Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Sasirangan: dari Elit Lokal hingga Umum Nasional

×

Sasirangan: dari Elit Lokal hingga Umum Nasional

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Editor buku “Memelihara Manuskrip Borneo”

Anak warik anak hirangan
Katuju mamakan buah sumangka
Amun kita mamakai kain sasirangan
Tandanya cinta lawan banua

Kalimantan Post

Akhir November 2017 lalu, Pusat Sejarah Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Brunei Darussalam melaksanakan Seminar “Kajian Manuskrip Borneo” di Bandar Seri Begawan. Enam orang dari Banjar juga dihadirkan, yaitu Datu Taufik Arbain, Setia Budhi, Adriani Yulizar, Nasrullah, Ahmad Barjie dan Safria Sahlan. Mereka membentangkan makalah bersama 40-an narasumber dari empat negara yaitu Brunei sebagai tuan rumah, Malaysia, Indonesia dan United Kingdom (Inggris).

Salah seorang narasumber, Prof Dr Nanang Rizali, MSD, guru besar pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret Surakarta membentangkan makalah berjudul, “Kain Sasirangan Warisan Budaya Nusantara”. Saya sempat heran sambil berbisik kepada teman-teman, seharusnya kami dari Banjar yang menyajikan makalah dengan tema tersebut. Sebab sasirangan selama ini dikenal berasal dan menjadi milik urang Banjar.

Tetapi segera saya sadar bahwa, ternyata sasirangan telah menasional. Siapa pun boleh memakai dan merasa memiliki, bahkan juga mengkajinya dari sudut ilmiah. Justru urang Banjar seyogyanya ikut bangga dan berbahagia, karena kain sasirangan telah berkembang pesat, dari pakaian adat lokal bangsawan Banjar, hingga menjadi pakaian nasional, dan telah dianggap menjadi salah satu khazanah kebudayaan Nusantara.

Urang Banjar harus lebih progresif lagi dalam mengembangkannya, baik dalam proses pengolahan, penetapan sebagai hak cipta urang Banjar, pemakaian dalam kegiatan sehari-hari, peningkatan kualitas sampai kepada promosi dan pemasarannya.

Apa yang dilakukan Pemko Banjarmasin dengan menggelar “Banjarmasin Sasirangan Festival” di sekitar Menara Pandang, Siring Sungai Martapura selama ini patut diapresiasi. Di situ dapat dilihat secara langsung seperti apa proses pengolahan kain sasirangan, dari kain mentah hingga jadi, dengan berbagai motif, pewarnaan hingga peragaan pakaian sasirangan jadi oleh para model Banjar. Diharapkan kegiatan seperti itu semakin sering digelar, sehingga pengrajin kain sasirangan semakin eksis dan apresiasi masyarakat pun semakin meningkat.

Batik Nusantara

Kain sasirangan merupakan bagian dari karya batik Nusantara. Menurut Prof Nanang, sasirangan tergolong celup ikat (tie dye), yaitu cara menghias permukaan kain dengan mengikatnya. Teknik celup ikat merupakan metode pewarnaan melalui proses pencelupan bahan tekstil dengan mengikat bagian-bagian tertentu sesuai pola yang diinginkan. Dalam bahasa Jawa disebut jumputan, pelangi, atau tritik. Di Palembang disebut pelangi, di Solo-Yogya disebut Jumputan, di Kalimantan disebut Sasirangan.

Sejak zaman kerajaan Negara Dipa, di Kalimantan Selatan telah dikenal sejenis kain yang disebut kain calapan (celupan). Dulu kain ini hanya dipakai kalangan bangsawan pada upacara-upacara tertentu, seperti perkawinan atau upacara bayi potong rambut. Muncul pula kepercayaan bahwa kain ini dapat digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit dan penolak bala. Sejak itu kain ini dinamakan kain Pamintan, karena dibuat atas permintaan orang untuk keperluan pengobatan.

Baca Juga :  Pemuda Moderat: Pemuda Berkualitas dan Bangkit?

Pembuatan kain pamintan terjadi karena tiga hal. Pertama, adanya orang sakit yang memerlukan pengobatan. Kedua, adanya tabib yang memberikan nasihat kepada si sakit untuk menyediakan kain pamintan sebagai terapi pengobatan (tatamba). Ketiga, adanya pengrajin yang mampu membikinkan kain pamintan sebagai sarana pengobatan. Ketiga pihak tersebut berproses secara tertutup, tidak dibuka untuk umum. Ketika sudah sangat berpengalaman, pengrajin kain pamintan tidak perlu lagi minta nasihat tabib, ia akan membuat sendiri sesuai permintaan si sakit. Dengan menyebutkan penyakitnya, pengrajin kain pamintan dapat membuat kain pamintan sesuai kebutuhan (Seman, 2007).

Perkembangan kemudian kain ini dinamai Sasirangan. Sirang berarti jahit atau jelujur. Corak dan warna sasirangan Banjar yang baku lebih beragam mengikuti selera, dan tidak terikat lagi oleh aturan-aturan yang berlaku sebelumnya.

