Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mari Memilih dan Jangan Golput

×

Mari Memilih dan Jangan Golput

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati sosial politik

Pernahkah anda menjadi petugas KPPS di TPS di sekitar rumah? Kalau pernah tentu akan merasakan sendiri betapa banyaknya kertas suara yang tidak terpakai atau tidak dicoblos, karena pemilihnya tidak datang pada hari H Pemilu. Apakah mereka yang tidak datang memilih ini golput, atau berhalangan, atau sudah pindah alamat, kita tidak tahu persis. Yang jelas jumlah surat tidak terpakai biasanya cukup besar, mencapai 30 persen. Hal ini tentu sangat disayangkan, berarti menyia-nyiakan kesempatan memilih, padahal pemerintah sudah mengeluarkan dana Pemilu yang sangat besar. Belum lagi para petugas sudah letih mencetak suara, melipat, menyiapkan dokumen dan segala macam.

Baca Koran

Beberapa tahun lalu, MUI Kalsel pernah menghimbau masyarakat agar proaktif menggunakan hak pilihnya, mulai dari pemilih presiden, gubernur/bupati/walikota, anggota legislatif dan sebagainya sesuai hati nurani alias tidak golput. Himbauan begini tentu sudah sering didengar, tidak saja dari kalangan agamawan, juga politisi. Mantan Ketua MPR dan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid meminta MUI, NU dan Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram terhadap golput. Fatwa ini dianggap mendesak mengingat fenomena selama ini angka golput cukup besar. Ketika berkunjung ke Banjarmasin dan Martapura akhir Desember 2008, ia menekankan bahwa fatwa haram golput dimaksudkan untuk mengoptimalkan partisipasi pemilih khususnya muslim yang menjadi mayoritas penduduk. Kalau golput terlalu besar otomatis pemerintahan yang terbentuk kurang legitimated, padahal cost pemilu sangat besar.

Tetapi Ketua MUI KH Amidhan menolak perlunya fatwa golput. Menurutnya ulama harus hati-hati, cermat, teliti dan dan tidak sembarangan mengeluarkan fatwa. Pihaknya khawatir fatwa bisa menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Fatwa bisa saja dikeluarkan atas permintaan pejabat dan masyarakat, tetapi sifat fatwa tidak boleh sampai mengubah secara mendasar status hukum asal suatu hal. Ia meminta agar tidak semua masalah dibawa dan dikembalikan kepada agama.

Sebelum usulan fatwa haram golput secara nasional, sejumlah ulama di Jawa Timur juga pernah mengharamkan golput karena dianggap tidak sejalan dengan anjuran agama memilih pemimpin. Hal sama juga disampaikan oleh para ulama di Kalimantan Tengah. Golput makin meresahkan, baik bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu, pemerintah maupun para elit yang sangat berkepentingan terhadap hasil pemilu. Megawati Soekarnoputri pernah menyatakan, orang yang golput pada dasarnya tidak berhak menjadi warganegara Indonesia, sebab mereka merusak tatanan demokrasi.

Mencari Dasar Hukum

Golput sebagai sebuah realpolitik bisa saja dicarikan status hukumnya. Apakah halal (boleh), haram atau syubhat (samar-samar), ketiganya ada landasan hukum dan yurispridensinya. Kalau dikatakan halal, dasarnya adalah praktik politik beberapa sahabat Rasulullah saw yang menolak pengangkatan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah. Mereka ini dipimpin Sa’ad bin Ubadah dari golongan Anshar Madinah yang semula ingin menjadi khalifah karena merasa lebih berjasa mengembangkan Islam ketimbang kaum Muhajirin. Tetapi golongan Muhajirin menolak dan tetap mengangkat Abu Bakar. Hal ini kemudian diterima oleh mayoritas golongan Anshar lainnya. Akhirnya Saad bin Ubadah bersama keluarganya mengasingkan diri dari kota Madinah, memilih golput dengan tidak mendukung Abu Bakar namun tidak pula menentangnya. Umar bin Khattab sempat ingin menangkap dan menghukum Saad cs, tetapi Abu Bakar melarang, dengan alasan kelompok golput hanya sedikit, tidak mengajak orang lain dan tidak pula melawan dengan senjata, jadi tidak berbahaya bagi negara.

