Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Biaya Perjalanan Haji Meroket, Adakah Kepentingan Bisnis Kapitalistik?

×

Biaya Perjalanan Haji Meroket, Adakah Kepentingan Bisnis Kapitalistik?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja

Kementerian Agama bersama Komisi VIII DPR melakukan rapat membahas mengenai biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 2023. Dalam rapat tersebut, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan kepada Komisi VIII DPR RI rata-rata biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 2023 adalah sebesar Rp69.193.733,60. Bipih merupakan biaya yang harus jemaah haji bayarkan, sedangkan BPIH merupakan biaya keseluruhan penyelenggaraan haji pada tahun tersebut

Baca Koran

Komisi VIII DPR RI mengatakan besaran Bipih adalah 70 persen dari usulan rata-rata BPIH yang mencapai Rp98,9 juta. Menurut Menag, BPIH 2022 sebesar Rp98,38 juta dengan komposisi BPIH sebesar Rp39,9 juta (40,54 persen) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp58,5 juta (59,46 persen). Sementara itu, usulan Kemenag untuk BPIH 2023 adalah sebesar Rp98,89 juta dengan komposisi Bipih sebesar Rp69,19 juta (70 persen) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp29,7 juta (30 persen). (Viva News).

Menyoroti mahalnya biaya perjalanan haji ini, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menyatakan, perlu menengok solusi Islam karena saat ini penyelenggaraan haji menggunakan pola kapitalisme sekularisme. “Perlu menengok solusi Islam dalam penyelenggaraan ibadah haji. Ini karena mahalnya biaya haji di Indonesia tidak terlepas dari sistem hidup atau ideologi yang diterapkan hari ini, yakni kapitalisme sekularisme,” ungkapnya dalam “Menag Yaqut Usul Biaya Haji 69 Juta. Anda Setuju?” di kanal Justice Monitor.

Dampaknya, ia mengatakan, ini memengaruhi pola pikir dan pola sikap penguasa negeri-negeri muslim. “Asasnya adalah materi, standar kebahagiaannya adalah materi. Tak ayal, pelayanan publik acap kali dikomersilkan, seperti pendidikan, kesehatan, bahkan ibadah haji,” ucapnya ironis. Agung menilai, penguasa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, berubah menjadi pengusaha yang pertimbangannya untung rugi. “Mahalnya biaya haji, misalnya, hanyalah dampak dari rantai kepentingan kapitalis yang berkelindan dalam urusan haji,” jelasnya.

Ia mengulas, ibadah haji dalam pandangan kapitalisme adalah ceruk bisnis dan pasar yang kemudian dieksploitasi, mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, katering, sampai jasa perizinan, termasuk jasa pembimbingan, dan lainnya yang serba komersil. “Begitu pula tentang panjangnya antrian haji. Sejak lembaga perbankan berbisnis dana talangan haji, masyarakat yang belum punya uang pun dengan mudah mendapatkan nomor porsi,” ujarnya.

Ibadah di dalam pandangan Islam adalah perkara wajib untuk ditunaikan. Namun, saat ini, mayoritas negara muslim justru menerapkan kapitalisme berbasis sekuler sebagai paradigma berpikir dan asas dalam membuat seluruh sistem dan hal kebijakan, sedangkan ideologi ini tidak relevan dengan motif haji dalam pandangan Islam. Berbagai kebijakan penyelenggaraan haji justru terkesan menyulitkan bagi kaum muslim.

Semangat para calon haji (calhaj) sering kali tidak terakomodasi dengan baik. Itu tecermin pada daftar tunggu jemaah haji Indonesia yang kian tahun kian membengkak. Bahkan, waktu tunggu keberangkatan mencapai puluhan tahun. Hal itu makin diperparah dengan adanya pembatasan kuota jemaah haji. Dalam pandangan kapitalisme, dorongan terbesar melakukan sebuah perbuatan adalah untuk mendapatkan manfaat berupa materi. Itulah sebab, bukan hal aneh ketika untung dan rugi menjadi pertimbangan dasar dalam menyusun berbagai sistem dan kebijakan, termasuk haji.

Motif penyelenggaraan haji oleh negara telah bergeser dari dorongan akidah dan keimanan menjadi kepentingan bisnis antara negara dengan rakyatnya. Hanya masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke atas yang sanggup untuk berhaji. Pelaksanaan ibadah haji membutuhkan sistem pendukung yang relevan dengan kedudukan haji sebagai bagian dari rukun Islam. Penyelenggaraan haji ini semestinya berpijak pada asas haji sebagai perintah Allah. Melalui asas ini pula akan lahir kebijakan seputar haji dengan segala kemudahan dalam birokrasinya.

Baca Juga :  Sungai di Era Kesultanan dan Penjajahan

Dua hal yang harus terurai agar pengelolaan dana haji transparan dan sesuai dengan biaya riil adalah pengaturan kuota haji per tahun dan tata kelola yang berorientasi pada prinsip pengurusan urusan umat. Masalah panjangnya antrean adalah masalah yang wajib pemerintah urai. Caranya adalah dengan menyediakan kuota yang realistis. Saat ini, mengularnya antrean setiap tahunnya juga karena pemerintah terus menerima setoran dana awal jemaah.

Pemerintah sendiri memfasilitasi dengan memudahkan setoran awal dengan digit yang kian ringan. Wajar jika antrean bisa mencapai puluhan tahun. Belum lagi dengan adanya sistem pembagian haji khusus dan reguler, menjadi catatan tersendiri khususnya dalam penyediaan kuota jemaah haji. Oleh karenanya, penting menjadi catatan untuk memperhatikan prinsip syariat secara mendasar bahwa wajibnya haji adalah sekali seumur hidup.

