BANJARBARU, Kalimantanpost.com – Masifnya pemanfaatan teknologi internet di Indonesia berdampak terhadap berbagai sektor, salah satunya terhadap sektor bisnis dan ekonomi dengan hadirnya financial technology atau lazim disebut fintech.
Dapat didefinisikan, fintech sebagai inovasi pada sektor jasa keuangan, yakni sebagai inovasi finansial dengan sentuhan teknologi modern.
Inovasi ini lalu diaplikasikan pada salah satu bentuk penerapan informasi teknologi di bidang keuangan. Saat ini fintech mampu melayani uang elektronik, virtual account, agregator, peminjaman, crowdfunding dan transaksi keuangan online lainnya, seperti Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol).
Hanya saja, pada praktiknya, P2P Lending ilegal belakangan ini tumbuh subur di tengah masyarakat bak jamur di musim penghujan. Otorisasi Jasa Keuangan (OJK) pun kerap mewanti-wanti masyarakat agar selalu waspada dan lebih teliti lagi jika ingin berhubungan dengan pinjol ilegal.
“P2P Lending yang legal sudah mempunyai payung hukum berdasarkan UU P2SK. Dan termasuk dalam kategori Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, serta masuk cluster pembiayaan,” ungkap Edi Setijawan,
Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya pada OJK, saat memberikan materi dalam kegiatan Journalist Class Angkatan 8 di Banjarbaru, Kalsel, Rabu (28/2/2024).
Dikatakan Edi, jika P2P Lending legal tersebut diawasi OJK mulai proses perizinan hingga beroperasi, maka dia dapat dikatakan legal. Sebaliknya, bila tidak melalui proses tersebut maka bisa dikatakan ilegal.
“Jadi, pelaku pinjol ilegal itu bentuknya tidak hanya korporasi, tapi juga perorangan,” jelasnya.
Edi menambahkan, sepanjang tahun 2023 sebanyak 2.248 entitas pinjol ilegal yang sudah ditutup oleh Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI).
“P2P Lending yang diawasi OJK jumlahnya hanya 101. Sementara yang sudah ditake down jumlahnya sebanyak 2.248 di tahun 2023. Artinya, setiap tahun yang meramaikan dunia pinjol ini pasti lebih banyak dari itu,” katanya.
Dalam materi yang dipaparkannya, Edi menyampaikan pemicu maraknya pinjol ilegal adalah indeks literasi digital yang rendah di masyarakat. Kemudian, keinginan untuk memperoleh dana dengan instan tanpa
pertimbangan risiko matang. Kesulitan ekonomi seperti saat pandemi, serta pengaruh media sosial dan influencer dalam gaya hidup.
Lebih jauh ia menuturkan, OJK bersama 12 kementerian/lembaga lainnya yang
tergabung dalam Satgas PASTI serius melakukan upaya pemberantasan pinjol ilegal.
Cyber Patrol dilakukan setiap hari untuk menemukan website dan aplikasi pinjol ilegal dan pemblokiran oleh Kemenkominfo.
“OJK bersama asosiasi juga menyelenggarakan edukasi secara
berkala kepada masyarakat yang rentan menjadi korban pinjol ilegal, baik online dan offline. Serta melakukan publikasi pada media massa dan media sosial terkait pengenalan dan manfaat P2P Lending, serta ciri-ciri, modus, dan bahaya pinjol ilegal,” terangnya.
Kemudian, disampaikan pula ciri-ciri fintech ilegal di antaranya adalah tidak memiliki izin dari OJK, tidak memiliki alamat kantor yang jelas, meminta akses seluruh data di ponsel, serta tidak memiliki aturan pembiayaan yang jelas.
“Untuk mengecek legalitas fintech lending, informasi atau pertanyaan, dan mendapati perusahaan fintech ilegal dapat menghubungi kontak OJK 157, WA (081157157157), email: konsumen@ojk.go.id atau email: waspadainvestasi@ojk.go.id,” tandas Edi.
Sementara itu, Rudy Agus P. Raharjo, Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK menambahkan, kerugian masyarakat akibat investasi ilegal dari 2017 – 2023 mencapai Rp139,7 Triliun. Lalu, dalam rentang waktu 2018 – 2023 penyelenggara pinjol ilegal yang telah ditutup oleh Satgas PASTI adalah sebanyak 6.680.
Rudy juga mengingatkan, sebelum meminjam melalui aplikasi pinjaman online, pastikan dulu untuk pinjam pada fintech peer-to-peer lending yang terdaftar di OJK.
“Pinjam sesuai kebutuhan dan
kemampuan, serta untuk kepentingan yang produktif. Pahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya,” pesannya.
Ketika ditawari investasi dengan iming-iming imbal hasil tinggi, lanjut Rudy, masyarakat harus selalu memperhatikan dua aspek penting, yaitu Legal dan Logis alias 2L.
“Legal artinya memastikan bahwa produk atau layanan yang ditawarkan tersebut sudah memiliki izin usaha yang tepat dari otoritas atau lembaga yang mengawasi. Sementara itu, Logis artinya selalu memperhatikan hasil atau keuntungan yang ditawarkan, apakah masih wajar,” imbuh Rudy. (Opq/KPO-1)