Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Jaminan Keamanan Transportasi Publik

×

Jaminan Keamanan Transportasi Publik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Maulana Achmadi, S.Sos, MAP
Asisten Pemeriksaan Laporan, Perwakilan Ombudsman RI Kalsel

Masih hangat diingatan, kejadian beberapa waktu yang lalu di Kalimantan Selatan, seorang wanita yang naik transportasi publik Bus Rapid Transit (BRT) Banjarbakula, tiba-tiba dianiaya oleh orang tidak dikenal di dalam bus yang ditumpanginya. Peristiwa ini terjadi di tengah orang banyak, di dalam sarana transpotasi publik, bahkan dilakukan persis di depan anak-anak. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, adakah jaminan keamanan dan keselamatan bagi penumpang moda transportasi publik?

Android

Sayangnya, kejadian ini terjadi di tengah mulai meningkatnya animo masyarakat menggunakan transportasi publik, khususnya bus. Sebab, selain BRT Banjarbakula, sebelumnya juga sudah ada Bus Trans Banjarmasin yang melayani rute sekitar Kota Banjarmasin dan menghubungkan dengan sarana transportasi publik lainnya. Belum lama ini juga mulai dioperasikan Bus baru, yang tergabung dalam Buy The Service (BTS) Teman Bus, dengan rute Trans Banjarbakula, yang dioperasikan oleh Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah XV Kalimantan Selatan, di bawah naungan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.

Wanita yang menjadi korban penganiayaan di dalam moda transportasi publik tersebut jelas tidak berdaya, sopir bus juga tidak dapat berbuat banyak, hanya berupaya segera menghentikan busnya setelah mendengar terjadinya penganiayaan, mengingat penganiayaan terjadi saat bus sedang dalam keadaan berjalan. Upaya pertolongan justru dilakukan oleh penumpang bus yang lain, yang secara refleks menolong wanita yang menjadi korban tersebut, dan kemudian memaksa pelaku penganiayaan keluar dari bus.

Fenomena penganiayaan tersebut harus disadari oleh pengguna layanan, bahwa hal tersebut bisa saja terjadi kepada semua orang. Bahkan potensi ancaman bahaya dan keadaan darurat tidak hanya itu, tetapi juga ada resiko yang bisa saja dihadapi oleh penumpang, yakni jika terjadi kecelakaan dalam perjalanan. Di sisi lain, penumpang yang naik juga sepertinya tidak mendapatkan tiket atau karcis sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah membayar biaya naik bus, dan selanjutnya menjadi penumpang bus tersebut.

Sebagaimana tercantum dalam halaman 6, Lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan, salah satu Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan (manufacturing) adalah Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan. Bahkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga menyebutkan hal yang serupa, bahwa salah satu komponen standar pelayanan yang seharusnya dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan publik adalah adanya jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan.

Kejadian tersebut tentu berpotensi terjadi lagi, lalu adakah upaya yang dapat dilakukan oleh penyelenggara layanan BRT Banjarbakula? Berkaca dari kejadian penganiayaan dalam moda transportasi publik di atas, penyelenggara layanan masih belum bisa memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi penumpangnya. Terbukti ketika terjadi penganiayaan, pihak penyelenggara tidak dapat berbuat banyak. Faktor keamanan dan keselamatan penumpang sepertinya masih belum mendapatkan perhatian yang serius oleh penyelenggara layanan. Pemasangan CCTV di dalam bus, memang cukup membantu untuk melacak pelaku, tetapi tidak cukup untuk melakukan upaya pencegahan terjadinya penganiayaan.

Di sisi lain, penyelenggara pelayanan, dalam hal ini supir bus, juga nampak hanya bekerja sendirian. Dengan kondisi tersebut, tentu saja sopir bus tidak dapat melakukan upaya pencegahan secara langsung, karena sedang mengemudikan Bus. Kejadian di atas secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya penganiayaan adalah tidak adanya petugas penyelenggara lain selain supir bus, sehingga pelaku dapat dengan leluasa melakukan penganiayaan.

Sarana Evaluasi

Sebagai sarana transportasi publik milik pemerintah, apalagi berbayar, seharusnya penyelenggara pelayanan mampu memberikan jaminan keamanan dan keselamatan atas layanan yang diberikan. Siapapun penumpangnya, memiliki hak yang sama dalam hal jaminan keamanan dan keselamatan, termasuk Wanita, lansia, dan kelompok rentan lainnya. Apalagi sarana transportasi yang aman dan nyaman juga akan menunjang terciptanya iklim investasi dan pariwisata yang baik, yang ujung-ujungnya adalah peningkatan pendapatan pemerintah dan daerah.

Terjadinya kejadian penganiayaan tersebut seharusnya menjadi sarana evaluasi dan perbaikan oleh penyelenggara layanan. Tidak hanya mengenai keamanan dari resiko tindak pidana, tetapi juga keselamatan berkendara.

Ada beberapa hal yang dapat menjadi bagian dari evaluasi dari kejadian di atas, antara lain: Pertama, penumpang yang naik BRT tidak mempunyai bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan adalah penumpang resmi BRT yang telah membayar biaya sesuai tarif yang ditentukan, karena tidak nampak karcis atau bukti pembayaran oleh penumpang diberikan ketika penumpang naik, atau selama perjalanan.

Kedua, kejadian tersebut terjadi pada saat petugas layanan di dalam BRT hanya ada satu orang, yakni sopir bus saja. Sehingga, ketika terjadi penganiayaan tidak dapat berbuat banyak guna mencegah atau menghentikan terjadinya penganiayaan tersebut. Idealnya, selain ada sopir, juga ada petugas pendamping yang dapat membantu memastikan penumpang membayar tiket dan mengatur tempat duduk penumpang. Selain itu, adanya petugas pendamping juga dapat melakukan pengamanan dan pencegahan terhadap potensi terjadinya bahaya maupun tindak pidana di dalam bus, seperti penganiayaan, pencopetan dan lain-lain.

Ketiga, selain jaminan keamanan, juga diperlukan jaminan keselamatan transportasi bagi pengguna layanan, salah satunya adalah dengan memastikan bahwa bus laik operasi sebagaimana standar pemerintah, dan telah mendaftarkan penumpang, awak bus, dan armada bus dengan asuransi kecelakaan lalu lintas. Selain itu berbagai perlengkapan guna mengatasi kondisi darurat atau bahaya seperti alat pemadam api ringan, alat pemecah kaca dalam kondisi darurat, dongkrak, segitiga pengaman yang dapat dipasang untuk keselamatan ketika harus berhenti karena kondisi darurat, dan peralatan penunjang lainnya juga harus dilengkapi setiap armada bus.

Keempat, selain sarana dan prasarana, petugas layanan moda transportasi, baik sopir maupun petugas pendamping/kernet seharusnya juga harus dipastikan kompetensinya. Sopir harus dipastikan memilliki SIM sesuai dengan moda transportasi. Sopir maupun kernet juga harus mendapatkan pelatihan dasar yang cukup, sehingga memiliki keterampilan dan kesiapan dalam menghadapi segala potensi permasalahan operasional yang terjadi.

Kelima, di era digital seperti saat ini, jika penggunaan moda transportasi BRT dapat dikoneksikan dengan aplikasi lain secara online (sebagaimana BST Teman Bus Banjarbakula), seharusnya dapat dibuat fitur panic button, yang dapat digunakan jika mengalami kondisi darurat, yang akan terinformasikan secara otomatis ke pusat data dan informasi operator BRT dan transportasi publik lainnya, sehingga dapat segera mendapatkan pertolongan.

Jika moda transportasi publik sudah semakin banyak, dan seluruh upaya perbaikan tersebut sudah dilakukan, namun di kemudian hari masih terjadi permasalahan lain, maka harus terus dilakukan evaluasi dan perbaikan, guna meningkatkan jaminan keamanan, keselamatan, kenyamanan dan kepuasan masyarakat sebagai pengguna layanan. Dengan upaya yang maksimal dari penyelenggara layanan transportasi publik, diharapkan kepercayaan dan animo masyarakat menggunakan transportasi publik dapat terus meningkat, sehingga dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan menekan tingkat kemacetan kota akibat terlalu tingginya penggunaan kendaraan pribadi.

Iklan
Iklan