Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Hari Ayah, Antara Harapan Dan Realita

×

Hari Ayah, Antara Harapan Dan Realita

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ni’mah Faiza
Pemerhati Generasi

Ucapan ‘Selamat Hari Ayah’ ramai menghiasi media sosial. Status whatsApp, instagram, facebook, maupun tiktok berisi ucapan-ucapan, foto atau video bersama keluarga terutama ayah. Walaupun ada perbedaan dalam tanggal peringatan antara Hari Ayah Nasional dan Hari Ayah Sedunia, tetapi semuanya sama, Hari Ayah diperingati sebagai bentuk penghormatan kepada sosok yang bernama ‘Ayah’.

Baca Koran

Di Indonesia, Hari Ayah dirayakan pada 12 November dan bukan hari libur umum. Hari Ayah di Indonesia pertama kali dinyatakan pada tahun 2006 di Balai Kota Solo, dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai kelompok Masyarakat, termasuk orang-orang dari komunitas komunikasi antar agama. Sementara di Amerika Serikat, dan lebih dari 75 negara lain, seperti Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Turki, Pakistan, Malaysia, Singapura, Taiwan, Filipina, dan Hongkong dalam Hari Ayah atau Father’s Day dirayakan pada hari minggu , di pekan ketiga bulan Juni, dan dirayakan hampir di seluruh dunia yang dimulai pada awal abad ke-12 (Wikipedia).

Banyak cara orang-orang memperingati Hari Ayah, seperti memberikan hadiah kepada ayah ataupun kegiatan kekeluargaan seperti makan bersama maupun rekreasi bersama. Peran ayah yang begitu besar dalam keluarga sebagai tulang punggung pencari nafkah, sandaran dan pelindung dalam sebuah rumah tangga, membuatnya layak untuk mendapatkan penghormatan yang besar. Sejatinya tak hanya dalam sehari itu saja, tetapi hari-hari lain pun seorang anak harus menghormati dan mentaati ayahnya juga ibunya.

Ketika berbicara tentang sosok ayah, maka dia adalah sosok laki-laki yang selalu bekerja keras untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Menyediakan sandang, pangan dan papan, juga memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak. Anak-anak terpenuhi gizinya dengan baik, sehingga akan tumbuh mejadi generasi-generasi penerus yang sehat dan kuat.

Namun, realitas tak selalu sesuai dengan harapan ditengah sistem kapitalisme yang diterapkan didunia saat ini dan tak terkecuali juga di Indonesia, membuat ekonomi kehidupan semakin sulit. Mencari pekerjaan yang layak untuk dapat memenuhi keperluan hidup yang semakin mahal tidaklah mudah. Yang terjadi malah PHK dimana-mana, angka pengangguran semakin tinggi. Sosok ayah mengalami kesulitan yang semakin berat memenuhi tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah keluarga.

Baca Juga :  SUDAH BENARKAN PUASA KITA

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta orang per Agustus 2023, dari total 147,71 juta angkatan kerja (www.cnnindonesia.com, 06/11/2023). Dan berdasarkan data Trading Economy, Indonesia adalah negara dengan tingkat pengangguran tertinggi kedua di Asia Tenggara tahun ini. Jumlah dan tingkat pengangguran masih relatif lebih tinggi dibandingkan sebelum terjadinya pandemi pada 2019.

Kementerian Ketenagakerjaan menyampaikan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menekan angka pengangguran. “Salah satu tujuan dari UU Cipta Kerja ini adalah kita bagaimana membuat regulasi untuk menciptakan pekerjaan bagi mereka yang menganggur, kita perluas kesempatan untuk bekerjanya,” ujar Sekretaris Ditjen Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Surya Lukita Warman di Jakarta. Ia berharap melalui UU ini dapat lebih memudahkan perizinan investasi maupun berusaha sehingga terbuka lowongan pekerjaan lebih luas. (antaranews.com, 02/05/2023)

Menjadi sebuah pertanyaan dalam benak, benarkah kemudahan berinvestasi baik asing maupun swasta akan mampu menghilangkan maraknya pengangguran dan membuat sejahtera masyarakat Indonesia? Ataukah keran investasi yang dibuka lebar tidak berimplikasi terhadap kesediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan?

