Oleh : Sarinah A
Pegiat Pena Banua
Beberapa minggu yang lalu kita dihebohkan dengan kasus kekerasan yang dialami oleh anak dari seorang selebgram terkenal di Indonesia, yaitu Aghnia Punjabi. Melalui akun Instagram pribadinya, ia dengan jelas membagikan foto-foto dan rekaman video anaknya, Cana, yang mengalami penganiayaan yang tak terpikirkan oleh babysitter yang seharusnya menjadi pengasuh yang aman bagi sang putri. Kini kasus penganiayaan anak Aghnia sudah bergulir di ranah hukum. Namun kondisi sang anak dan Agnia sendiri masih trauma (Liputan6.com).
Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak menjadi bukti bahwa kasus kekerasan setiap harinya bisa mengintai kita, tidak hanya diluar rumah seperti sekolah namun juga dapat terjadi didalam rumah. Tidak hanya dilakukan oleh orang lain, tapi juga bisa dilakukan oleh keluarga sendiri. Menurut laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan pada 2023 (DataIndonesia.id).
Jumlah tersebut terus bertambah hingga sekarang, yang menunjukkan bahwa jaminan perlindungan terhadap anak masih lemah. Walaupun berbagai regulasi dan sanksi diberikan, nyatanya masih tidak mampu mengatasinya.
Perlindungan terhadap anak seharusnya memang menjadi tanggung jawab semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun negara. Mirisnya, tidak semua pihak bertanggungjawab akan peran tersebut. Inilah salah satu faktor penyebab kasus kekerasan terhadap anak sulit diatasi. Tidak hanya itu, pandangan hidup sekulerisme yaitu pemahaman yang memisahkan agama dengan kehidupan juga turut menjadi penyebabnya. Ketika agama dipisahkan dari kehidupan, maka akan melahirkan kebebasan oleh setiap individu termasuk kebebasan dalam berperilaku. Ketika seseorang merasa bebas dan tidak memperhatikan agama dalam tindakkannya, maka dia akan mudah melakukan kekerasan terhadap siapapun termasuk anak-anak.
Padahal dalam Islam, kekerasan merupakan perbuatan yang dilarang. Sebab kita diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk berbuat baik terhadap semua makhluk, termasuk orang tua, anak-anak, istri, serta keluarga. Jika seseorang memperhatikan perintah tersebut, tentu perbuatan tersebut akan ditinggalkan. Namun saat ini, dalam kehidupan sekulerisme aturan agama tidak diperhatikan bahkan terus terang ditinggalkan dan menuruti hawa nafsu sesaat. Begitupun dengan solusi yang ditawarkan juga kurang efektif karena lahir dari buatan manusia yang juga terbatas mengetahui baik dan buruk segala sesuatu.
Berbeda ketika Islam yang diterapkan, peran semua pihak dapat berfungsi dengan berbagai mekanisme kebijkan yang bersumber dari penerapan hukum syara. Pertama, dari sisi setiap individu. Setiap individu harus ditanamkan ketaqwaannya , sedangkan yang nonmuslim dia akan diberi aturan yang mengikat mengenai kekerasan. Ketika muslim memiliki sifat taqwa, dia akan takut berbuat yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya seperti kekerasan terhadap anak.
Kedua, dari sisi masyarakat. Individu-individu yang bertaqwa serta didukung dengan penerapan hukum syara akan membentuk masyarakat yang juga Islami. Kegiatan dakwah biasa dilakukan ditengah masyarakat dalam rangka pengawasan juga penegakan hukum syara.
Ketiga, dari sisi negara. Negara merupan peran sentral yang dibutuhkan dalam setiap kebijakan untuk mencegah berbagai kemudaratan di tengah masyarakat termasuk kekerasan terhadap anak. Negara yang menerapkan Islam, akan mudah mewujudkan dua peran sebelumnya yang dibutuhkan untuk mengatasi kekerasan terhadap anak. Melalui negara, berbagai sanksi dapat diterapkan terhadap pelaku. Sanksinya harus dapat membuat jera bagi semuanya.
Begitulah mekanisme Islam dalam mencegah sekaligus mengatasi kekerasan terhadap anak. Islam tidak sebatas mengajarkan kita masalah ibadah shalat, zakat, puasa, dan ibadah mahdhah lainnya. Tapi Islam mengajarkan pada kita berbagai aturan dalam kehidupan seperti muamalah, pergaulan, hukum, dan lain-lain. Termasuk diantaranya menjamin perlindungan terhadap anak-anak hari ini. Wallahu’alam bis shawab.