PALANGKA RAYA, Kalimantanpost.com – Mencermati fenomena akhir-akhir ini terkait penyampaian aspirasi masyarakat maupun unjuk rasa secara terbuka dengan membawa senjatamembawa senjata khas Dayak, Gubernur Kalimantan Tengah H. Sugianto Sabran mengimbau dan melarang aksi penyampaian aspirasi dengan membawa senjata pusaka khas Dayak seperti tombak atau lunju dan mandau serta duhung.
Menurut Gubernur disampaikan melalui Kadis Kominfosantik Kalteng, Agus Suswafi, Minggu (15/10/2023), imbauan dan larangan tersebut, merupakan upaya dari menjaga marwah dari benda-benda pusaka dan budaya Dayak Kalimantan Tengah.
Dikatakannya, aspirasi ataupun unjuk rasa dan sejenisnya, adalah hak yang dilindungi Undang-undang, apabila sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku.
“Namun membawa senjata tajam, terlebih itu benda-benda pusaka daerah, bukan pada tempatnya, dan bukan momentum yang relevan “, ucapnya.
Disebutkannya, benda atau senjata khas Dayak, akan lebih arif dan bijak bila digunakan dalam acara-acara ritual adat maupun pameran kebudayaan, sehingga marwah dan pelestariannya tetap terjaga dan terhormat.
Ditegaskan, esensi dari penyampaian aspirasi adalah menyuarakan keinginan ataupun tuntutan, bukan mempertontonkan senjata-senjata khas Dayak yang sakral.
“Mari kita tempatkan pada rel yang tepat, kapan waktu dan momen yang relevan untuk menampilkan senjata atau benda pusaka kita,” bebernya.
Menurut Sugianto, Kalimantan Tengah yang didominasi suku Dayak, menjunjung tinggi falsafah Huma Betang yang mencerminkan kebersamaan dan persatuan meskipun berbeda suku dan agama, hidup rukun berdampingan, damai dalam keberagaman.
“Warga Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang terbuka, memaknai perbedaan sebagai suatu rahmat dan berkah, menjunjung tinggi adab dan kesantunan.
Keluhuran budi warga Dayak umumnya, jangan sampai ada stigma bahwa warga Dayak Kalimantan Tengah adalah suku yang anarkis, hanya dikarenakan simbol-simbol yang kita pertontonkan bukan pada tempatnya,” tandasnya.
Ditambahkan Gubernur, persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara tidaklah selalu berjalan dengan baik, ada kalanya gap antara pembuat kebijakan, pihak swasta dan masyarakat, menimbulkan riak-riak kecil yang harus diselesaikan dengan penuh kedewasaan dalam berpikir dan bertindak.
Dikatakannya, demokrasi menghalalkan perbedaan pendapat, dan saluran-saluran untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi itu telah disediakan ruang yang cukup, dan dilindungi oleh Undang-undang.
“Mari kita manfaatkan saluran itu dengan baik dan benar, tanpa menodai marwah adab dan budaya yang kita junjung tinggi bersama,” timpalnya.
Diingatkan beberapa tahun yang lalu saat kunjungan Presiden Joko Widodo meresmikan Bandara Tjilik Riwut dalam pidatonya mengatakan bahwa Kalimantan Tengah adalah miniatur keberagaman Indonesia sesungguhnya.
Diungkapkan, Presiden sampaikan hal itu saat meresmikan Bandara Tjilik Riwut beberapa tahun lalu, bahwa beliau bangga berada di Bumi Tambun Bungai sebagai miniatur keberagaman Indonesia yang sesungguhnya. Stempel itu tentu tidak serta merta muncul begitu saja dari seorang Presiden, tentu dengan pencermatan yang komprehensif.
Ia mengajak semua untuk merawat keberagaman yang menjadi kekuatan kita, dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang ada, tanpa menodainya dengan sikap dan prilaku yang tidak sepantasnya kita lakukan, pada saat dan waktu yang tidak tepat, dan momentum yang tidak relevan.
Disinggung soal konflik Bangkal Kabupaten Seruyan beberapa waktu lalu, Gubernur Sugianto menegaskan akan berkirim surat resmi kepada Presiden Joko Widodo, bermohon untuk mengevaluasi Ijin HGU Perusahaan Besar Swasta (PBS) maupun HTI.
Gubernur menyatakan, akan bermohon secara resmi kepada Presiden untuk mengevaluasi atau mencabut ijin HGU PBS maupun HTI yang tidak merealisasikan plasma 20 persen untuk masyarakat sekitar.
“Tidak komitnya PBS maupun HTI dalam memberikan hak plasma bagi masyarakat, menjadi pemantik konflik antara masyarakat dan perusahaan” tegasnya. (Drt/KPO-3)