Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mengosongkan Identitas Agama

×

Mengosongkan Identitas Agama

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ahmad Barjie B
Budayawan

Beberapa tahun lalu terjadi kontroversi mengenai rencana pengosongan kolom agama pada KTP bagi penduduk yang tidak mengidentifikasi dirinya dalam agama-agama resmi yang ada. Menteri Dalam Negeri Kabinet Jokowi-JK Cahyo Kumulo mengatakan, negara berkewajiban mengakomodasi semua warganya dalam E-KTP termasuk bagi yang belum memantapkan identitas dirinya dalam salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Baca Koran

Kebijakan ini mendapat dukungan dari Wapres Jusuf Kalla. Bagi Kalla tidak mungkin memaksa orang mencantumkan agama yang ada sementara orang tersebut tidak meyakininya. Namun Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menolak pengosongan. Alasannya hal itu bertentangan dengan Pancasila. Ia menyarankan agar ditambah saja dengan agama lain yang dianut bersangkutan di luar enam agama resmi di atas. Penolakan juga disampaikan MUI dan NU. Menurut Ketua PB-NU (2010-2021) Said Aqiel Siradj pengosongan menyinggung perasaan umat beragama lainnya dan dapat menimbulkan masalah baru.

Sikap berbeda disampaikan Eko Purwanto, Sekretaris Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Pihaknya tidak keberatan kolom agama dalam KTP dikosongkan. Alasannya, identitas agama dalam KTP tidak identik dengan penghayatan agama.

Agama KTP

Di negara ini sudah lama dikenal istilah beragama abangan. Cliffort Geertz tahun 1960-an membagi keislaman bangsa Indonesia dalam tiga kategori; Islam santri, priyayi dan abangan, yang terakhir ini identik dengan Islam KTP.

Sebenarnya tidak cuma pada Islam, agama-agama lain pun demikian. Ketika seseorang jarang salat dan ke masjid, jarang ke gereja dan kebaktian, jarang ke pura, vihara dan klenteng untuk berdoa, berarti mereka semua Islam KTP, Kristen KTP, Hindu dan Budha KTP, Konghucu KTP dan seterusnya.

Adanya banyak orang yang tidak menghayati agamanya, selain disebabkan faktor budaya, keturunan, pendidikan, dakwah, juga karena corak penyebaran awal semua agama tersebut di negeri ini menggunakan pendekatan budaya. Artinya, agama-agama tidak masuk melalui peperangan dan pemaksaan, melainkan bertahap melalui pergaulan, perdagangan, akulturasi, asimilasi dan sebagainya.

Akibatnya orang lebih banyak beragama secara keturunan, ikut-ikutan dan sukarela saja, tanpa dibarengi penghayatan dan pengamalan yang mantap. Pada sisi lain ketika ia mengidentikkan dirinya dalam satu agama, unsur agama lain, atau agama sebelumnya masih mewarnai. Contoh, ketika banyak orang Indonesia dulu masuk Islam, unsur kepercayaan lama seperti animisme, dinamisme dan sebagainya masih hidup dan bertahan hingga sekarang.

Baca Juga :  Menilik Hotel Rekomendasi di Kota Banjarbaru: Akomodasi Nyaman Penunjang Mobilitas Bisnis dan Wisata

Bagi kalangan Islam, faktor lain sehingga orang menjadi Islam KTP karena kesalahan menafsirkan ayat 256 surah al-Baqarah: “la ikraha fid-ddin” (tidak ada paksaan dalam agama). Kita kebanyakan memahaminya, tidak perlu ada paksaan bagi seseorang untuk menghayati dan mengamalkan agamanya, semua tergantung kepada hidayah. Apakah seseorang mau taat atau sebaliknya menyukai maksiat, terserah yang bersangkutan. Tidak berlakunya hukum Islam makin memperkuat pemahaman ini.

Kita tidak bisa menyetir hati seseorang bahkan keluarga sendiri. Tetapi tafsir ini sesungguhnya keliru. Sebab yang dikehendaki tidak ada paksaan dalam agama adalah tidak boleh memaksa orang masuk Islam. Perorangan, organisasi/kelompok dan negara tidak bisa memaksakan nonmuslim agar menjadi muslim atau sebaliknya.

