Pengangguran di Tengah Klaim Menguatnya Ekonomi Indonesia

Oleh : Ayunah
Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah

Pemerintah dengan bangga menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia makin membaik. Hingga kuartal 1-2024, perekonomian tumbuh 5,11%. Kontribusi investasi asing pada perekonomian nasional juga turut dikonfirmasi dalam laporan World Investment Report dari United Nation Conference on Trade and Development 2023. Laporan itu menyebut aliran investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) ke Indonesia mencapai 21,96 miliar dolar AS dan membuat posisi Indonesia menempati peringkat ke-2 di kawasan Asia Tenggara. Namun klaim meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi tampaknya tak sesuai dengan kondisi dunia kerja yang menjadi penopang ekonomi negara. Padahal keberhasilan masuknya investasi besar lazimnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja yang luas. Faktanya Badan Pusat Statistik merilis laporan per Februari 2024, jumlah pengangguran di Indonesia masih 7,2 juta orang diklaim turun dari data Februari 2023 (7,99 juta orang). Ironisnya, meski turun, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia menempati posisi tertinggi di ASEAN dengan 5,2%.

Menilik apa yang menjadi proyeksi IMF tersebut, Indonesia jelas dihadapkan pada kenyataan pahit akan tingginya angka pengangguran. Mirisnya berdasarkan data pengangguran BPS (2021–2022) pada Agustus 2023 terdapat 9.896.019 jiwa atau hampir 21% dari total penduduk dengan rentang kelahiran antara 1997—2012. Artinya hampir 10 juta generasi Z di Indonesia juga merupakan pengangguran atau dikenal dengan istilah NEET (not in employment, education, and training) atau sedang tidak dalam pekerjaan, pendidikan, dan pelatihan. Di sisi lain, Indonesia juga dihadapkan pada menguatnya arus gelombang PHK yang menambah panjang daftar pengangguran. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat sebanyak 10.800 pekerja tekstil di dalam negeri telah menjadi korban PHK dari Januari—Mei 2024. Ribuan pekerja tekstil tersebut di-PHK akibat pabrik tempat mereka bekerja tutup karena tidak sanggup bertahan. Alhasil, jumlah pengangguran kian bertambah dan orang miskin dipastikan ikut bertambah.

Pengangguran

Masalah pengangguran sesungguhnya merupakan masalah kenegaraan. Negaralah yang bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja. Fungsi negara yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, menuntut pemerintah untuk memetakan SDM dan distribusinya ke masyarakat. Negara menyiapkan SDM andal melalui sistem pendidikan yang bermutu dan menciptakan lapangan kerja sesuai kebutuhan masyarakat. Peran ini tidak dapat beralih ke yang lain. Faktanya, negara justru senantiasa merumuskan kebijakan yang mengarah pada upaya menyerahkan tugasnya ke pihak swasta. Wajar saja karena spirit kebijakan tersebut lahir dari paradigma sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, peran swasta mendominasi dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Prinsip yang menganggap pihak swasta sebagai ‘penyelamat ekonomi’ tegak atas sistem kapitalisme ini. Sedangkan negara hanya bertugas sebagai regulator yang menjembatani masyarakat dengan pihak swasta. Itulah mengapa kebijakan yang dirumuskan pemerintah selalu mengakomodasi kepentingan swasta. Rumusan terbaru yang menopang kebijakan ini adalah konsep penta helix yakni konsep multipihak, adanya unsur pemerintah, akademisi, pebisnis, masyarakat, dan media berkoordinasi dalam mengembangkan inovasi yang berpotensi untuk dikapitalisasi atau dikembangkan menjadi suatu produk atau jasa.

Sekilas terlihat bahwa masalah selesai saat pihak swasta turut menjadi pemain dalam mengurai masalah, termasuk masalah pengangguran. Bahkan, realitas ini menunjukkan bahwa swastalah yang justru menguasai pasar dunia kerja. Padahal, untuk melaksanakan pelayanan kepada rakyat negara tentu mempunyai peran besar dalam menciptakan lapangan kerja. Pada akhirnya, spirit swasta lah yang mendominasi dalam memberikan pelayanan yakni spirit bisnis. Walhasil, pelayanan tersebut berorientasi pada dua hal, yakni untung dan rugi. Konsekuensi dari hal tersebut adalah saat masyarakat hendak memenuhi kebutuhannya, mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Rakyat tetap harus mengeluarkan biaya saat menggunakan fasilitas umum yang pengurusannya telah beralih ke swasta.

Baca Juga:  Pembangunan Desa, Kesejahteraan akan Merata?

