Oleh : Muhandisa Al-Mustanir
Pemerhati Pembangunan
Pembangunan infrastruktur di Indonesia terus digenjot, terutama di ibu kota dan kota lainnya. Pembangunan infrastruktur dipandang sangat penting untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi serta menjadi upaya dalam pemerataan kesejahteraan. Proyek negara yang paling besar adalah proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp71,8 triliun pada periode 2022-2024. Alasannya, proyek IKN adalah sebuah urgensi demi meningkatkan perekonomian negara, harapannya ekonomi Indonesia akan masuk lima besar dunia pada 2045.
Perkembangan infrastruktur utamanya di kawasan perkotaan di Indonesia dimulai sejak zaman Belanda, dimana saat itu terdapat segregasi antara kawasan yang diperuntukkan bagi orang pribumi dengan pemerintah Belanda saat itu. Setelah kemerdekaan, Indonesia langsung mencanangkan berbagai proyek-proyek ambisius untuk Jakarta agar menuju kota global bertaraf internasional. Namun, hal ini ternyata membawa dampak negatif yang sangat besar pada sektor perekonomian, sebab besar dan borosnya dana yang digelontorkan untuk pembangunan. Pada masa itu, perkembangan infrastruktur sebenarnya hanyalah untuk memperkuat kedudukan politik, sehingga dampak dari pembangunan yang ada kala itu menjadi masalah di kemudian hari. Salah satu contohnya adalah terlalu banyaknya jalan raya yang dibangun dan menjadi cikal bakal kemacetan di Kota Jakarta. Hal serupa berlanjut ke era Orde Baru, bedanya pada masa ini proses birokrasi di pemerintahan, yang terkait sektor swasta dipermudah. Ini berdampak pada cepatnya proyek-proyek infrastruktur dibangun dan Kota Jakarta menjadi lahan subur bagi investasi asing. Ekonomi negara pun melonjak pesat, bahkan pada saat itu menjadi masa dimana perekonomian negara bisa mencapai 7% dalam setahun, hal yang tidak pernah terjadi lagi di era sesudahnya. Selain itu, beberapa cendekiawan yang bergerak di bidang teknik pembangunan menganggap bahwa seiring waktu, aspek pembangunan dan perancangan kawasan di kota-kota besar di Indonesia mulai bergerak ke arah yang lebih baik sebab pada 2018 lalu, World Bank menyebut Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah yang cukup menonjol dalam hal pembangunan (Manifesty, 2018).
Belajar dari tonggak sejarah inilah, pemerintah berupaya mendulang hal serupa, yakni dengan menggencarkan sektor pembangunan infrastruktur dan membuka lahan yang sebesar-besarnya bagi investasi swasta, yang kini tidak hanya terpusat di Pulau Jawa, melainkan melebar ke Pulau Kalimantan, dimana proyek IKN berlangsung. Maka, Kalsel sebagai salah satu provinsi yang menjadi penunjang bagi IKN juga menggencarkan pembangunan infrastruktur. Hal ini dimulai dari Perda Provinsi Kalsel Nomor 19 tahun 2018 tentang Pembangunan Industri di Kalsel, yang tujuannya meliputi pengelolaan sumber daya unggulan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur industri, dan penguatan industri hilir. Juga dicanangkan proyek-proyek yang menjadi arahan pembangunan infrastruktur untuk perkuatan investasi, yakni proyek Kawasan Industri Terpadu (KIT) Mantuil, PSN KI Jorong, KI Batulicin, KI Seradang, dan KEK Mekar Putih. Tujuan dari adanya proyek ini ialah untuk menjadi dukungan jaringan jalan serta titik-titik peristirahatan yang akan menghubungkan aktifitas di Kalsel dengan IKN.
Di Banjarmasin sendiri, pemerintah mencanangkan pembangunan Pelabuhan Trisakti yang direncanakan dimulai pada 2025, serta pembangunan Bandara Syamsuddin Noor yang sudah diresmikan 2019 lalu dan dilanjutkan pada rencana pembangunan jalan baru ke bandara SN. Selain pembangunan yang berkaitan dengan transportasi, pemerintah Banjarmasin juga berusaha menggenjot pembangunan infrastuktur ke arah pariwisata. Salah satunya yang pembangunan Tugu Nol KM yang saat ini tengah berlangsung. Tugu ini menjadi landmark atau ikon wisata baru Kalsel, sekaligus sarana pendukung bagi UMKM. Rencana pengadaan tugu diperkirakan mencapai Rp233,573 miliar. Dengan anggaran sebanyak itu, Pemprov Kalsel berharap ada investor yang akan mendanai pembangunanya sekaligus sharing dana (IG Radarbanjarmasin 27/10/20).
Pembangunan infrastruktur ini ternyata banyak mendapat pertentangan dari masyarakat, sebab dianggap tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat bahkan cenderung menjadikan masyarakat kian tercekik, seperti banyaknya komentar di akun instagram Radar Banjarmasin yang memposting tentang rencana pembangunan Tugu Nol KM (27/10/20) lalu. Masyarakat menyayangkan dana yang begitu besar digelontorkan untuk ‘menghias’ kota. Sedangkan dampak buruknya pada masyarakat jauh lebih signifikan. Misalnya terkait bertambahnya kawasan kumuh di Banjarmasin yang mencapai 480 hektare. Atau terkait perampasan lahan masyarakat yang berlangsung menahun, seperti kasus di Desa Benua Lawas dan Desa Cantung Kiri Hilir Kecamatan Hampang Kabupaten Kota Baru, Provinsi Kalsel berhadapan dengan PT Jaya Mandiri Sukses (JMS). Masyarakat merasa tanahnya dirampas sejak Agustus 2005 hingga kini. (REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA 23/03/15).
Kondisi Kalsel dengan proyek IKN sendiri bisa jadi ini mengarah pada Gentrifikasi, hal ini ditandai dengan adanya perubahan sosial budaya di suatu wilayah akibat pembangunan komersial dan perumahan yang hanya dinikmati oleh masyarakat kalangan atas. Proses Gentrifikasi memiliki dampak negatif yang sangat kompleks. Salah satunya akan terjadi penyempitan ruang hidup bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang berakhir pada penggusuran serta perampasan lahan secara paksa dan rakus demi pembangunan properti, pusat jasa, dan ruang publik. Hal ini akan mengakibatkan marginalisasi sistemis dan residu pembangunan pada mayoritas penduduk asli. Yang paling terdampak tentu saja adalah kaum perempuan, anak dan keluarga, serta struktur masyarakat itu sendiri. erempuan akan semakin sulit mengelola pendapatan keluarga dengan pendapatannya yang rendah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena semakin meningkatnya harga barang dan jasa, serta anak-anak akan makin kesulitan mendapatkan pendidikan yang layak dalam kawasan gentrifikasi akibat pelayanan pendidikannya pun disesuaikan dengan kapasitas penduduk kaya. Sedang pemerintah makin membuka karpet merah bagi para oligarki untuk makin leluasa mencaplok lahan milik masyarakat dengan ditetapkannya UU Ciptaker meski UU ini ditolak oleh masyarakat. Hal tadi menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah justru memperkokoh pijakan kaum oligarki untuk merampas ruang hidup demi keserakahannya yang tak terbendung. Ini karena dari akarnya, pembangunan infrastruktur di dalam Kapitalisme hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi para pemodal. Dan pada hakikatnya negara tidak punya pemasukan selain dari investasi swasta dan juga pajak, sehingga menjadikan pembangunan bukan lagi demi kesejahteraan masyarakat. Maka justru tidak akan pernah terwujud keadilan ekonomi di dalam sistem yang dibawa oleh Kapitalisme.
Tata kota di dalam kapitalisme misalnya, hanya akan mengorientasikan pembangunan pada gedung atau bagunan fisik serta yang merujuk pada pasar-pasar yang membutuhkan modal-moda besar. sehingga perancangan hingga modal sebagian besar diserahkan kepada swasta.
Pada akhirnya, adanya pembangunan infrastruktur tidak lagi menjadi sebuah mekanisme demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Namun outputnya menjadi buruk dan merusak sebab akarnya adalah kapitalisme tadi yang menjadikan negara hanya sekedar regulator, menyerahkan visi pembangunan kepada para pemodal dengan investasi. Hal ini menjadi berbeda jika asasnya tadi adalah asas Islam, sebuah ideologi yang rahmatan lil a’lamin.
Di dalam Islam, Pembangunan merupakan tanggung jawab penuh negara. Mulai dari perancangan hingga modal, seluruhnya diatur negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta. Cara pandang negara dalam membangun adalah dengan visi pelayanan, bukan bisnis, maka haram hukumnya bagi negara mencari keuntungan dari sini. Khalifah juga akan merancang pembangunan berdasarkan kemaslahatan umat. Pembangunan dalam Islam yang berlandaskan ruhiah, yaitu pembangunan fisik yang senantiasa akan mendekatkan makhluk dengan Penciptanya. Bangunan, transportasi, industri, maupun kawasan ekonomi, seluruhnya akan terkoneksi secara ruhiah. Megah dan bagusnya bangunan di dalam islam harusnya akan makin meninggikan ketakwaan penduduknya.
Misalnya adalah pada saat pembangunan kota Bagdad sebagai ibu kota. Ketika itu, dibangun masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Rancangan Tata Kelola Ruang dan Wilayah sedemikian rupa untuk mengurangi kebutuhan transportasi, sehingga warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, baik untuk menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Hal ini juga bahkan masih terlihat pada masa akhir-akhir Daulah Islam di masa Utsmaniyah. Pada tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Tahun 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. tujuannya untuk menyatukan wilayah Daulah dan memudahkan jama’ah haji melakukan perjalanan haji ke Madinah.
Pembangunan industri, selain dilihat dari kemaslahatan umat, prosesnya pun harus memperhatikan hak umat. Haram hukumnya negara merampas tanah umat dengan alasan apa pun, apalagi alasan pembangunan proyek asing. Allah Swt, berfirman,
“Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu.” (TQS Al-Baqarah [2]: 188).
Nabi Saw juga telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR. Muttafaq ‘alayh).
Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur di dalam islam, meniscayakan negara mengambil peran yang sangat penting. Syariat menetapkan penyediaan infrastruktur menjadi tanggung jawab negara dan harus dilakukan secara independen, tidak tergantung pada asing. Infrastruktur harus memenuhi pandangan pada dunia keruangan secara keseluruhan dan negara haruslah memastikan pembangunan infrastruktur tepat guna sesuai kebutuhan rakyat dan negara.
Demikianlah seharusnya tujuan dari adanya pembangunan infrastruktur berjalan, dan proses ini tidak bisa terlaksana kecuali hanya di dalam sebuah institusi Negara yang menerapkan syariat Islam secara Kaffah, dibawah kepemimpinan seorang pemimpin yang menjadikan ketaatan kepada Allah SWT, landasan dalam memimpin umat, yakni Khilafah Rasyidah. Wallahu A’lam Bishawab.