Di sisi lain, penting bagi pemerintah untuk melakukan edukasi bahwa ibadah haji berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan. Insyaallah, dengan tata kelola yang baik, negara mampu memfasilitasi kerinduan setiap warganya untuk menjalankan ibadah haji. Mengenai tata kelola, termasuk biaya untuk menunaikan ibadah haji—biaya keberangkatan, biaya hidup, pelayanan selama menjalankan ibadah, hingga kembali ke tanah air—hendaknya sesuai biaya riil.

Untuk itulah perlu untuk memastikan kuota sesuai target per tahun. Bukan dengan membiarkan pendaftaran yang terus mengular hingga waktu tunggu yang mencapai puluhan tahun. Penting pula untuk melakukan edukasi berkelanjutan mengenai ibadah haji kepada masyarakat. Di sisi lain, pemerintah juga harus paham bahwa peruntukan dana haji para jemaah bukanlah untuk investasi atau melakukan pengembangan, meski dengan dalih memperhatikan aspek kehati-hatian guna mewujudkan maqashid syariah sebagaimana saat ini.

Dalam sistem pemerintahan Islam, negeri-negeri muslim adalah satu kesatuan. Tidak boleh ada komersialisasi penyelenggaraan haji oleh pihak mana pun sebab Tanah Haram adalah tanah seluruh kaum muslim. Di sinilah urgensi perjuangan mengembalikan sistem pemerintahan Islam (kekhalifahan Islam).

Khilafah akan menyelenggarakan ibadah haji sesuai prinsip syariat, melakukan pelayanan maksimal kepada para jemaah, membangun infrastruktur, serta menyediakan berbagai fasilitas sebagai bentuk riayatusy syu’unil ummah. Prinsip syariat yang dijalankan oleh institusi pemerintahan Islam meniscayakan penyelenggaraan ibadah haji akan efisien dan berkah bagi seluruh kaum muslim.

Allah SWT menetapkan haji sebagai kewajiban bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali ‘Imran : 97).

Nabi SAW pun bersabda, “Wahai manusia, Allah Swt. telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Khilafah sebagai representasi dari sebuah negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dan menaungi lebih dari 50 negeri kaum muslim memiliki berbagai kebijakan dalam rangka mendudukkan relevansi haji dengan ayat Allah SWT dan hadis Rasulullah SAW tersebut. Berikut uraian kebijakan Khilafah, mengutip dari tulisan Ustaz Hafidz Abdurrahman dalam situs Kuliah Pemikiran Islam : 1. Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah.

Sebab hal ini terkait dengan masalah administrasi, maka urusan tersebut bisa didesentralisasikan. Ini memudahkan calon jemaah haji dan umrah. Penyelenggaraan haji pun akan ditangani lembaga profesional sehingga urusan haji bisa dilayani dengan cepat dan baik. Departemen khusus ini mengurusi urusan haji, terkait persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini juga bisa bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jemaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal; 2. Mengatur ONH. Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji) maka besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah—Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jemaah haji dan umrah).

Baca Juga :  Generasi Rusak Dalam Penerapan Sistem Pendidikan Kapitalisme

Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut, dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Pada zaman Sultan ‘Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal; 3. Menghapus visa haji dan umrah. Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum syarak tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara. Seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum mus
lim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan; 4. Mengatur kuota haji dan umrah. Khalifah berhak untuk mengatur masalah ini sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan.

Bagi calon jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, mereka akan diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik jika negara Khilafah mempunyai basis data seluruh rakyat di wilayahnya sehingga pengaturan ini bisa terlaksana baik dan mudah; 5. Membangun infrastruktur Makkah—Madinah. Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidilharam, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jemaah haji dan umrah. Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan Khilafah pada masa mendatang. Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah karena situs-situs tersebut justru bisa membangkitkan kembali memori jemaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam sehingga bisa memotivasi mereka.

Penyelenggaraan haji seperti ini hanya dapat terwujud dengan adanya peran negara yang bertanggung jawab dan memiliki kesadaran bahwa warganya dapat melaksanakan rukun Islam ini. Negara seharusnya bersih dari motif bisnis atas penyelenggaraan haji. Jemaah seharusnya menjalankan ibadah haji hanya berdasarkan cara pandang ideologi Islam yang sahih. Negara berkontribusi besar dalam mewujudkan kemudahan penyelenggaraan haji bagi rakyatnya. Bahkan, ini menjadi kewajiban yang harus ditunaikan negara terhadap rakyatnya.

Inilah gambaran bahwa negara yang menerapkan ideologi Islam akan memberikan perhatian yang sangat besar pada persoalan ibadah, khususnya haji. Negara Islam akan membuat kebijakan dalam memudahkan kaum muslim menunaikan kewajiban mereka dengan fasilitas dan pelayanan terbaik.

Telah jelas perbedaan paradigma, motif, dan aplikasi penyelenggaraan haji menurut kapitalisme dan Islam. Kala ibadah haji tidak lagi tersandera birokrasi dan kepentingan bisnis kaum kapitalis, maka kedudukan ibadah haji sebagai bagian kewajiban atas kaum muslim akan terlaksana optimal. Melalui cara pandang ini pula, negara akan mengerahkan seluruh potensinya untuk memfasilitasi kemudahan berhaji bagi setiap muslim.

Iklan
Iklan