Ironisnya, dampak lebih parah dari kebijakan negara berlepas tangan dalam mengurusi rakyatnya justru yang memperlebar masuknya pihak swasta memanfaatkan dunia pendidikan. Pemerintah mengarahkan para intelektual untuk mengabdikan ilmu mereka kepada pemodal, bukan masyarakat. Seakan pendidikan adalah pabrik SDM untuk kepentingan aspek pasokan atau supply tenaga kerja sehingga setiap kebijakan senantiasa mengarah pada aspek Supply dibandingkan demand, yakni menciptakan lapangan kerja. Pendidikan vokasional digenjot sedemikian rupa di tengah penerapan paradigma kurikulum merdeka. Itupun lebih fokus di level SMK dengan konsep apa adanya. Begitu pun dengan program Kartu Prakerja yang diluncurkan Presiden Jokowi pada April 2020. Dana sebesar Rp21,1 trilun dikucurkan untuk proyek yang terkait perlindungan sosial ini. Sebanyak 16,4 juta warga Indonesia diklaim telah mengikuti program Kartu Prakerja, dan 5,6 juta di antaranya diklaim sudah bekerja.

Sebenarnya tentu tak lagi mengherankan mrngapa kebijakan negara terlalu berfokus pada supply SDM. Hal ini dikarenakan visi dan misi pembangunan manusia dalam sistem ini semata diorientasikan menyesuaikan visi pembangunan ekonomi negara. Dan jelas visi pembangunan ekonomi senantiasa berpijak pada ideologi negaranya. Jadi wajar jika pembangunan SDM dalam dunia pendidikan bersandar pada ideologi yang dianut negara. Pembangunan manusia berorientasi ekonomi hanya ada dalam negara berideologi kapitalisme. Pembangunan semacam ini jelas mengerdilkan tujuan negara yang sejatinya menghasilkan SDM intelektual cemerlang yang berkontribusi pada umat, justru negara bertujuan untuk mencetak budak-budak korporasi.

Politik Ekonomi Negara Inti Kesejahteraan

Pengangguran merupakan hal serius, baik bagi negara maju maupun berkembang. Tingginya angka pengangguran adalah sinyal gagalnya negara menciptakan lapangan kerja. Untuk itu, negara semestinya berupaya mencegah bertambahnya angka pengangguran. Hal ini karena keberadaan lapangan kerja sesungguhnya salah satu standar untuk mengukur kesejahteraan ekonomi rakyat di satu negara. Pengangguran dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan akan berdampak pada kondisi ekonomi suatu negara. Aspek sosial pun akan terdampak akibat tingginya angka pengangguran. Angka kriminalitas akan meningkat, angka kemiskinan juga akan mengalami lonjakan. Bahkan beban negara makin berat akibat banyaknya pengangguran. Karena pada dasarnya pengangguran berkorelasi positif dengan kemiskinan. Sedangkan kemiskinan menjadi salah satu faktor pemicu berbagai kerawanan sosial, sekaligus menjadi indikator minimnya tingkat kesejahteraan.

Pakar ekonomi syariah Dr Arim Nasim menyebutkan ada dua faktor utama penyebab terjadinya pengangguran yakni faktor individu dan sistem. Secara individu penyebab pengangguran bisa disebabkan oleh faktor kemalasan individu, faktor cacat atau uzur, faktor rendahnya pendidikan. Dari faktor sistem, setidaknya ada empat indikator penyebab utama meningkatnya pengangguran di Indonesia. Pertama, ketimpangan antara penawaran tenaga kerja dan kebutuhan. Kedua, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada konglomerat. Ketiga, pengembangan sektor ekonomi nonriil, seperti bursa efek dan saham, perbankan sistem ribawi, maupun asuransi, sehingga menyebabkan turunnya produksi dan investasi di sektor rill. Keempat, banyaknya tenaga kerja perempuan. Untuk efisiensi biaya, biasanya yang diutamakan adalah perempuan dikarenakan mudah diatur dan tidak banyak tuntutan, termasuk masalah gaji.

Baca Juga:  Pembangunan Desa untuk Menciptakan Pemerataan dan KesejahteraanMasyarakat

Di sisi lain, situasi perekonomian pun sangat dipengaruhi oleh kondisi internasional. Hal ini merupakan konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang menjadikan Indonesia tidak memiliki kemandirian dan kedaulatan. Peran negara dalam sistem ini pun hanya sebatas regulator. Bahkan, negara tidak jarang berkolaborasi dengan kekuatan modal untuk memeras keringat rakyatnya. Wajar jika aset-aset kekayaan alam yang sejatinya melimpah ruah, tidak bisa dimiliki sepenuhnya untuk modal menyejahterakan rakyat. Kebijakan ekonomi bahkan politiknya disetir dan diarahkan oleh kekuatan kapitalisme global. Kekuasaan oligarki demikian mencengkeram hingga situasi ekonomi pun sangat rentan dipermainkan oleh kepentingan negara-negara besar. Menciptakan lapangan kerja dan ruang berusaha yang kondusif semestinya menjadi prioritas kebijakan politik ekonomi negara sebesar Indonesia. Sayangnya, selama ini pemerintah hanya berhenti di retorika saja. Paradigma kapitalisme yang dikukuhi negara membuat penguasa gamang untuk memihak rakyatnya. Alih-alih berusaha menyejahterakan, penguasa kerap menzalimi rakyatnya dengan kebijakan yang menyengsarakan. Mulai dari pajak, kapitalisasi layanan publik, undang-undang proasing, termasuk proyek investasi yang membuka tenaga asing, dan sebagainya.

Paradigma Islam

Dalam Islam, indikasi baiknya ekonomi adalah ketika kualitas hidup seluruh masyarakat juga baik. Kepala keluarga memiliki pekerjaan yang baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan layak. Seorang ibu fokus pada kewajiban utamanya, yaitu ummu wa rabbatul baiti. Begitu juga seorang anak, gizi dan pendidikannya terpenuhi. Tidak akan ada kontradiksi antara hitung-hitungan ekonomi dan kondisi rakyat sebab pandangan pertama dan utama sebuah persoalan adalah pada manusianya itu sendiri. Dalam Islam, persoalan kemiskinan, kelaparan, atau tidak adanya lapangan pekerjaan, bukanlah persoalan ekonomi, melainkan persoalan manusia yang harus segera diselesaikan berdasarkan kemaslahatan manusia.

Berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme, dalam Islam, pemimpin atau negara menempatkan diri sebagai pengurus dan penjaga. Adanya dimensi akhirat pada kepemimpinan Islam membuat seorang penguasa akan takut jika zalim dan tidak adil kepada rakyat. Mereka akan berusaha maksimal mengurus dan menyejahterakan rakyat dengan jalan menerapkan syariat Islam sebagai tuntunan kehidupan. Ajaran Islam menetapkan mekanisme jaminan kesejahteraan dimulai dari mewajibkan seorang laki-laki untuk bekerja. Namun, hal ini tentu butuh support system dari negara, berupa sistem pendidikan yang memadai sehingga seluruh rakyat khususnya laki-laki memiliki kepribadian Islam yang baik sekaligus skill yang mumpuni.

Pada saat yang sama, negara pun wajib menyediakan lapangan kerja yang halal serta suasana yang kondusif bagi masyarakat untuk berusaha. Caranya tidak lain dengan membuka akses luas kepada sumber-sumber ekonomi yang halal, dan mencegah penguasaan kekayaan milik umum oleh segelintir orang, apalagi asing. Termasuk mencegah berkembangnya sektor nonriil yang kerap membuat mandek, bahkan menghancurkan perekonomian negara.

Baca Juga:  Kiprah Bahlil dari investasi ke ESDM

Sistem keuangan negara Islam, yaitu APBN (dalam sistem Islam dikenal dengan baitulmal) memiliki pos-pos yang telah ditentukan berdasarkan dalil-dalil syariat. Dikelola secara terpusat dan akan memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat dengan mengambil langkah-langkah strategis yang diizinkan syariat. Sedangkan Sistem ekonomi Islam akan berfokus pada pengembangan sektor ekonomi riil masyarakat dalam perdagangan, pertanian, industri, dan berbagai bidang strategis lainnya. Meniadakan riba, menghapus sektor nonriil (pasar saham dan pasar modal), serta meniadakan pajak.

Sistem Islam (Khilafah) menjalankan isi Al-Qur’an dan Sunah yang menempatkan kekayaan alam, seperti tambang, hutan, sungai, laut, gunung, dan sebagainya sebagai milik umum sehingga haram diswastanisasi. Semua itu milik umum yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Sektor-sektor yang potensinya sangat besar, seperti pertanian, industri, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya akan digarap secara serius dan sesuai dengan aturan Islam. Pembangunan dan pengembangan sektor-sektor tersebut dilakukan secara merata di seluruh wilayah negara sesuai dengan potensinya. Dalam rangka pengelolaan kekayaan alam tersebut, Negara Khilafah akan melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar. Kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas akan bisa dipenuhi karena Khilafah menyelenggarakan sistem pendidikan Islam yang menghasilkan output generasi berkepribadian Islam dan sekaligus memiliki kompetensi tertentu.

Aplikasi dari dukungan dalam bidang industri atas output pendidikan, Negara akan menerapkan politik industri yang bertumpu pada pengembangan industri berat. Hal ini akan mendorong perkembangan industri-industri lainnya hingga mampu mencerap ketersediaan sumber daya manusia yang melimpah ruah dengan kompetensi yang tidak diragukan sebagai output sistem pendidikan Islam. Dampaknya, industri pada masa Khilafah tidak hanya akan memproduksi barang, tetapi menghasilkan banyak penemuan berupa alat-alat untuk memaksimalkan hasil industri. Hal ini sebagaimana dahulu Khilafah, sebelum maraknya industri, telah melakukan revolusi pertanian dengan penemuan berbagai alat dan teknik sehingga hasil pertanian melesat.

Negara pun dimungkinkan untuk memberi bantuan modal dan memberi keahlian kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan, mereka yang lemah atau tidak mampu bekerja akan diberi santunan oleh negara hingga mereka pun bisa tetap meraih kesejahteraan. Layanan publik dipermudah, bahkan digratiskan sehingga apa pun pekerjaannya tidak menghalangi mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar, bahkan hidup secara layak. Dengan begitu, kualitas SDM pun akan meningkat dan siap berkontribusi bagi kebaikan umat. Hal ini menunjukkan bahwa Islam menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Oleh karena itu, negara memberi perhatian penting terkait aspek distribusi harta di tengah-tengah masyarakat demi memenuhi kebutuhan individu per individu. Hal itu dapat terwujud karena negara mengaplikasikan peraturan-peraturan yang berasal dari Allah SWT. Negara tidak akan mengadopsi kebijakan dari sudut pandang keuntungan materi (bisnis), melainkan dari sudut pandang Sang Pencipta, yakni syariat dan kemaslahatan umat. Semua ini kembali pada soal paradigma kepemimpinan Islam yang berperan sebagai pengurus dan penjaga. Seorang pemimpin negara akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap orang yang dipimpinnya. Jika ada satu saja rakyat yang menderita karena buruknya pengurusan mereka, pemimpin harus siap-siap menerima azab Allah SWT.

  • Related Posts

    Sehat dan Berjaya Bersama Media Massa Tertua di Dunia

    Oleh : SizukaPemerhati Media Merupakan media elektronik tertua di dunia, radio pada masanya pernah menjadi media primer yang efektif dalam membangun propaganda di sebagian besar negara. Di Indonesia, proklamasi kemerdekaan…

    Artificial Intelligence dan Tantangan Jurnalistik Masa Kini

    Oleh : Andika Wahyu WidyantoroJurnalis Antara, penerima BRI Fellowship Journalism Lima atau sepuluh tahun lalu mungkin kita tidak pernah membayangkan hadirnya reporter AI. Reporter virtual yang diperkaya dengan artificial intelligence (AI)…

    Baca Juga

    Ini Kata Psikolog Terkait Kesiapan Anak dalam Penggunaan Sepeda Listrik ke Sekolah

    • By EDP JKT
    • September 14, 2024
    • 24 views
    Ini Kata Psikolog Terkait Kesiapan Anak dalam Penggunaan Sepeda Listrik ke Sekolah

    Maarten Paes Idola Baru Sepak bola Indonesia

    • By EDP JKT
    • September 13, 2024
    • 57 views
    Maarten Paes Idola Baru Sepak bola Indonesia

    BPJPH Dorong Produk Fashion Halal Indonesia Kompetitif di Pasar Global

    • By EDP JKT
    • September 12, 2024
    • 74 views
    BPJPH Dorong Produk Fashion Halal Indonesia Kompetitif di Pasar Global

    Layanan Paylater Bertumbuh di Tengah Penurunan Daya Beli

    • By EDP JKT
    • September 12, 2024
    • 71 views
    Layanan Paylater Bertumbuh di Tengah Penurunan Daya Beli

    Tingkatkan Imunitas di Kala Musim Hujan dengan Konsumsi Ini

    • By EDP JKT
    • September 11, 2024
    • 76 views
    Tingkatkan Imunitas di Kala Musim Hujan dengan Konsumsi Ini

    H Yuni dan Keluarga Peringati Maulid Nabi dan Tasyakuran Rumah Baru

    H Yuni dan Keluarga Peringati Maulid Nabi dan Tasyakuran Rumah Baru