Baca Juga :  KaburAjaDulu: Antara Brain Drain, Brain Gain, dan Brain Circulation

Peristiwa ini adalah yurisprudensi golput pertama kali dalam sejarah Islam dan terulang lagi ketika masa Khalifah Usman, Ali dan Muawiyah. Melihat terjadi perang saudara sesama muslim, sejumlah tokoh seperti Saad bin Abi Waqqash, Abu Zar al-Giffari dan Abdurrahman bin Auf memilih golput, tidak mendukung salahsatu kekuatan politik, tetapi secara pribadi mereka tetap berprinsip dan mampu menilai siapa yang benar dan yang salah dari para pihak yang bersengketa. Seusai Perang Jamal (Unta), Aisyah janda Rasulullah saw juga memilih golput, tidak mau lagi terjun ke dunia politik dengan mendukung atau menentang salah satu penguasa, karena semuanya berujung kecewa. Prinsip golput ini dianut Aisyah hingga akhir hayatnya.

Bagi yang mengharamkan golput, dasarnya adalah pendapat ulama besar Islam Dr Syekh Yusuf al-Qardhawi (alm). Ia mengatakan, pemilu dalam sistem demokrasi, walau berasal dari Barat, dapat diterima dalam politik Islam, sebab mendekati sistem bai’at dan musyawarah dalam politik Islam. Orang yang memilih berarti memberikan kesaksian dan persetujuan (bai’at) terhadap pemimpin yang dipilihnya. Memberi kesaksian secara benar hukumnya wajib. Tidak memilih (golput), padahal ada calon pemimpn yang tepat, berarti enggan memberi dukungan dan kesaksian, dan karenanya hukumnya haram. Dengan aktif memilih, akan terpilih calon pemimpin yang punya integritas dan kapabilitas, walau tidak punya uang. Sebaliknya, dengan tidak memilih, berisiko besar calon yang kapabel akan kalah, dan yang menang adalah calon yang tidak kapabel tetapi lihai bermain uang, mobilisasi dan rekayasa politik, sehingga orang beramai-ramai memilihnya. Kapabilitas ini terutama diukur dari rekam jejak, integritas dan kemampuan memimpin yang sudah teruji dan terbukti baik.

Karena itu Qardhawi, selain mengharamkan golput, di saat sama juga mengharamkan politik uang. Memilih karena uang atau pemberian materi, sementara calon pemimpin tidak kapabel, menurutnya, berarti bersaksi palsu. Prinsip ini dimaksudkan supaya hasil pemilu betul-betul mendekati hakikat bai’at dan demokrasi yang sebenarnya. Ketika rakyat memilih dengan hati nurani dan akal sehatnya, tanpa rekayasa dan paksaan dari siapa pun, berarti murni aspirasinya. Hati nurani adalah cermin kebenaran. Ada suara Tuhan di dalamnya, dan inilah yang namanya vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Pilihan begini akan menghasilkan pemimpin kapabel yang mampu mengubah dan memperbaiki kehidupan bangsa.

Fatwa haram golput memang pernah dikeluarkan di sejumlah negeri Islam. Fatwa haram golput mampu memotivasi partisipasi politik rakyat Aljazair, Turki dan Palestina dalam pemilu. Partai-partai Islam pernah berhasil mencapai kemenangan telak. Sayang kemenangan itu kemudian dianulir, kurang diakui pemerintah dan militer serta ditolak pihak Barat. Di sinilah anomali demokrasi. Barat yang menuhankan demokrasi ternyata menolak hasil demokrasi ketika pihak yang menang tidak sejalan dengan kepentingan mereka.

