Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Politik
Ada satu pesan Imam al-Ghazali (wafat 555 H) yang penting kita garisbawahi. Dalam kitab Ihya Ulumiddin juz 2 halaman 357, beliau memperingatkan, “Maka kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama, dan rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Barangsiapa yang terperdaya akan kecintaan terhadap dunia, tidak akan mampu mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak mengawasi penguasa dalam perkara yang besar”. Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.
Ungkapan dari Imam al-Ghazali ini sangat tepat untuk mengukur keadaan di sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, yang memiliki kebebasan dalam memilih pemimpin atau penguasanya, baik di ranah eksekutif (presiden, gubernur, bupati, wali kota), maupun di ranah legislatif (anggota DPRD, DPR RI dan DPD RI). Kalau suatu negara tidak menganut sistem demokrasi, misalnya kerajaan, atau kesultanan yang turun temurun, agak sulit menerapkan pesan ini, sebab tidak ada pemilu, rakyat tidak bebas memilih, dan pemimpin sudah otomatis berlaku, suka atau tidak suka. Di situ rakyatnya untung-untungan, kalau pemimpinnya baik maka baiklah seluruh rakyatnya, begitu juga sebaliknya.
Kerusakan rakyat di sini dapat dimaknai secara luas. Bisa dalam artinya banyak terjadi pelanggaran hukum, kriminalitas, kemunkaran, ketidakadilan dan sebagainya. Bahkan juga ketidakberdayaan, keterbelakangan dan kemiskinan. Seharusnya dalam keadaan seperti ini mereka berusaha memilih pemimpin yang mampu mengangkat harkat dan martabatnya ke arah yang lebih baik. Tetapi karena satu dan lain hal, mereka terperdaya dan tidak mampu lagi berpikir atau menggunakan akal sehat, sehingga tidak bisa membedakan atau masa bodoh terhadap pemimpin, siapapun yang terpilih mereka anggap tidak akan mengubah keadaan.
Sebenarnya di alam demokrasi rakyat bebas memilih pemimpinnya dan yang terpilih seharusnya orang yang terbaik. Kalau demokrasi berjalan secara baik, maka pastilah dari Pemilu atau Pilkada lahir pemimpin yang terbaik. Tetapi para ahli sudah mengatakan, bahwa demokrasi yang baik dan sehat itu hanya akan terwujud apabila semua rakyatnya sejahtera dan berpendidikan tinggi, sehingga dalam memilih pemimpin mereka akan bersikap kritis. Yang mereka nilai adalah jejak rekam masa lalunya, dan visi misinya ke depan. Bukan tergantung uang atau pemberian yang bersifat materi. Fakta ini mudah dibuktikan, politik uang sangat marak di daerah minus, tapi tidak akan laku di daerah yang sudah mapan.
Sayangnya di negara ini, kedua syarat ini justru tidak terpenuhi, kesejahteraan dan pendidikan rakyat rendah. Pendidikan tinggi mahal dan ekonomi sulit. Karena itu tidak mudah pula untuk memperbaiki keadaan. Penguasa akan mudah terpilih dengan menggunakan kekuatan uang, janji-janji yang tidak ditepati dan sebagainya. Calon pemimpin berkualitas sekalipun sulit terpilih apabila tidak didukung oleh kekuatan finansial. Masyarakatnya dengan gampang berkata: bila kada duitnya parai. Akhirnya banyak orang pintar dan tidak berduit yang tidak mau terjun ke dunia politik, dan hal ini menambah buruk keadaan.
Umara dan Ulama
Lantas bagaimana hubungannya antara umara dan ulama. Umara (penguasa, pemimpin) yang terpilih dari sistem demokrasi ini tidak selalu yang terbaik dan mampu menyejahterakan rakyatnya. Kebijakan yang mereka ambil sangat mungkin menguntungkan pihak-pihak yang memodalinya, yang mungkin di sini diistilahkan dengan oligarki. Selanjutnya oligarki mengeruk kekayaan negara atas izin dari penguasanya. Sederhananya, rakyat disogok oleh penguasa agar memilih mereka, penguasa dibiayai oleh oligarki, dan oligarki tidak mau bantuannya itu gratis. Pasti ada kebijakan penguasa yang menguntungkan mereka.
Begitu siklusnya berputar terus menerus tanpa jelas kapan berhentinya, yang ujung-ujungnya rakyatlah yang dirugikan. Alam rusak, banjir, longsor dan bencana ekologis lainnya. Sektor-sektor ekonomi yang strategis dan menjadi kebutuhan orang dan sangat menguntungkan banyak mereka kuasai. Pesan UUD 1945 pasal 33 bahwa kekayaan negara harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarannya kemakmuran rakyat tinggal mimpi belaka. Rakyat makin dibebani dengan pajak dan pungutan yang beraneka ragam.
Sekiranya kekayaan alam dikelola sendiri oleh negara, pastilah rakyat makmur dan sejahtera. Cukuplah dari kekayaan alam ini negara bisa membangun dan mensejahterakan. Terbukti banyak orang kaya di pusat dan daerah ini dari hasil SDA. Cuma karena tidak negara yang mengelolanya, maka hasilnya untuk rakyat tidak seberapa. Mereka yang bekerja pada mereka saja atau pihak terkait yang menikmatinya. Bahkan negara pun justru kekurangan uang untuk membangun, sehingga terpaksa mengenakan banyak pajak untuk rakyat. Kehidupan rakyat makin tercekik karena harus berbagi dengan pajak.
Mengubah Keadaan
Sebenarnya kekeliruan umara (pemimpin, penguasa) ini dapat dibetulkan, diluruskan oleh ulama, baik ulama dalam arti sempit yaitu orang yang ahli agama Islam, maupun ulama dalam arti luas yaitu cendekiawan, ilmuan, para ahli dan pakar dalam berbagai bidang. Kita banyak memiliki ulama demikian, bahkan doktor dan profesor juga tidak kurang. Tapi karena banyak yang diam, tidak bersuara, takut, atau sudah merasa nyaman dengan keadaan sekarang, maka penguasa pun merasa benar. Apalagi tidak sedikit ulama dan cendekiawan yang membenarkan, membela, memuji, bahkan menjilat, akhirnya suara kritis tidak didengarkan lagi oleh penguasa, kalah oleh suara yang mendukungnya. Padahal banyak dan kuat belum tentu benar, bisa saja suara pihak yang sedikit dan lemah justru mengandung kebenaran.
Mengapa sampai ada ulama atau cendekiawan yang membenarkan dan membela kekeliruan, tentu kembali kepada kata-kata Imam al-Ghazali di atas, yaitu akibat cinta dunia dan kedudukan. Karena sudah disumbang sekian rupiah, digaji besar, akhirnya tidak bisa lagi bersuara, tak lagi mampu menegakkan amat ma’ruf dan nahi munkar secara benar, sesuai dengan pesan Al Quran dan hadits nabi.
Memperbaiki keadaan ini perlu penyadaran dan dakwah terus menerus. Umat perlu diajak berpikir, bahwa suara pilihan mereka sangat menentukan. Begitu mereka memilih seseorang, di saat yang sama mereka sudah menentukan pimpinannya. Kalau ia tahu ada yang lebih baik, lalu tidak memilihnya, berarti ia telah berdosa, karena tidak menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Dan nantinya ia ikut andil apabila pemimpinnya berbuat kekeliruan. Sebaliknya, kalau ia tahu ada pemimpin yang lebih baik, lalu memilih dan menang, maka ia beroleh pahala dari kebijakan pemimpin yang baik dan benar. Kalaupun kalah, ia sudah menentukan pilihan yang benar. Hidup ini tidak mesti menang atau kalah, tapi di posisi mana kita berpihak. Wallahu A’lam.