Oleh:
Abdul Rahman Ramadhan, S.Ak, C.MT, C.PW, C.IW
Mahasiswa STDI Imam Syafi’i Jember
Kepala Divisi Acara Asosiasi Kaluarga Urang Banjar (AKUR)
DUNIA baru saja diramaikan oleh hiruk-pikuk viralnya banyak pesepakbola dunia seperti Cristiano Ronaldo, Neymar, Benzema dan lainnya yang menarik perhatian dunia dengan mengenakan Thawb dan Bisht saat merayakan hari nasional ke-93 Arab Saudi yang jatuh pada 23 September 2023 kemarin. Thawb dan Bisht merupakan gamis dan jubah yang menjadi pakaian sehari-hari warga Arab Saudi. Tidak hanya itu, Cristiano Ronaldo bahkan bersama para pemain Al Nassr lainnya ikut memegang pedang layaknya pejuang Arab Saudi. Hari Nasional Kerajaan Arab Saudi dirayakan setiap tahun pada tanggal 23 September untuk memperingati proklamasi yang mengganti nama Kerajaan Najd dan Hijaz menjadi Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932 melalui dekrit kerajaan oleh Raja Abdul Aziz al-Saud. Semua pihak di Arab Saudi ikut merayakan hari bersejarah nasional tersebut, termasuk dari dunia sepak bola.
Serupa tapi tak sama, masih dalam masalah pakaian bangsa “arab”. Setelah resmi memberlakukan larangan pemakaian hijab, kini pemakaian Abaya (baca: gamis arab) juga resmi dilarang penggunaannya untuk pelajar muslimah di Prancis. Abaya sendiri merupakan sebuah busana yang berasal dari timur tengah, berbentuk sederhana mirip jubah. Oleh sebab itu, abaya juga diistilahkan dengan gamis arab. Abaya biasanya dipakai oleh wanita di belahan dunia Muslim yang meliputi Afrika Utara dan Jazirah Arab.
Pengadilan Administratif tertinggi Prancis resmi memutuskan larangan untuk sekolah terhadap abaya yang dianggap sebagai pakaian tradisional yang dikenakan oleh sebagian wanita Muslim (baca: muslimah). Pemerintahan Presiden Emmanuel beralasan bahwa hal itu melanggar aturan sekularisme dalam pendidikan di Prancis, yang melarang jilbab dengan alasan bahwa itu merupakan bentuk afiliasi agama. Pemerintahan Presiden Emmanuel Macron berdalih bahwa larangan tersebut tidak mendiskriminasi umat Islam.
Larangan abaya di Perancis sejatinya telah dikritik oleh banyak anggota parlemen oposisi, termasuk Danièle Obono yang menyebut larangan Abaya tersebut sebagai kampanye Islamofobia baru. Publik Perancis pun mulai mempertanyakan apakah Abaya melanggar kebijakan sekularisme. Tak hanya itu, Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat, United States Commission on International Religious Freedom (USCIRF) juga turut mengecam keputusan Prancis yang melarang penggunaan abaya di sekolah umum. USCIRF mengatakan bahwa Prancis telah menggunakan sekularisme untuk menargetkan dan mengintimidasi populasi Muslim di negara tersebut.
Action for the Rights of Muslim (ADM), sebuah asosiasi yang mewakili umat Islam bahkan mengajukan mosi kepada Dewan Negara untuk meminta keputusan terhadap larangan tersebut. ADM mengatakan bahwa larangan tersebut bersifat diskriminatif dan dapat memicu kebencian terhadap umat Islam. Namun, Dewan Negara mengatakan bahwa pakaian tersebut mengikuti logika penegasan agama. Larangan tersebut didasarkan pada undang-undang Prancis, yang tidak membolehkan siapa pun memakai simbol afiliasi agama di sekolah.
Dewan Negara menyebutkan bahwa larangan pemerintah tersebut tidak menyebabkan kerusakan serius terhadap penghormatan kehidupan pribadi, kebebasan beragama, hak atas pendidikan, kesejahteraan anak-anak atau prinsip non-diskriminasi. Hal tersebut disanggah oleh pengacara ADM, Vincent Brengarth yang mengutarakan pendapatnya selama persidangan bahwa abaya harus dianggap sebagai pakaian tradisional, bukan pakaian keagamaan. Dia juga menuduh Pemerintah Prancis mencari keuntunganp politik dengan larangan tersebut.
Slogan “my body my choice” yang gencar digaungkan para feminist barat hanyalah isapan jempol belaka ketika “choice” tersebut digunakan oleh para muslimah disana untuk menutup aurat. Kebebasan berekspresi yang digaungkan kaum sekularis, sejatinya tidak berlaku bagi kaum muslimah yang merupakan minoritas di sana. Hal ini semakin menunjukkan besarnya Islamphobia di negeri yang menjadi pusat fashion dunia tersebut.
Lantas, mengapa harus takut pada Islam? Padahal Allah berfirman yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)
Bukankah Islam merupakan agama pertama yang menegakkan hak-hak manusia serta dengan tegas membasmi kedzaliman dan sikap melampaui batas?. Islam lah agama yang gencar mengajarkan oentingnya toleransi dan akhlak terpuji. Bahkan, Allah mengabadikannya di dalam Al-Qur’an dengan penyebutan rahmat, kasih sayang, pemaafan, pengampunan, dan kesabaran sebanyak lebih dari 700 kali, belum lagi hadis-hadis Nabi yang juga banyak membahas hal-hal tersebut.
‘Ala kulli hal, kejadian miris ini setidaknya mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan berupa segala kenyamanan dan kemudahan dalam beragama di negeri kita tercinta, Indonesia. Tentu tidak pernah terlintas di pikiran kita bagaimana jika kejadian tersebut terjadi di Indonesia. Semoga Allah menjaga negeri ini selalu dalam kedamaian dan keamanan.
Selain itu, hendaknya kita meluangkan waktu kita untuk memohonkan kepada Allah dan mendo’akan para pemimpin dan pemangku kepentingan di negeri ini agar senantiasa diberi penjagaan dan kemudahan oleh Allah dalam mengambil keputusan yang terbaik untuk bangsa dan negara. Dan semoga Allah senantiasa melimpahkan kesabaran kepada para muslimah di Prancis secara khusus, dan kaum muslimin secara umum, yang menjadi minoritas di negara tersebut dalam menjalani kehidupan dan menjaga agama mereka ditengah ketertindasan yang tiada henti. Wallahu a’lam.