Oleh : Masnilly Niswah
Pemerhati Sosial Masyarakat
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai dimana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Kota Banjarmasin di akhir 2022 yang lalu menerima data ada sekitar 39 ribu jiwa warga atau 8.333 keluarga di Banjarmasin berstatus miskin ekstrem, yakni berpenghasilan Rp12.000per hari. (tribunnews, 01 Feb 2023)
Faktor yang dapat mempengaruhi akumulasi kemiskinan seperti terlihat di sepanjang September 2022, yaitu terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK ini juga cukup dominan pada sektor padat karya, seperti industri tekstil, alas kaki serta perusahaan teknologi. Dalam keterangan persnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel melalui Statistisi Madya, Nurul Sabah memaparkan sejumlah peristiwa yang terjadi Maret-September 2022, yang menjadi pendorong terjadinya peningkatkan persentase penduduk miskin. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Banyak faktor yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung tingkat kemiskinan, mulai dari produktivitas tenaga kerja, tingkat upah netto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta sumber daya alam, ketersediaan fasilitas umum (seperti pendidikan dasar, kesehatan, informasi, transportasi, listrik, air bersih dan lokasi pemukiman), penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, budaya atau tradisi, politik, bencana alam dan peperangan. Sebagian besar dari faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
Tak Mungkin Sejahtera
Per September 2022, BPS mencatat garis kemiskinan di Indonesia mencapai Rp581.229 per bulan per kapita. Angka ini dihitung dari rata-rata pengeluaran masyarakat, bukan dengan yang semestinya. Dengan standar itulah, diperoleh data penduduk miskin pada periode yang sama sebanyak 26,36 juta orang, atau setara dengan 9,57 persen dari total penduduk Indonesia.
Pada September 2022, secara rata-rata 1 rumah tangga miskin di Kalsel memiliki 4,93 anggota rumah tangga yaitu Garis Kemiskinan (GK) Rp2.865.459 per ruta per bulan (data BPS, 16 januari 2023)
Dengan kata lain, penduduk dengan pengeluaran lebih banyak dari angka tersebut, misalnya Rp600.000 per bulan, sudah tidak dikategorikan miskin lagi. Padahal, di tengah biaya kebutuhan pokok yang serba mahal, termasuk biaya pendidikan, kesehatan, listrik, BBM, air bersih, transportasi, dan sebagainya, angka sekecil itu tidak mungkin bisa menutup biaya hidup normal bagi orang per bulan.
Realitasnya di lapangan, kehidupan masyarakat memang terasa makin berat saja. Kehidupan serba “wah” yang sering kali dipertontonkan para selebritas, youtuber, dan pengusaha, nyatanya hanya jadi hiburan bagi sebagian rakyat kecil. Wajar jika banyak yang percaya bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada faktanya jauh lebih banyak dari angka-angka yang diklaim penguasa. Terlebih selain problem data yang sering bermasalah, semua indikator kemiskinan dan kesejahteraan yang biasa digunakan penguasa selalu dihitung dengan angka rata-rata. Padahal, pada saat yang sama, ada gap sosial yang sangat lebar antara si miskin dan si kaya. Ada yang bisa berpenghasilan Rp8 miliar per bulan, tetapi betapa banyak yang serupiah pun mereka tidak punya.
Tidak cuma di Kalimantan Selatan, secara umum berbagai langkah dan bantuan pemerintah yang ditujukan untuk memulihkan ekonomi masyarakat. Bagi penerima memang cukup membantu kesulitan ekonomi saat ini. Namun masih lebih banyak masyarakat yang tidak menerima bantuan sosial tersebut.
Demikianlah, ini merupakan solusi kebijakan tambal sulam, tidak menyelesaikan permasalahan hingga pada akarnya. Kemiskinan di Indonesia merupakan kemiskinan sistemik yang disebabkan tidak adanya jaminan pekerjaan, jaminan kebutuhan pokok, jaminan keamanan, hingga kebijakam yang tumpang tindih yang tidak bisa disolusi dengan bantuan langsung tunai (BLT) ataupun bantuan sosial lainnya.
