BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) mengoptimalkan upaya menyelamatkan ekosistem lahan gambut yang tersebar pada 13 kota/kabupaten dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan, Hanifah Dwi Nirwana saat dikonfirmasi di Banjarbaru, Senin, mengatakan luas lahan yang terdampak karhutla di Kalsel mencapai 138.865,87 hektare sejak Januari hingga Oktober 2023.
“Cukup luas lahan gambut yang ikut terbakar pada musim kemarau tahun ini akibat fenomena El Nino,” kata Hanifah.
Guna mengembalikan fungsi lahan gambut tersebut, Hanifah menyatakan Pemprov Kalsel memastikan upaya penyelamatan ekosistem lahan gambut karena memiliki manfaat yang besar.
Menurutnya, Kalsel telah mengupayakan penyembuhan gambut dari kebakaran sejak jauh hari berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SK Menteri LHK) untuk Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun 2023 tentang penugasan pelaksanaan tugas pembantuan restorasi gambut.
Hanifah mengungkapkan SK Menteri LHK mengusung konsep “3R”, yaitu R pertama upaya “rewetting” atau pembasahan kembali lahan gambut yang kering untuk mencegah kandungan karbondioksida lepas ke udara.
Diungkapkan dia, beberapa metode yang dilakukan, antara lain pembangunan sekat kanal, penimbunan kanal dan pembangunan sumur bor.
R kedua upaya “revegetation” atau menanam kembali sejumlah pohon atau tumbuhan yang dapat menghidupkan kembali ekosistem lahan gambut untuk membentuk hutan alam yang ramah bagi beraneka ragam hayati.
“Upaya ini dilakukan dengan melalui berbagai tahap seperti persemaian, pembibitan, penanaman dan regenerasi alam,” ujar Hanifah.
Kemudian, R ketiga upaya “revitalization of Local livelihoods” untuk menyejahterakan masyarakat yang tinggal di lingkungan lahan gambut.
“Dalam hal ini edukasi dan bimbingan salah satunya mengenai penggarapan bentuk pertanian berkelanjutan di lahan gambut tanpa membakar lahan gambut,” katanya.
Hanifah pun menyimpulkan konsep pemulihan ekosistem gambut dengan cara mengembalikan dan mengelola air, melestarikan hutan, memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat dan terakhir penegakan hukum bersama instansi lintas sektoral.
Lebih lanjut, Hanifah memaparkan ekosistem gambut memegang peran penting untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Menurut dia, lahan gambut menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia dan empat kali dari yang ada di atmosfer.
Lahan gambut, lanjut dia, juga dimanfaatkan sebagai lahan untuk mengelola pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan lain sebagainya.
Namun, Kadis LHK Kalsel itu menyayangkan pemilik lahan gambut masih minim memiliki pengetahuan tentang manfaat gambut dan menerapkan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan dengan cara melakukan pembakaran untuk pertanian komoditas tertentu.
Ketika lahan gambut terbakar, dikatakan Hanifah, maka sejumlah besar karbondioksida akan terlepas ke atmosfer, dan berkontribusi terhadap perubahan iklim serta masalah kesehatan masyarakat dan menambah sulit pemadaman api yang membakar lahan dan hutan.
Selama beberapa bulan, Kalimantan Selatan mengalami dampak karhutla yang cukup parah atau berada pada posisi kuning (kurang sehat) bahkan merah (tidak sehat) berdasarkan data ISPU.
“Salah satu masalahnya adalah kebakaran di lahan gambut yang sulit dipadamkan,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Prof. Azwar Maas menyampaikan Pemprov Kalsel harus menjaga luas dan kelestarian lahan gambut.
Azwar mengungkapkan Kalsel memiliki lahan gambut yang luas berkaitan dengan provinsi lain di Kalimantan, seperti Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Timur.
Jika lahan gambut rusak, maka berakibat fatal, yakni ancaman bencana banjir besar karena lahan gambut merupakan daerah penyerap air yang terbesar.
Saat ini, ancaman terbesar kerusakan lahan gambut karena perkebunan tidak ramah lahan gambut, serta kebakaran hutan dan lahan.
“Kebakaran hutan dan lahan gambut itu tidak karena alami, itu murni dibakar orang,” tegas Azwar.
Untuk memperbaiki lahan gambut akibat kebakaran atau lainnya, Azwar menyarankan melalui penanaman tanaman penutup tanah.
“Seperti tanaman sayur-sayuran, kan bisa rapat ditanamnya,” ucapnya.
