahun. Kekalahan itu ternyata menyulut supporter yang hadir di stadion Kanjuruhan Malang berhamburan turun kelapangan dan saat itulah gerombolan suporter, ditembakkan gas air mata oleh aparat. Kondisi justru menjadi semakin kacau karena gas air mata tak hanya diarahkan oleh aparat di lapangan untuk mengurai massa tetapi juga ditembakkan ke arah sejumlah tribun di stadion Kanjuruhan. Tembakan gas air mata inilah diduga kuat jadi pemicu tewasnya ratusan orang pada tragedi ini.
Tragedi kericuhan dikanjuruhan menimbulkan banyak pertanyaan mulai dari sejarah panjang kedua club, fanatik buta antar suporter, represifnya aparat dan kelalaian negara dalam mengatur asyarakatnya.
Fanatisme Buta Pendukung Klub Sepak Bola
“Football is my religion” ungkapan tersebut lahir dari fanatisme buta suporter sepakbola. Bahwasanya bagi penikmatnya, sepak bola telah memasuki aspek-aspek kehidupan sekali pun aspek paling vital atau sensitif.
Hal-hal tersebut melebur bersama klub kebanggaan dan merepresentasi harga diri masing-masing pendukungnya. Tak aneh jika di negara dengan penduduk yang fanatik sepak bola, sering terjadi konflik semata untuk mempertaruhkan “harga diri” mereka.
Fanatisme lahir sebagai bentuk ekspresi hasil dari kawin silang antara cinta dan rasa bangga. Bentuk ekspresi itu berangsur-angsur berubah menjadi sebuah keyakinan yang dibawa oleh masing-masing penganutnya dalam setiap laga kandang maupun tandang.
Keyakinan itulah yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan pola yang relatif sama. Fanatisme menjadi ciri bahwa sepak bola bukan perihal menang-kalah, tapi tentang nafkah, pertaruhan harga diri, bahkan hidup-mati.
Efeknya bukan hanya berimbas pada afeksi, bahkan sampai tingkah laku, keinginan lagi dan lagi, sepak bola telah menjadi candu. Rasa candu itulah yang telah menutup nalar sebagian “penganut” sepakbola dalam berperilaku. Mereka akan mencari cara apa pun demi memenuhi candu tersebut, dan bertindak kasar ketika ada pihak yang berusaha untuk “mensterilkan” mereka dari rasa candu itu.
Hal itu terlihat dari banyaknya kerusuhan yang terjadi saat klub kebanggaan kalah, dicurangi wasit, dizalimi federasi, dan berbagai hal lain yang menggambarkan fanatisme menjadi bekal ideologi suporter dalam menamengi klub kebanggaannya.
Anggapannya, membela sebuah klub sepak bola yang mewakili suatu kota/negara berarti telah membela seisi kota/negara tersebut. Maka tak aneh jika banyak ditemui konflik dua pendukung klub sepak bola justru terlihat sebagai konflik rasial, ideologi, juga politik.
Refresif dan Lalai
Gas air mata dianggap sejumlah kalangan di Indonesia sebagai pemicu seratus lebih suporter Arema tewas setelah kekacauan di Stadion Kanjuruhan, seusai pertandingan Arema melawan Persebaya.
Anggapan ini sangat mendasar dengan dibuktikannya rekaman serta kesaksiaan penonton dilapangan.Gas air mata pula menjadi banyak penyebab kejadian kematian didunia sepak bola yang didahului oleh panik akibat penggunaan gas air mata untuk meredakan suporter yang ricuh.
Setidaknya ada delapan kejadian akibat refresifnya aparat dalam menangani kericuhan suporter diantaranya di Peru pada 1964 yang menewaskan 318 orang, Tripoli pada 1968 yang menewaskan 30 orang, Haiti pada 1976 yang menewaskan enam orang, Brazil pada 1985 yang menewaskan tiga orang, Zimbabwe pada 2000 yang menewaskan 13 orang. Lalu tiga tragedi lain di Afrika Selatan, Kongo dan Ghana yang semuanya terjadi pada 2001 dengan terparah di Ghana dengan 126 orang tewas.
Polisi mengendalikan situasi dengan menembakkan gas air mata ke arah penonton. Tapi yang terjadi kemudian, suporter panik dengan spontan berlarian menghindari paparan gas air mata dan berusaha keluar dari stadion.
Desain stadion yang hanya memiliki sedikit pintu keluar, kemudian menjadi apa yang disebut Ghana Institue of Architects sebagai “perangkap maut” setelah ribuan orang menumpuk di depan pintu keluar stadion laksana efek leher botol.
The New York Times menulis judul: “Deadly Soccer Clash in Indonesia Puts Police Tactics, and Impunity, in Spotlight” Selasa,03/10/2022. “For years, tens of thousands of Indonesian have faced off against a police force that MANY SAY IS CORRUPT, uses brute force to suppress crowds and is accountable to NO ONE.”
Pada deskripsi tragedi Kanjuruhan, secara khusus mengenai gas air mata, dipakai istilah “WITHOUT WARNING, sprayed tear gas at tens of thousands of spectators crowded in a stadium.”