Saad bin Abi Waqqash, seorang sahabat nabi dan panglima perang yang terkenal, ketika masuk Islam tidak direstui oleh ibu kandungnya. Bahkan ibu kandungnya mogok makan sampai sakit, dengan tujuan agar Saad mau kembali ke agamanya semula. Namun Saad bersikeras, teguh dalam pendiriannya, sambil tetap berakhlak baik pada ibnya. Ia katakan, biar ibunya mogok makan sampai mati, ia tidak dapat meninggalkan agama Islam. Melihat keteguhan Saad akhirnya ibunya menyerah. Belakangan, atas doa dan bujukan Saad, ibunya bersedia masuk Islam.

Khalifah Umar bin Khattab memiliki seorang pembantu rumah tangga yang amat disayanginya bernama Asbaq, yang saat itu beragama lain. Umar mengajaknya masuk Islam, tetapi Asbaq menolak. Lalu Umar menyebut ayat di atas. Belakangan, setelah Umar wafat, barulah Asbaq terpanggil masuk Islam.

Tetapi Umar juga pernah menghukum anaknya sendiri, Abdurrahman, karena minum minuman keras. Semula Amr bin Ash yang menjadi Gubernur Mesir, enggan menghukumnya secara keras karena ia anak khalifah. Tetapi Umar menolak penegakan hukum yang terbang pilih. Abdurrahman yang saat itu tinggal di Mesir dipanggil ke Madinah, lalu dhukum sebagaimana mestinya. Jadi setelah seseorang menjadi muslim, ia harus dipaksa menjalankan ajaran agamanya, dan dipaksa pula meninggalkan larangan agama.

Artinya, sesudah orang menyatakan dirinya masuk Islam atau beragama Islam baginya berlaku paksaan. Anak harus dipaksa shalat ketika berusia 7 tahun dan boleh dipukul jika tidak salat di usia 10 tahun. Tujuannya agar ketika remaja dan dewasa ia sudah terbiasa shalat, puasa, mengaji Alquran dan seterusnya, supaya tidak menjadi Islam KTP.

Baca Juga :  DASAR KEBOHONGAN

Pemaksaan juga tercermin dari adanya hukuman, dosa dan ancaman siksa bagi pelanggar larangan agama dan reward pahala dan sorga bagi orang yang taat beragama. Sekiranya semua agama memberlakukana peraturan yang ketat bagi setiap pemeluknya, tentu tidak ada yang beragama di KTP saja.

Tetap Penting

Memang sebutan agama pada KTP tidak mencerminkan penghayatan. Tetapi pencantuman agama tetap penting sebagai identitas bagi bangsa Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensi dari sila pertama Pancasila ini, setiap warganegara harus beragama, atau bertuhan Yang Maha Esa, apapun agamanya.

Kalau kolom agama kosong, terkesan tidak beragama, bahkan dapat dimaknai tidak bertuhan (ateis). Atau agama tidak lagi penting, hal ini membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebab tujuan nasional dan pendidikan kita justru untuk menciptakan manusia yang beriman dana bertakwa.

Ada baiknya agama-agama yang ada sekarang ditambah lagi, supaya semua diakomodasi. Misalnya ditulis agamanya Bahai, Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dll. Konsekuensi dari penambahan agama, tentu rumus agama yang dulu kita pegangi harus pula dirubah, misalnya ada nabinya, kitab sucinya, ritus dan kultusnya dan sebagainya.

Identitas agama juga penting karena menyangkut urusan hidup dan mati. Ketika seseorang kawin, tentu memerlukan prosesi pernikahan sesuai aturan agama. Ketika seseorang meninggal juga memerlukan prosesi kematian sesuai agamanya. Menjadi sulit dan tidak jelas prosesi tersebut jika agama di KTP kosong. Terlebih sekarang mobilitas warganegara tinggi, sering bepergian, kawin, bekerja dan mati di luar daerah atau luar negeri, jadi identitas yang lengkap tetap perlu.

Dalam pandangan Islam, Islam KTP sekalipun masih ada harapan. Sebuah hadis shahih riwayat Muslim menegaskan, “Barangsiapa mati, sedangkan ia meyakini tiada Tuhan selain Allah, dia masuk surga”. Hadis lainnya, setelah semua calon penghuni surga masuk surga, Allah menyuruh malaikat mencari-cari orang di neraka yang ada imannya meski sebesar atom, lalu dimasukkan pula ke surga. Jadi sepanjang ada iman yang benar, pernah bersyahadat, suatu saat orang akan diambil dari kerak neraka untuk dimasukkan ke surga. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan