Oleh: Gusti Nabeela
Mahasiswa Kampus Swasta Banjarmasin
Oligarki adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa bahasa Yunani yaitu oligarkhia yang memiliki arti memerintah. Jadi oligarki diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan oleh sekelompok elit dari masyarakat yang bisa dibedakan berdasarkan pada kekayaaan, keluarga atau militer. Kalau kita menilik kondisi negara kita saat ini oligarki sudah terlihat nyata dalam kehidupan bernegara. Pemilu yang sebentar lagi akan dilaksanakan di Februari 2024 menjadi ajang untuk menunjukkan kekuatan masing-masing elit dalam pertarungan dalam memenangkan kursi legislatif maupun pucuk pimpinan dalam pemerintahan.
Oligarki bukan merupakan sistem resmi pemerintahan suatu negara tetapi hanya sebuah jalan yang ditempuh oleh sebuah kelompok elit untuk kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya. Kelompok tersebut berusaha untuk mencapai puncak kekuasaan melalui cara yang beragam untuk melipatgandakan kekayaan, kekuasaan dan tidak memberikan peluang bagi orang lain.
Menjelang Pemilu 2024 banyak pengusaha maupun artis yang beramai-ramai terjun dalam dunia politik tanah air, tanpa melihat kapasitas dan kapabilitasnya, tetapi mereka yakin dengan modal yang besar suara rakyat bisa dibeli. Selain itu kedekatan dengan elit politik senior yang masih memegang tampuk kekuasaan akan menjadikan caleg mendapat karpet merah untuk menduduki kursi legislatif, sehingga calon yang benar-benar memiliki kemampuan dalam segi manajerial dan kepemerintahan akan tersingkirkan oleh calon-calon yang lebih kuat modalnya. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya kejadian korupsi yang dilakukan anggota legislatif maupun pimpinan daerah dengan alasan untuk mengembalikan modal kampanye yang nilainya tidak sedikit.
Rakyat selalu menjadi korban, saat caleg sudah menjabat alih-alih mereka mewakili suara dan hak rakyat yang ada rakyat semakin sengasara dengan kebijakan yang diambil anggota legislatif karena faktanya tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi lebih mementingkan kepentingan pemilik modal. Banyak kasus bagaimana para elit politik menyikapi kebijakan pemerintah yang nyata-nyata tidak mensejahterakan rakyat tetapi mereka bungkam, bahkan mendukung pemerintah dengan alasan untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi nyatanya yang diuntungkan adalah para pengusaha dan kroninya. Hak rakyat terabaikan kesehatan, pendidikan, keamanan, harga pangan dan banyak kasus perebutan lahan warga yang terjadi di berbagai daerah, sebagai buah dari adanya oligarki.
Konflik lahan ini telah merampas ruang hidup jutan masyarakat di negeri ini. Konflik agraria terus terjadi diberbagai sektor mulai dari perkebunan yang diminasi oleh sawit, infrastruktur, proyek strategis nasional (PSN), kawasan ekonomi khusus kreatif (KEK), sektor pertambangan, dan konflik di sektor properti, kota mandiri dan area komersial diperkotaan. Perampasan hidup akibat konflik agraria yang berkepanjangan ini telah menimbulkan konflik sosial yang diikuti dengan intimidasi kekeransan dan kriminalisasi, hal ini tentu menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran ditengah masyarakat. Alhasil tidak ada jaminan keamanan bagi masyarakat yang wilayahnya menjadi sasaran penggunaan lahan oleh sebagian besar pemilik modal atas legalisasi penguasa.
Tidak hanya itu, konflik lahan juga berakibat pada relokasi besar-besaran dan penggusuran rumah dan tempat hidup masyarakat. Dampaknya rakyat akan kehilangan rumah, pekerjaan, komunitas, sidan generasi. Banjir, tanah longsor, polusi udara, limbah B3, dan kekeringan tidak terhindarkan akibat tergangguna ekosistem.
Pembukaan lahan dengan metode pembakaran hutan untuk menglola hutan juga menyebabkan masyarakat terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan gangguan paru lainnya termasuk pneumonia. Tak sedikit masyarakat yang menjadi korban karena mengalami luka-luka, terserang penyakit, hingga kehilangan nyawa jingga setiap tahunnya. Akibat persoalan lahan ini. Banyak kepala keluarga harus kehilangan mata pecaharian tetapnya, hingga berganti mata pencaharian. Sungguh konflik lahan telah menghilangkan sumber penghidupan masyarakat berupa hutan, laut, cadangan air bersih, udara nersih dan lingkungan hidup sehat dan tidak tercemar.