Tantangan ke Depan

Sasirangan telah memiliki hak paten komunal urang Banjar. Dengan begitu prospeknya ke depan akan lebih baik. Meskipun demikian, tentu tantangannya tetap besar. Kekuatannya harus ditingkatkan dan peluangnya harus diambil segera tanpa ditunda. Masalah ini perlu dilihat dari analisis SWOT (strength/kekuatan, weakness/kelemahan, opportunity/peluang and threat/tantangan). Tulisan Rofi Zardaida berjudul “Air Guci Sasirangan Kreativitas Diuji Siapalah Jua Ampun Larangan?”, perlu kita cermati dan tindaklanjuti. (Kalimantan Post 21 Juni 2023).

Selama ini memang telah terjadi banyak transformasi dan perkembangan dalam proses produksi dan penggunaan kain sasirangan. Unsur-unsur majis dan spiritual boleh dikata semakin berkurang, berganti dengan motif ekonomi, estetika dan identifikasi sairangan sebagai pakaian khas Banjar. Dari segi pemakaian sekarang tak lagi bersifat elitis. Kalau dulu hanya digunakan oleh kalangan bangsawan, sekarang sasirangan sudah dipakai siapa saja, dari anak-anak sekolah hingga pekerja kantoran. Adalah almh Hj Gusti Joerliani Djohansjah yang bergelar Datu Mangku Adat Kesultanan Banjar, sejak era 1980-an berhasil menembus dan mensosialisasikan kain sasirangan agar tak lagi sebatas dipakai elit Banjar tetapi boleh dipakai masyarakat umum. Wajarlah Ibu Walikota Banjarmasin Dr dr Hj Wasilah telah menganugerahkan penghargaan kepada beliau sebagai penggagas kain sasirangan di Kalimantan Selatan.

Begitu juga dari segi produksi, tidak lagi dikerjakan oleh orang tertentu dengan pesanan khusus, namun ia telah diproduksi oleh siapa saja yang memiliki keahlian. Maka bermunculanlah sejumlah pengrajin atau pengusaha kain sasirangan, baik skala kecil perorangan maupun perusahaan berbadan hukum.

Baca Juga :  Mengingat Kepahlawanan Tionghoa Banjar

Tetapi dalam proses produksi kain sasirangan ini, boleh dikata semuanya masih dikerjakan secara manual, belum diolah dengan mesin cetak (printing) yang modern. Itu sebabnya harganya masih relatif mahal. Apa saja yang dikerjakan secara tradisional biasanya lebih mahal.

Drs H Fathurrahman MIKom mengatakan, kain sasirangan perlu mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya. Kalau kualitasnya baik, soal harga tidak menjadi masalah. Dengan begitu sasirangan tidak menjadi kain yang murahan. Tetapi menurut saya, persoalan harga tetap perlu diperhatikan. Masyarakat kita sebagai konsumen sangat peka dalam urusan harga ketika membeli suatu produk. Kain sasirangan masih dianggap relatif mahal untuk masyarakat kebanyakan. Jika kita ingin yang kualitasnya baik, kain maupun motifnya, harganya makin mahal. Artinya kalau kita membeli yang murah, pastilah kualitasnya agak rendah.

Kenyataan ini memang terkait hukum ekonomi, ada barang ada harga. Tetapi untuk persaingan ke depan perlu dilakukan terobosan. Kalau sasirangan tetap mahal, ada kemungkinan akan kalah bersaing dengan sasirangan produk pabrikan (printing). Karenanya produk sasirangan manual perlu ditingkatkan ke arah mekanisasi, supaya dapat dihasilkan produk dalam jumlah besar, sehingga pada gilirannya bisa dijual relatif murah.

Kelemahan lain, memelihara kain sasirangan, seperti mencuci dan menjemur agak ribet, karena mudah luntur. Kain sasirangan yang sudah lama juga sering hilang warna aslinya (kubas). Apakah hal ini terkait dengan zat pewarna alami atau sintetis yang digunakan atau teknologinya, pengrajin sasirangan lebih tahu. Yang jelas hal ini berbeda dengan beberapa karya batik Nusantara lain yang tidak luntur.

Para pengrajin perlu belajar lagi. Studi banding untuk peningkatan wawasan dan keahlian perlu dilakukan. Jika hal itu belum memungkinkan, perlu ada kerjasama antara pemerintah daerah, dalam hal ini instansi terkait dengan pengrajin batik di daerah lain. dengan konsesi-konsesi dan/atau kompensasi tertentu.

Menurut salah seorang pakar industri kecil dan menengah yang sering melakukan studi banding hingga ke luar negeri, pemilik keahlian tertentu biasanya memang tidak mau memberitahukan semua ilmu dan keahliannya, kecuali ada perjanjian atau bayaran tertentu. Hal ini dapat dimaklumi karena ada unsur bisnis dan prospek ke depan yang tidak lepas dari persaingan. Di sinilah pentingnya pemerintah daerah dan lembaga terkait menunjukkan perhatian dan pembinaan secara berkelanjutan.

Iklan
Iklan