Penyebab utamanya adalah penerapan sistem kapitalisme sebagai aturan kehidupan, telah memosisikan manusia sebagai pembuat aturan. Sehingga aturan akan disesuaikan dengan kepentingan para kapital yaitu materi. Inilah akar masalah sesunggunhnya. Para kapitalis telah menguasai sistem kehidupan mengakibatkan kerusakan dimana-mana, dan masyarakat menjadi tumbalnya. Menanggung ragam kenaikan harga. Sistem ekonomi kapitalisme memosisikan penguasa sebagai regulator saja. Negara tidak memiliki fungsi menjamin kesejahteraan masyarakat. Artinya, seluruh kebutuhan masyarakat diserahkan pada pasar bebas (swasta/pemilik modal), sehingga orientasinya pastilah keuntungan. Inilah yang menyebabkan ketimpangan makin tinggi. Masyarakat kecil tidak mampu membeli dengan harga yang tidak terjangkau kantong mereka.
Ekonomi kapitalis menganggap bahwasannya kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun jasa secara mutlak. Karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan majunya produk-produk barang ataupun jasa, maka –mereka menganggap–usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itu pun mengalami perkembangan dan perbedaan.
Oleh karenanya BLT, Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (BPI JK), bantuan subsidi upah (BSU) dan bantuan lainnya, hanyalah solusi tambal sulam sistem kapitalisme dalam menyelesaikan masalah yang sebenarnya dibuatnya sendiri. Dalam lingkup sebuah Negara, maka adanya kemiskinan, ketunawismaan, penyakit dan kelaparan yang melanda adalah sebagian buah dari ketergantungan ekonomi terhadap Barat dan lembaga-lembaganya. Keringanan utang, pinjaman baru, atau menambal sulam sebagian dari sistem ekonomi yang ada sekarang ini tidak akan menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh tatanan kapitalis global yang akan terus berlanjut. Sehingga untuk menyelesaikan masalah kesejahteraan tidak bisa menggunakan sistem ekonomi kapitalisme. Negara harus mencampakkan sistem kapitalis.
Solusi Ekonomi Islam
Islam mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang. Islam membagi kebutuhan tersebut ke dalam tiga hal, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Islam juga mengenal kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti keamanan dan pendidikan, dan hal ini menjadi salah satu prioritas dari negara, sesuai tanggung jawabnya untuk menjamin kebutuhan pokok sebanyak apapun itu.
Masalah kemiskinan bukanlah masalah dalam produksi, melainkan juga masalah distribusi dalam ekonomi. Syekh An-Nabhani mengategorikan yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. Dengan demikian, siapa pun dan di mana pun berada, jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer)nya, yaitu sandang, pangan, dan papan, dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin.
Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan. Namun, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dengan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu melalui mekanisme tertentu, diantaranya : 1. Mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya; 2. Mewajibkan kerabat dekat untuk membantu saudaranya; 3. Kewajiban negara untuk membantu rakyat miskin
Allah SWT berfirman, “Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…”. (QS. At-Taubah : 60); 4. Mewajibkan kaum muslim untuk membantu rakyat miskin. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya”. (HR. al-Bazzar).
Selain itu pengaturan Islam dalam pengelolaan kepemilikan yang mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul mal) dan penginfaqkan harta (infaqul mal). Baik dalam pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum Islam, misalnya melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya.
Islam juga mengatur distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadis Rasulullah SAW, “Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)”. (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau SAW bersabda, “Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja”.
Saat ini, kita menyaksikan banyaknya kemiskinan yang melanda, hal itu disebabkan tidak hidup dalam aturan syariat Islam. Sistem hidup selain Islamlah (kapitalisme, sosialisme/komunisme) yang mereka terapkan sehingga kemiskinan terus menimpa. Allah SWT berfirman, “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thahaa : 124). Wallahu A’lam.