Kemiskinan juga kian menyelimuti masyarakat. Lapangan pekerjaan yang dijanjikan pun hanya sebagai buruh kasar yang upahnya sangat minim, tidak sebanding dengan kerugian saat tanah warga terampas. Bahkan, kadang kala perempuan dan anak harus turut membantu sang ayah untuk memenuhi target produksi, tanpa diberi upah.
Penderitaan warga, termasuk perempuan dan anak (generasi), tidak bisa dipisahkan dari praktik politik oligarki. Bagaimanapun juga, sejumlah regulasi yang melegalkan perampasan tanah tidak bisa lepas dari campur tangan kaum oligarki. Sistem politik demokrasi memang meniscayakan yang demikian. Kontestasi yang begitu mahal menyebabkan politik transaksional begitu kental.
Simbiosis mutualisme pemangku kebijakan dan para oligarki menjadikan demokrasi sebagai wadah terbaiknya. Alhasil, seluruh kebijakan yang menzalimi rakyat niscaya terlahir dalam sistem demokrasi. Lihatlah saat rakyat menuntut hak atas tanahnya, penguasa malah berdiri di samping korporasi, menjadi perpanjangan tangan mereka untuk menyelesaikan konflik antara rakyat dan perusahaan.
Aparat dikeluarkan bukan untuk melindungi rakyat dari terampasnya ruang hidup mereka. Sebaliknya, moncong hitam dan peluru tajam malah diarahkan pada rakyat yang tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk melawan korporasi. Sungguh kondisi yang amat memilukan bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan negara yang menerapkan aturan Islam, karena negara berperan untuk meriayah ummat orang per orang tanpa kecuali berdasarkan aturan Illahi dan ketakwaan kepada Alloh, baik dalam sektor ekonomi, kesehatan maupun pendidikan. Dalam kaitan dengan munculnya oligarki dalam suatu negara, Al Qur’an menjelaskan, “Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan Apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Al Hasyr : 7). Oleh sebab itu sejak dimasa Rasulullah pemerintahan Islam telah berupaya menentang kekuasaan oligark, misalnya di Makkah tentang ekonomi riba dan distribusi kekayaan dalam bentuk zakat merupakan salah satu yang sudah dilakukan saat itu, sehingga tidak melanggengkan kemiskinan di masyarakat.
Bahkan oligarki ekonomi terlihat jelas pada penolakan elit Yahudi di Madinah sewaktu Nabi Muhammad tiba di Madinah, yaitu pemilik ladang, peternakan, dan penguasa lahan merasa terancam dengan kedatangan imigran Makkah, tetapi berhasil ditangani oleh Rasulullah melalui Piagam Madinah.
Oligarki Makkah menguasai tanah di kawasan subur Arab, dan selama beberapa dekade berhasil mengekspansi kawasan gurun, pusat mata air, area yang mendapat curah hujan regular, dan memperoleh budak-budak baru untuk bekerja di ladang. Nabi Muhammad membatasi akumulasi modal dan membatasi penguasaan terhadap sumber-sumber kehidupan. Oligarki Makkah bukan cuma menguasai agraria, tapi juga memegang hak atas kantong-kantong air yang begitu vital bagi kehidupan masyarakat gurun. Saat itu Nabi melarang elit ekonomi untuk menguasai tanah produktif yang masih digunakan oleh komunitas tetapi hanya tanah yang betul-betul tak berpemilik yang bisa digunakan oleh para pengusaha. Nabi melarang praktik menggusur tanah yang masih digarap oleh peladang, membentuk Baitul Maal untuk membagi konsesi penggunaan ladang yang sebelumnya berlangsung sangat bebas, sehingga kemakmuran umat dapat diwujudkan.
Dari siroh nabawiah, kita tahu peran Rosululloh sebagai kepala negara dalam meriayah umat berdasarkan al-Quran, al-Hadits, Ijma’ sahabat, dan qiyas, begitu pulalah yang dilakukan para kholifah selanjutnya. Bagi kholifah kekuasaan politik merupakan alat untuk melaksanakan syariat Islam, menegakan keadilan, mewujudkan kesejahteraan rakyat orang per orang, menciptakan keamanan dan ketenangan.
Dalam sistem khilafah, kedaulatan berada di tangan syara’ (Allah SWT). Khalifah dalam hal ini bukan sebagai pembuat hukum tetapi hanya sebatas menerapkan hukum. Sumber hukum sudah ada yaitu al-Quran, al-Hadits, Ijma’ sahabat, dan qiyas. Karena pelaksana maka kepala negara akan memastikan kondisi umat sudah sesuai harapan dalam al Quran karena akan dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Hanya dengan pelaksanaan aturan Islam kehidupan masyarakat akan sejahtera.