Metode polisi itu yang disebut memicu penyerbuan yang berujung kematian 133 orang, salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga dunia.
Sudut pandang ‘metode polisi’ tidak muncul di Kompas barometer media nasional. Kompas ‘main aman’ dengan mengangkat pernyataan Jokowi supaya kasus itu diinvestigasi tuntas dan diberi sanksi kepada yang bersalah.
Dari sekian berita tragedi Kanjuruhan , The Times ini relatif paling tajam menyorot polisi. Dia ulang lagi mengenai tindakan polisi yang melakukan “shot and killed” 10 orang dalam demo di Jakarta 2019; menembakkan gas air mata ke arah demonstran mahasiswa di Ternate, April lalu.
Kata The Times, polisi Indonesia tidak pernah seberkuasa dan ‘sekejam’ ini. Selama tiga dekade lebih Soeharto berkuasa, militer sering dianggap berkuasa. Namun selepas 1998, polisi berkuasa sangat.
Anggaran polisi pun jumbo. Tahun ini, kata The Times, anggaran polisi mencapai Rp107 triliun,naik dua kali lipat dari 2013. Anggaran untuk beli gas air mata tahun 2020 US$14,8 juta (Rp222 miliar, kurs Rp15.000).
Terus, baru pada Januari 2022, polisi keluarkan anggaran US$3,3 juta (Rp49,5 miliar) untuk beli pentungan.
Pernyataan Presiden Jokowi, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, amat lemah dan tidak menunjukkan karakter-kualitas seorang pemimpin yang kuat.
Ia menekankan soal tangga yang curam dan pintu yang tertutup. Itu tidak salah. Persoalan teknis semacam itu yang berkelindan dengan masalah manajemen pertandingan, audit bangunan dst memang penting ditelisik. Tapi, mengapa Jokowi menafikan masalah gas air mata yang jelas-jelas menjadi sinyal kuat ada yang tidak beres dalam tata kelola politik keamanan dalam negeri.
Memerintahkan audit menyeluruh dan pembentukan tim independen pencari fakta tidak cukup kuat menunjukkan sinyal kepada masyarakat bahwa Jokowi adalah pemimpin yang mumpuni untuk melakukan perubahan mendasar, yang mampu mengikat solidaritas nasional ke arah perubahan itu.
CNN Indonesia dan Koran Tempo mempertanyakan soal gas air mata itu. Media-media asing The New York Times memperkarakan ‘politik pengamanan’ oleh Polri.
Pemberitaan The Diplomat, The Guardian, ESPN, The Conversation. Bloomberg, bahkan menempatkan berita Kanjuruhan di kanal Politik, bukan olahraga, untuk menekankan pesan bahwa ini tak sekadar soal teknis olahraga tapi masalah kepemimpinan politik.
Melarang Fanatisme
Islam melarang fanatik terhadap golongan. Dari Jabir bin Muth’im, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud No. 4456)
Ashabiyah adalah fanatik buta. Bersikap membela dan mengikuti pihak yang menjadi sasaran Ashabiyah baik pihak tersebut benar ataupun salah. Benar atau salah tetap dibela. Ashabiyah dilarang karena seharusnya seseorang membela kebenaran. Kebenaran adalah yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Tidak boleh membela pihak yang salah dan menyimpang, meski orang tersebut satu suku, satu bangsa, atau orang dekat dia.
Islam tidak membedakan antara suku, kelompok, golongan, mazhab, dan bangsa. Islam melarang berbangga-bangga atas kesukuan atau golongan. Islam menghargai perbedaan. Berbeda bukanlah alasan untuk saling memusuhi, mencela, dan menghina. Andai tidak ada fanatisme, tentu tidak perlu ada harga atas nyawa manusia.
Membahayakan Peradaban
Kasus Kanjuruhan semestinya cukup untuk menjadi bahan muhasabah bagi penguasa di negeri muslim terbesar Indonesia, Bayangkan saja, ratusan juta rakyat, terutama generasi muda terobsesi oleh permainan yang sia-sia. Meski sepak bola adalah bagian dari jenis olahraga, tetapi suporternya sama sekali tidak mendapat manfaat menguatnya jiwa dan raga.
Waktu, tenaga, uang dan pikiran, mereka habiskan di stadion-stadion sepak bola. Bahkan, nyawa siap mereka pertaruhkan demi membela klub yang dicintainya. Mirisnya, negara berdiam diri atas kesesatan yang terjadi pada warganya. Para penguasa bahkan tidak peduli generasi muda menjadi rusak karenanya.
Padahal, negara atau penguasa sejatinya punya tanggungjawab besar menjaga rakyat dari segala hal yang membahayakan. Bukankah fungsi kepemimpinan adalah mengurus dan menjaga rakyatnya, sekaligus memastikan, generasi senantiasa dalam kebaikan?
Oleh karena itu, bagaimana mereka mempertanggungjawabkan nyawa rakyat yang hilang sia-sia lantaran kelalaian dalam menjalankan amanah kepemimpinan? Cukupkah dosa ini ditebus hanya dengan meminta maaf dan memberi santunan alakadarnya?
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya dunia ini dan seisinya hancur lebur itu lebih ringan di sisi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak”.