Dalam Islam, yang halal itu jelas dan haram pun jelas. Antara keduanya terdapat syubhat, yaitu sesuatu yang status hukumnya samar-samar, abu-abu dan meragukan. Golput yang terjadi di negeri ini bisa saja berada di antara keduanya. Tetapi bagi muslim yang ingin beragama dengan baik sepantasnya meninggalkan hal-hal yang syubhat. Artinya mereka harus bersikap, cermat memilih caleg, presiden, gubernur, bupati/walikota dan wakilnya sebagai pemimpin yang layak, dengan ukuran agama, moralitas, integritas dan profesionalitas. Sikap ini dapat dianggap sebagai ijtihad, bila benar pahalanya bernilai dua dan jika salah bernilai satu. Kalau pemilih secara tidak sengaja tersalah memilih pemimpin, lalu setelah jadi pemimpin itu tidak jujur dan cakap, korup dan menyimpang, yang salah bukan pemilihnya tetapi si terpilih. Mereka inilah yang berdosa kepada rakyat dan kepada Tuhan dan harus bertanggung jawab kelak. Di akhirat pemimpin yang tidak jujur dan tidak berjuang untuk rakyat tidak akan pernah mencium bau surga.

Baca Juga :  MASJID

Kondisi Indonesia

Walau ada dasar hukumnya, antisipasi golput di negeri ini lebih baik menggunakan pendekatan lain di luar metode agama. Tidak tepat pula menggunakan pernyataan keras, sebab rakyat pemilih berdaulat atas suaranya sendiri. Golput hendaknya diminimize dengan melihat kepada sifat dan penyebabnya.

Dalam teori politik golput terbagi tiga; teknis, politis dan ideologis. Golput teknis disebabkan tidak terdaftar, salah mencoblos dan mencontreng. Ini masih sering terjadi dalam pemilu. Mengatasinya dengan melakukan pendaftaran dan sosialisasi pemilu/pilkada secara optimal. Tugas ini ada pada KPU dan pihak terkait. Hak orang untuk memilih dan dipilih benar-benar harus dioptimalkan.

Golput politis disebabkan tidak percaya terhadap para politisi, caleg dan calon pejabat yang ditawarkan parpol. Di Indonesia, golput bentuk inilah yang menonjol. Rakyat seperti sia-sia memilih wakilnya di legislatif dan pemimpin di eksekutif, sebab nasibnya tidak pernah diperjuangkan secara serius. Setelah jadi mereka lupa dengan yang memilih, sulit ditemui, malas mengayomi rakyat, koruptif, suka pamer kekayaan dan lebih sering bepergian ke luar daerah dan luar negeri tanpa manfaat yang jelas. Mengatasinya harus dengan memperbaiki citra politisi, dan kinerja parpol sesuai dengan kondisi dan kebutuhan riil masyarakat. Sebagian besar rakyat masih miskin, jadi perjuangan parpol/legislatif dan eksekutif harus pro-poor (menolong orang miskin), pro-job (memperluas lapangan kerja) dan pro-growt (mengupayakan pertumbuhan) serta pemerataan kesejahteraan.

Golput ideologis disebabkan tidak percaya dengan sistem demokrasi pemilu produk Barat/sekular dan tidak mau terlibat di dalamnya. Di sebagian komponen bangsa, terutama kalangan yang ingin melakukan perubahan total, golput bentuk ini masih ada, walau belum dominan. Ini agak sulit diatasi, tetapi dapat dicoba diatasi dengan memperbaiki sistem dan kualitas pemilu berikut produk demokrasi dan peranannya memperbaiki nasib rakyat. Jika ini dilakukan, mungkin golput akan berkurang.

Intinya golput adalah sebuah protes.Tidak bisa didekati hanya lewat bahasa fatwa, apalagi fatwa MUI selama ini hanya sebagai kekuatan moral, tidak pernah mengikat. Sudah banyak fatwa dikeluarkan MUI, tapi belum mengatasi masalah, karena akar masalahnya tidak dibongkar. Kalau ingin golput berkurang, pemilu harus menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang benar-benar berjuang untuk rakyat, bukan untuk diri dan partai/kelompoknya saja. Selama rakyat merasa diperlakukan seperti pendorong mobil mogok, lalu setelah itu ditinggalkan, golput akan terus ada, bahkan meningkat. Jika rakyat merasa memilih itu bermanfaat, tentu mereka akan sadar berpartisipasi dalam pemilu. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan