Oleh: Ahmad Barjie B
Penulis Buku Sejarah dan Budaya Banjar
Satu dari permainan tradisional Banjar adalah lomba naik pinang yang biasa digelar pada perayaan kemerdekaan (17 Agustusan) dan hari raya. Pohon pinang dipoles dengan pelicin agar sulit dipanjat. Di puncaknya disediakan hadiah, dari yang sederhana puluhan ribu sampai bernilai jutaan rupiah, tergantung sumbangan masyarakat.
Entah sudah berapa ribu pohon pinang muda ditebang, dan sekarang mulai diganti sementara dengan tiang besi atau beton. Yang jelas lomba ini mengandung pembelajaran bagi masyarakat. Pertama, ada pemain yang berlomba saling mendahului, sedangkan yang lain mengganggu dengan “manjuhut di batis”, sehingga selalu gagal. Jarang sekali ada peserta perorangan berhasil lewat cara ini, sebab persaingannya sangat tidak sehat. Tetapi cara pertama ini sifatnya hanya sementara, karena dengan berjatuhan, pemainnya ingin menghibur penonton.
Kedua, pemain saling bekerjasama, dengan sabar menyiasati pelicin lalu bersedia saling injak bahu atau kepala. Sama kotor sama basah. Akhirnya puncak pinang berhasil dicapai dan hadiah direnggut, selanjutnya dibagi bersama sesuai kesepakatan. Cara kedua ini ditempuh di akhir perlombaan, sebab kalau dilakukan sejak awal, lomba ini tidak akan seru. Terlalu cepat selesai, penonton akan kecewa.
Belajar Sejarah
Lamanya penjajah Belanda bercokol di negeri ini bukan karena Negara mereka besar dan kuat, tetapi tidak lain karena keberhasilan memecah belah dengan politik adu domba, dan banyak orang kita yang suka berkhianat dengan imbalan hadiah. Di awal abad ke- 20 dan zaman revolusi fisik, para tokoh nasional mulai sadar, lalu berusaha menjalin persatuan dengan semangat kebersamaan.
Pangeran Antasari berpesan agar perjuangan berhasil, jangan bacakut papadaan. Maka di era revolusi, urang Banjar bahu membahu melawan Belanda (NICA). Menurut saksi sejarah yang juga Ketua Paguyuban Palagan Negara Banjarmasin H.Lambran Ladjim, saat itu urang Banjar cukup solid. Pemuda pejuang menjadi tentara sukarela, ulamanya memberi spirit jihad, tokoh terpelajar menjadi kurir dan penyebar informasi, rakyat biasa dan ibu-ibu menyediakan makanan, tempat berlindung dan logistik, pedagang dan pengusaha menyediakan dana.
Bahkan pengrajin besi di Negara memasok parang, tombak, mandau, pedang, keris, badik, kelewang sampai senjata api rakitan mematikan. Ada juga yang berkhianat dan meremehkan perjuangan, tetapi pejuang nekad dan keras bertindak. Akhirnya, perjuangan berhasil, penjajah kewalahan dan angkat kaki. Keberhasilan ini berkat penggunaan filosofi naik pinang versi kedua, masing-masing saling mendukung agar cita-cita berhasil.
Perkembangan selanjutnya, sulit mencari urang Banjar menjadi top leader di daerah, apalagi di pusat. Selain KH Idham Chalid, KH Hasan Basri, Anang Adenansi, Syamsul Muarif, Zaini Azhar Maulani, Amidhan, Taufik Effendi, Arifin Ilham, Saifullah Tamliha, Sultan Khairul Saleh, hanya ada sedikit yang lain. Memang ada sejumlah anggota DPR/DPD RI yang kemunculannya di pusat sebagai keniscayaan Pemilu, itu pun suaranya nyaris tak terdengar karena kurang vokal. Sangat langka ada tokoh Banjar yang eksis secara politik dan berpengaruh besar di pusat. Di bidang ekonomi, seni, budaya dan akademisi, memang ada, tetapi resonansinya kurang terasa.
Kelangkaan ini disebabkan urang Banjar terpakai filosofi naik pinang versi pertama, yakni suka manjuhut batis kawan. Tidak senang melihat urang maju dan lebih nikmat melihat kawan sakit atau jatuh. Meminjam istilah KH Zainuddin MZ alm, ‘senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang’. Ini tentu sifat buruk.
Boleh dibilang, urang Banjar suka bacakut papadaan. Dalam sebuah dialog budaya LK3, Jarkasi cs (alm) melihat bacakut papadaan cenderung jadi tren, tradisi dan stereotip urang Banjar. Walau bacakut papadaan cukup universal terjadi di mana dan kapan saja, hanya bahasanya yang berbeda, namun bagi urang Banjar cukup kentara. Dari organisasi kepartaian, paguyuban kedaerahan, hingga panitia masjid dan langgar, nuansa konflik selalu ada. Kadang isu putra daerah yang dimunculkan, kalau sudah ketemu, dicari lagi ikatan primordial yang lebih kecil seperti bubuhan, kelompok, organisasi, aliran, mazhab, keturunan, kampung asal dst, yang tidak berujung. Saking hobinya bacakut, keluarga sedarah pun sering cekcok. Banyak yang hubungannya renggang, tegang, putus dan kada barawaan.
Menurut Datu Taufik Arbain, di segi kecerdasan otak urang Banjar sebenarnya cukup berimbang dengan non Banjar. Tahap awal memang sedikit under-developed karena kurang membaca dan gagap iptek, tetapi kemudian cukup kompetitif. Namun karena sering dihambat kawan seiring, maka kemunculannya sulit, timbul tenggelam. Setiap ada kawan yang ingin naik selalu diganggu dan disikut.
Ahmad Makkie dan Syamsiar Seman (alm) menyebutnya dengan ungkapan “Dibawa bajukung malinggang, ditinggal maningkalung”. Ini gambaran orang yang suka mengganggu ketenteraman, menghambat karir orang, mencari-cari kesalahan, mengadu domba, memfitnah, menghasut dan memprovokasi, sehingga orang jadi serba salah dan terjadilah konflik. Kalau di kantor ada anak buah pintar dan kritis, biasanya kurang disukai atasan dan dicemburui kawan. Akhirnya sulit urang Banjar mengorbit ke permukaan, sampai kepada top level management yang ideal. Tidak jarang karena sirik kawan maju, urang Banjar lebih senang dipimpin dan didominasi orang lain.
Berjuang Sendiri
Mengacu hasil riset seorang sosiolog, akademisi UIN Antasari Wahyuddin mengatakan, umumnya urang Banjar yang berhasil adalah single fighter atau individual competitor. Mereka berhasil karena usaha pribadi, nekad dan gigih bapangsar dada sendiri. Nyaris dan kecil sekali peran kelompok, masyarakat dan pemerintah di daerah asalnya. Mungkin sekali ini akibat dari bacakut papadaan. Bahkan tidak sedikit mereka yang berhasil di luar daerah sebelumnya disakiti dan cenderung menjadi urang buangan atau pelarian. Mirip cerita Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah), yang sebelum jadi raja Banjar justru lari karena dimusuhi Pangeran Temenggung dan keluarga istana Negara Daha yang justru sedarah dengannya.
Tak heran, setelah berhasil, banyak yang melupakan masyarakat dan daerah asal. Ketika urang Banjar “madam” dan berhasil di rantau orang, mereka menjadi pemadam permanen hingga meninggal. Hanya sesekali menjenguk kampung halaman dan tidak tertarik berinvestasi, karena merasa tidak berutang budi. Masih untung kalau tidak membalas dendam. Kalau terjadi dendam, konflik papadaan makin akut dan menahun hingga mati.
Berbeda dengan kecenderungan masyarakat Batak, Minang dan Makassar. Selain memaksimalkan potensi pribadi, mereka juga muncul secara collective competitor, bersaing dengan dukungan kebersamaaan warga di daerah asal atau daerah tujuan. Masing-masing saling mendukung dan mendorong, agar banyak kader yang muncul. Itu sebabnya tokoh mereka di pusat lebih banyak ketimbang tokoh Banjar, dan kontribusinya pada daerah juga besar. Tokoh yang punya akses dengan daerah dan masyarakat asalnya tentu akan memberi kontribusi maksimal, asalkan sebelumnya merasa didorong dan difasilitasi.
Agar semakin banyak tokoh daerah muncul, sudah waktunya tradisi bacakut papadaan dikurangi, diganti saling dukung sampai berhasil. Kalau kawan berhasil, kan kita dapat sawabnya jua. Kalaulah tak dapat sawab juga tak apa, yang jelas kita ikut bangga.
Kalau sikap suka bacakut terus dilestarikan sangat kontraproduktif, menang jadi arang dan kalah jadi abu. Masalah ini penting diseminarkan secara terbuka, agar urang Banjar dapat melakukan otokritik individual dan sosial. Kalau tidak bisa dihilangkan, minimal disalurkan ke jalan yang benar menjadi persaingan sehat. Boleh bacakut dalam arti bersaing secara fair, agar pemainnya dapat saling kontrol dan berlomba dalam kebaikan. Bukan bacakut yang konotasinya lebih pada pembunuhan karakter, memotong karir dan menjatuhkan orang.
Agama menyuruh bersatu dan menjauhi perpecahan, juga menekankan tolong menolong berbuat kebajikan, bukan kerjasama saling sikut menyikut dan menjatuhkan. Orang yang bacakut papadaan, menurut Mukhlis Maman (Julak Larau) dan Jarkasi, umumnya kaum elit, terpelajar, politisi, birokrat, bahkan ulama, bukan urang awam dan jaba. Jadi sebenarnya mereka cukup cerdas di segi pengetahuan dan agama. Sayang kurang cerdas di segi emosi dan sikap mental. Bacakut sebenarnya sifat warik. Manusia makhluk mulia, tidak layak meniru warik.