Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kurikulum Merdeka, Potret Pendidikan Terpenjara?

×

Kurikulum Merdeka, Potret Pendidikan Terpenjara?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Kayyis Alkhalis
Praktisi Pendidikan

Dalam pidato Hardiknas 2023, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengajak untuk merayakan keberhasilan pelaksanaan Gerakan Merdeka Belajar dengan penuh rasa syukur dan semarak. Nadiem mengklaim bahwa kehadiran Kurikulum Merdeka telah berhasil memberikan kesempatan kepada guru untuk lebih bebas berinovasi karena sudah tidak terikat oleh aturan kaku.

Baca Koran

Nadiem juga mengklaim bahwa Kurikulum Merdeka menjadikan siswa lebih tenang belajar karena ujian nasional sudah dihapuskan dan penilaian dilakukan oleh gurunya sendiri. Kualitas pendidikan dapat dimonitor oleh pemerintah daerah (Pemda) melalui data dari Asesmen Nasional di Platform Rapor Pendidikan.

Namun, klaim Nadiem justru dibantah oleh guru maupun organisasi guru. Di tengah gegap gempita peringatan Hardiknas 2023, komunitas guru maupun mahasiswa di beberapa daerah justru melakukan aksi protes atau menyampaikan rencana turun ke jalan untuk melayangkan berbagai tuntutan. Di antara beberapa persoalan yang mengemuka dan disuarakan oleh guru saat perayaan Hardiknas 2023 adalah sebagai berikut.

Pertama, guru masih mengalami tekanan ekonomi. Kebutuhan Indonesia terhadap 1,3 juta ASN ternyata malah diselesaikan dengan pengangkatan PPPK. Durasi kontrak PPPK sangat singkat, hanya setahun. Bahkan, sebagian pemda ditengarai tidak mengusulkan jumlah formasi guru PPPK sesuai kebutuhan untuk menghemat anggaran. Artinya, masih banyak guru honorer yang mengajar dengan upah sangat minim dan tidak cukup untuk bertahan hidup. Kalaupun mereka diangkat menjadi PPPK, mereka masih dihantui kecemasan mengenai keberlanjutan kontraknya, pemotongan tunjangan, serta gaji yang tidak dibayarkan selama berbulan-bulan.

Kedua, guru juga mengalami kelebihan beban jam mengajar. Meskipun RPP sudah disederhanakan menjadi satu lembar, jika persoalan kekurangan guru belum diselesaikan, guru masih akan terbebani dengan tingginya jam mengajar. Selain karena alasan penghematan anggaran, masalah kekurangan guru ini juga disebabkan adanya anggapan dari pemda bahwa dalam Kurikulum Merdeka siswa bisa belajar lebih mandiri sehingga tidak membutuhkan terlalu banyak guru. Oleh sebab itu, mereka tidak mengusulkan lebih banyak guru PPPK.

Ketiga, guru justru terbebani oleh program digitalisasi. Pernyataan Nadiem mengenai kebebasan guru dibantah oleh Iman Zanatul Haeri selaku Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Persatuan Guru (P2G) yang menyebut bahwa program digitalisasi ala Nadiem justru menambah beban baru bagi guru. (Medcom, 2-5-2023).

Pengenalan Platform Merdeka Belajar (PMM) yang digadang-gadang sebagai produk inovasi untuk meringankan tugas guru juga malah menjadi sumber tekanan. Dinas Pendidikan mengecek dan mengharuskan sekolah dan guru untuk segera menginstal dan mengerjakan sederet tugas di dalamnya. Ini karena jumlah penginstal digunakan sebagai indikator capaian keberhasilan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). Kebijakan ini juga menambah stres pada guru yang belum memiliki gawai yang memadai ataupun kuota dan koneksi internet yang baik.

Keempat, guru terjebak pada orientasi pragmatis dalam mengikuti Program Guru Penggerak (PGP). Secara konseptual, PGP bertujuan untuk mewujudkan pemimpin dan SDM unggul. Akan tetapi faktanya, proses seleksi dan pelatihannya justru menyita waktu dan perhatian sehingga guru banyak meninggalkan tugas pokok mereka.

Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung menyayangkan pelatihan-pelatihan untuk Guru Penggerak kebanyakan mendorong guru untuk sekadar lulus dan mengejar iming-iming menjadi kepala sekolah, tetapi tidak menekankan pada perlunya proses belajar dan pemberian pelatihan yang berkelanjutan. Ia juga menambahkan bahwa kriteria lulusnya masih bersifat administratif dan jauh dari paradigma pembelajaran berkualitas. (Medcom, 31-12-2022).

Baca Juga :  Korporasi Pertanian, Solusi Untuk Ketahanan Pangan?

Di tengah gencarnya opini mengenai keberhasilan Gerakan Merdeka Belajar dalam memberikan ruang inovasi dan meringankan beban guru, fakta-fakta tersebut tentu memunculkan pertanyaan, kenapa hal ini terjadi?

Secara filosofis, konsep Merdeka Belajar didasarkan pada pemikiran Ki Hajar Dewantara. Di situs Kemendikbud disampaikan bahwa pelaksanaan Merdeka Belajar merujuk pada pemikiran Bapak Pendidikan Nasional tersebut yang memaknai kemerdekaan sebagai kebebasan mewujudkan apa pun, kecuali yang dibatasi kodrat alam dan zaman.

Ki Hajar Dewantara sendiri adalah seorang penganut kejawen yang banyak terpengaruh oleh pemikir asing seperti Rabindranath Tagore (ahli pendidikan dan psikologi India), Maria Montessori (ahli pendidikan Italia), dan Rudolf Steiner (pendiri Antrophosophy Society).

Oleh karenanya, sekolah Taman Siswa yang didirikannya bersama salah satu tokoh freemasonry (tarekat mason bebas) dan teosofi, yakni Ki Sarmidi Mangoensarkoro, memadukan konsep kebatinan dan humanisme dalam mewujudkan kemerdekaan batin, pikiran, dan tenaga.

Juga terdapat Taman Tiga Sistem Among, yaitu mengabdi kepada perikemanusiaan, membangun kepribadian sesuai kodrat alam, dan membangun kemerdekaan. Konsep ini sejalan dengan cita-cita tertinggi teosofi dan freemasonry yang menjadikan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) sebagai nilai tertinggi, bahkan lebih tinggi dari nilai ketuhanan dan agama. (Muslimahnews.com, 10-05-2023)

Setelah menilik dasar pijakannya dan konsep yang diusung, tidak heran jika Merdeka Belajar justru makin menguatkan liberalisasi pendidikan di Indonesia. Dalam pidato Hardiknas 2019, yang merupakan awal pengenalan istilah Merdeka Belajar, Nadiem menyatakan bahwa Merdeka Belajar bermakna bahwa sekolah, murid, dan guru memiliki kebebasan untuk berinovasi, serta belajar dengan mandiri dan kreatif. Kebebasan dalam membangun minat tanpa batasan jelas ini sangat berpotensi menjadi celah masuknya pemikiran dan budaya yang merusak generasi, serta menggerus pemahaman Islam. Tanpa dasar akidah Islam yang kuat, pendidikan juga akan mengedepankan materi dan berorientasi pada keuntungan. Pemerintah tidak mau mengeluarkan dana banyak untuk menggaji guru sesuai standar dengan menambah jumlah ASN. Orientasi pada materi membuat pemerintah lebih memikirkan penghematan anggaran dan menutup mata terhadap kebutuhan guru daripada berusaha membantu mereka untuk lepas dari beban ekonomi dan tingginya jam mengajar. Guru juga dipaksa d
an dibebani dengan proyek digitalisasi yang datanya dijual kepada pihak ketiga. Akhirnya, perusahaan edutech muncul sebagai perantara antara guru dan siswa, termasuk di antaranya menguasai pasar pelatihan guru.

Guru bahkan perlu mengikuti pelatihan berbayar yang disediakan oleh pihak ketiga karena komunitas pembelajaran dan pelatihan yang difasilitasi pemerintah tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Padahal, guru membutuhkan pelatihan dan fasilitas untuk bisa mencapai harapan kurikulum. Ini berarti kebijakan digitalisasi mengorbankan guru untuk memuluskan kepentingan korporasi.

