Oleh: AHMAD BARJIE B
KADANG-kadang orang memprediksi masa depan sebagai menyuramkan atau banyak terjadi konflik dan masalah social. Akan terjadi kulminasi krisis politik dan ekonomi, yang memunculkan kondisi chaos (kacau) dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Terjadi karma, di mana aksi balas dendam antarsesama komponen dan golongan masyarakat, setelah sekian lamanya dizalimi, dilecehkan dan dikebiri hak-haknya.
Kita melihat, reformasi ternyata tidak sesuai dengan tujuan aslinya, sebagian cenderung kebablasan. Tuntutan reformasi yang bermakna perbaikan dan pembenahan, ada yang digunakan sebagai sarana untuk berkuasa dan melestarikan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara yang ujung-ujungnya merusak demokrasi dan menambah kesengsaraan rakyat.
Ramalan negatif tersebut sebagian muncul dari kalangan pengamat. Orang beragama disuruh untuk selalu optimis, berprasangka baik, menjauhi prasangka buruk (QS Al-Hujurat: 12, Yunus: 66-70) serta yakin, bahwa di balik kesempitan hidup akibat krisis akan ada kelapangan dan kesejahteraan (QS At-Thalaq: 7)
Agama Islam sebenarnya sudah memberi tuntunan yang amat luhur dalam menyikapi masa transisi. Nabi dan kaum muslimin yang dizalimi luar biasa sewaktu periode Makkah, justru memaafkan dan menyantuni orang yang menzalimi mereka., ketika terjadi titik balik keberhasilan Islam sewaktu Futuhatul Makkah. Dengan sikap itu, justru yang bersalah menyadari kesalahannya, sehingga bersatu dengan Nabi guna membangun masyarakat baru, masyarakat madani yang Islami.
Nabi SAW menekankan, la dharara wala dhirara. Artinya, “Jangan membahayakan orang dan jangan membalas dengan membahayakan orang”. (HR Abu Daud dari Abi Hurairah). Hadits ini selanjutnya dijadikan kaidah fikih oleh para Fuqaha. Kata “la” adalah larangan, dan setiap larangan asalnya “haram. Jadi haram membahayakan seseorang dan membahayakan dia, baik dengan bahaya serupa atau berbeda.
Suatu ketika Nabi SAW didatangi seseorang yang mengaku dianiaya orang lain. Berkali-kali ia berusaha memperbaiki, namun justru kezaliman itu bertambah. Orang itu bertanya kepada Nabi, “Bolehkan ia membalas atau sesuai dengan penganiayaan tersebut”. Jawab Nabi, “Jangan, sebab jika kau balas, kau sama saja dengan mereka. Hendaklah kau cari jalan lain untuk memperbaikinya, Insya Allah Tuhan akan menolongmu”.
Tentang adanya praktik kezaliman di masyarakt, Nabi menyuruh menolong orang yang dizalimi dan yang menzalimi. Para sahabat bertanya, “Bagaimana itu dilakukan?”. Jawab Nabi, “Orang yang dizalimi ditolong dengan pertolongan yang meringankan, dan orang yang menzalimi ditolong dengan mencegah dia berbuat itu lagi”. (Shahih Bukhari 2 Juz 3: 98).
Mengacu pada ketentuan ini, maka solusi terbaik untuk memperbaiki kehidupan kenegaraan kita serta mencegah dari bahaya revolusi sosial seperti ramalan para pakar, adalah dengan menegakkan hukum. Orang-orang yang bersalah, harus diberi sanksi sesuai tingkat kesalahannya. Supremasi hukum harus berjalan, secara merata, adil dan tanpa pandang bulu. Jika usaha itu dilakukan, kita yakin hati rakyat akan kembali sejuk, adem. Bahkan orang-orang yang sudah diadili dan dihukum pun tidak mustahil akan dimaafkan. Bangsa Indonesia, sesungguhnya bukan bangsa pendendam.