Dia tidak menyarankan menanam pepohonan keras yang tidak ramah dengan lahan gambut termasuk pepohonan yang boros menyerap air, seperti kelapa sawit.
Azwar juga menegaskan penanganan gambut juga terkait kejelasan kepemilikan lahan sehingga ada pihak pengelola yang bertanggung jawab.
Dia pun menyampaikan pemerintah daerah memiliki peranan penting untuk melestarikan dan menyelamatkan lahan gambut.
Sedangkan, Badan Restorasi Gambut Mangrove (BRGM) bentukan pemerintah pusat, dikatakan Azwar, sebagai lembaga yang memfasilitasi dan koordinasi lintas sektoral.
Sementara itu, Kepala Kelompok Kerja Monitoring, Evaluasi dan Pengembangan Data Badan Restorasi Gambut Mangrove (BRGM) Dian Nur Amalia menyebutkan pihaknya telah melakukan berbagai intervensi restorasi gambut, di antaranya memantau tinggi muka air tanah di lahan gambut.
Untuk memantau tinggi muka air tanah di lahan gambut tersebut, kata dia, BRGM memasang alat pemantauan tinggi muka air tanah (AP-TMAT) untuk melaporkan kondisi tinggi muka air tanah secara otomatis dan real time.
“Selain sebagai parameter informasi kerawanan kebakaran, tinggi muka air tanah juga sebagai indikator pemulihan fungsi ekosistem gambut, karena dalam amanat PP dan PermenLHK disebutkan tidak boleh lebih 0,4 meter di bawah permukaan gambut,” ungkapnya
Dijelaskan dia, APTMA merupakan seperangkat alat dengan tiga komponen utama, yakni, sensor tinggi muka air tanah, sensor curah hujan dan sensor kelembaban tanah.
“Tiga komponen ini mengirimkan data ke data logger yang akan diteruskan ke server BRGM dan kemudian diinformasikan kepada masyarakat melalui aplikasi SIPALAGA (Sistem Pemantau Air Lahan Gambut).
“Publik dapat mengetahui kondisi hidrologi lahan gambut melalui data tinggi muka air tanah, kelembaban dan curah hujan setiap satu jam didalam aplikasi tersebut,” ujarnya.
Menurut dia, sejak 2017 hingga 2019, BRGM telah membangun AP-TMAT otomatis sejumlah 153 unit tersebar di 7 (tujuh) provinsi restorasi gambut, salah satunya di Provinsi Kalimantan Selatan. Adapun jumlah terbanyak terpasang AP-TMAt adalah di Provinsi Riau dan Kalteng.
Sejak 2019, Dian mengungkapkan BRGM mengembangkan sistem FDRS (Fire Danger Rating System) Gambut dibantu Institut Pertanian Bogor (IPB), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“FDRS Gambut adalah sistem yang dapat memprediksi tujuh hari ke depan kondisi kekeringan dan kerentanan kebakaran di lahan gambut,” terangnya.
Selain itu, BRGM juga mengembangkan platfom daring berbasis spasial yang menyediakan informasi terkini terkait kemajuan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove, yang di namakan Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut dan Rehabilitasi Mangrove (PRIMS).
PRIMS mendukung pemantauan dan pelaporan kegiatan restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Tim Restorasi Gambut Daerah, Pemerintah Pusat.
Saat ini, BRGM juga sudah memiliki aplikasi pengumpulan data lapangan yang diberi nama “SISFO” (Sistem Informasi).
Dengan aplikasi SISFO yang berbasis gawai atau telepon seluler, pelaksana verifikasi dapat mengambil data di lapangan sesuai dengan format yang telah terstandardisasi.
Keunggulan SISFO dalam pemantauan adalah adanya data koordinat, kondisi umum dan foto infrastruktur pembasahan gambut (IPG) yang terbangun ataupun terpelihara.
Menurut dia, semua sistem informasi yang disebutkan di atas sangat penting untuk dijaga keberlanjutannya dan dikembangkan dalam rangka fungsi manajemen kinerja restorasi gambut pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan sebagai pemenuhan amanat keterbukaan informasi publik atas kinerja restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove.
Data BRGM menunjukkan Rencana Tindakan Tahunan (RTT) Restorasi Gambut 2022-2024 di Provinsi Kalimantan Selatan, yakni kegiatan intervensi restorasi gambut seluas 22.754.000 hektare pada tiga KHG, yaitu KHG Sungai Balangan-Sungai Batangalai, KHG Sungai Utar-Sungai Serapat, dan KHG Sungai Barito-Sungai Taping. (Ant/KPO-3)