Selain itu, Kurikulum Merdeka juga memperkuat konsep kapitalistik dalam tata kelola pendidikan. Ini terlihat dari penerapan konsep otonomi sekolah melalui model pengelolaan manajemen berbasis sekolah (MBS). Tumpuan besar penyelenggaraan pendidikan menjadi ada pada sekolah dan guru, sedangkan negara berlepas diri dari tanggung jawabnya dalam menjamin kebutuhan pelayanan pendidikan.

Baca Juga :  Danantara dan Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Dengan demikian, beban guru tidak akan pernah menjadi lebih ringan dengan Kurikulum Merdeka. Pendidikan akan terus terkungkung oleh sistem kapitalistik yang membuat negara abai terhadap kondisi guru. Walhasil, kebebasan bagi guru untuk bisa berinovasi dan menjalankan pembelajaran yang bermutu, masih menjadi angan-angan.

Sementara Islam memiliki makna khas tentang kemerdekaan. Merdeka dalam Islam adalah membebaskan diri dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju penghambaan hanya kepada Allah Taala. Allah SWT berfirman, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menghambakan diri kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Dengan demikian, sistem pendidikan Islam akan mendukung guru menjadi hamba yang merdeka, juga menghasilkan anak didik yang juga merdeka dengan hanya menghambakan diri kepada Allah, bukan yang lainnya.

Pertama, guru diberikan kesempatan dan kebebasan seluas-luasnya, bahkan didorong untuk dapat menjalankan perannya dalam mendidik generasi yang berkepribadian Islam, sebagaimana tujuan pendidikan Islam. Dalam menjalankan peran tersebut, guru bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga mendorong perubahan umat dengan mengaitkan keilmuannya dengan persoalan umat, serta mendorong kemajuan peradaban Islam

Kedua, segala hal yang dapat menghambat tugas tersebut akan disingkirkan sejauh-jauhnya. Guru akan dibina dengan pemahaman tentang visi pendidikan yang benar sehingga tidak ada di dalam benak guru bahwa mengejar dan menjalankan amanah dalam pendidikan semata-mata untuk mengejar materi.

Demikian juga dalam mengarahkan siswanya, guru tidak akan menjadikan materi sebagai tujuan utama proses pembelajaran. Guru juga hanya akan mengerjakan berbagai tugas yang mendukung terbentuknya pelajar yang berkualitas, serta tidak akan terbebani dengan tugas yang berhubungan dengan kepentingan korporasi dan pihak lain (yang berusaha mengambil untung dari bisnis pendidikan).

Ketiga, kurikulum akan ditetapkan secara baku sesuai visi pendidikan Islam. Tersebab konsepnya sudah jelas, tidak akan ada banyak perubahan yang menyita waktu dan membebani, ataupun membuat guru tidak fokus pada pengajaran.

Meskipun sistem pendidikannya baku, masih ada ruang untuk melakukan kontekstualisasi dan penentuan aspek teknis sesuai kebutuhan wilayah. Namun, proses kontekstualisasi ini tidak akan sering dilakukan karena perubahan dalam suatu wilayah pasti membutuhkan waktu yang cukup lama, bukan seperti periode pemilu seperti saat ini. Dengan demikian, perubahan teknis ini tidak akan membebani guru.

Keempat, adanya jaminan penuh dari negara terhadap kebutuhan pelayanan pendidikan, baik operasional maupun fasilitas. Di antara kebutuhan operasional adalah penyediaan guru yang cukup dengan tunjangan yang memadai sehingga guru leluasa untuk mengembangkan kualitas pembelajaran tanpa harus terganggu untuk memikirkan cara bertahan hidup. Sedangkan fasilitas mencakup penyediaan infrastruktur dan dimaksudkan untuk pendidikan dan pengembangan kualitas guru.

Hanya saja, semua hal tersebut dapat terlaksana jika aturan Islam diterapkan dalam hal pendidikan serta aspek yang lain. Penerapan Islam secara menyeluruh ini juga perlu dukungan negara yang menerapkan syariat Islam kaffah, yaitu Khilafah.

Iklan
Iklan