Saat ini jumlah angkatan kerja terus bertambah karena bonus demografi Indonesia jauh lebih besar dibandingkan penciptaan lapangan kerja. Pemerintah sendiri berlepas tangan dalam menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi rakyatnya. Yang ada, pemerintah menyerahkan pada korporasi atau pemilik modal dengan dimudahkannya investasi tadi dan menyerahkan serapan tenaga kerja pada mekanisme pasar.

Pada kenyataannya memudahkan investasi kepada para investor ini lebih cenderung bersifat padat modal dari pada padat tenaga kerja, sehingga kurang optimal dalam mengurangi pengangguran. Selain itu dalam sistem kapitalisme, indusri yang dikembangkan lebih kepada pesanan oligarki, bukan berdasarkan kebutuhan. Dengan prinsip ekonomi kapitalis ‘mengeluarkan modal sekecil-kecilnya, untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya’, menjadi pekerja hanya sekedar untuk bertahan hidup. Sementara itu harta kekayaan yang melimpah hanya dinikmati oleh mereka yang unggul dalam kegiatan ekonomi yaitu para pemilik modal besar atau oligarki. Dan ini jelas hanya segelintir orang saja yang merasakannya.

Diserahkannya penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja pada mekanisme pasar dan pemerintah sebagai regulator saja, akan membuat orang-orang cacat, mereka yang tidak punya modal, berpendidikan rendah dan tidak memiliki skill akan tersingkir. Padahal bisa jadi diantara mereka itu ada seorang ayah yang menjadi tulang punggung dan harus menghidupi keluarganya. Hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus, karena kebutuhan akan sandang, pangan dan papan tidak bisa tidak juga harus dipenuhi. Jika kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi yang mumpuni, maka jelaslah sebagian besar masyarakat akan jauh dari kata sejahtera.

Baca Juga :  Efisiensi Anggaran, Akankah Menjadi Solusi?

Beginilah kondisi ketika yang dijadikan aturan adalah hukum buatan manusia yang lemah, pastinya aturan-aturan penuh dengan kekurangan dan membawa pada kerusakan. Hal ini akan berbeda jika yang diterapkan adalah aturan-aturan dari Sang Maha Pencipta Allah swt. Allah menurunkan Islam dengan sangat sempurna, sehingga mampu mengatasi segala problem kehidupan termasuk masalah pengangguran.

Dalam Islam, negara wajib menyediakan lapangan kerja yang memadai sebagai salah satu mekanisme mewujudkan kesejahteraan umat. Negara harus memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan masing-masing individu. Negara memastikan setiap kepala keluarga atau yang menjadi wali mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Jika dia tidak mampu karena cacat atau renta, maka negara yang akan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya beserta tanggungannya.

Dalam sistem Islam kekayaan alam seperti tambang dipandang sebagai milik umum seluruh rakyat, sehingga harus dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Negara tidak boleh menjual kekayaan alam pada individu untuk dikelola baik swasta maupun asing. Kemandirian negara dalam mengelola sumber daya alam maupun dalam pembangunan infrastruktur lainnya dapat membuka lapangan pekerjaan yang sangat luas. Hal ini pastinya akan mampu meminimalisir pengangguran.

Mekanisme baitul mal baik dalam pemasukan maupun pengeluaran keuangan negara juga telah diatur dalam islam. Hutang dan pajak tidak menjadi sumber pendapatan utama seperti dalam sistem sekarang. Negara akan memberikan modal bagi yang ingin berusaha tetapi mengalami kesulitan dari kas baitul mal tersebut tanpa adanya sistem ribawi yang menyengsarakan seperti saat ini. Dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan negara dan tidak berlepas tangannya negara dalam melayani rakyatnya, maka bisa dipastikan kesejahteraan bukanlah mimpi didalam sistem Islam. Wallahu a’lam bi ashshowab

Iklan
Iklan