Oleh : AHMAD BARJIE B
Saling memberi dan menerima hadiah, pada dasarnya dibolehkan, asalkan hanya dengan maksud menyenangkan, tidak ada maksud lain. “Dari Aisyah ra katanya, Rasulullah SAW sering menerima hadiah dan membalasnya.” (HR Bukhari).
Dalam sejarah, memang Nabi biasa menerima hadiah, ketika beliau mengirimkan surat dakwah kepada Mukaukius, Gubernur Byzantium di Mesir, Mukaukis menolak masuk Islam namun tetap menghormati Nabi. Lalu dikirimkannya sejumlah hadiah barang, termasuk dua orang seorang hamba, pertama Mariatul Qibtiyah yang kemudian diperistri Nabi, dan kedua Sirin diperistri seorang sahabat. Hadiah-hadiah barang itu dibagi-bagikan Nabi kepada kaum muslimin.
Kalau hadiah diberikan karena jabatan, dan bisa mempengaruhi seseorang, maka hadiah semacam itu terlarang. Nabi SAW pernah mengangkat Ibnu Lutbiyyah untuk mengurus zakat di Yaman. Ketika menghadap Rasulullah SAW ia berkata: Ini untukmu (zakat) dan ini untukku (pemberian orang kepadanya). Nabi melarang dan tetap mengambilnya, sebab sekiranya orang itu tak punya jabatan (tinggal di rumah saja) tentu hadiah itu tidak akan datang kepadanya. Hadiah semacam itu tetap jadi milik negara. Sebab petugas bersangkutan sudah punya gaji sebagai amil zakat yang sudah diatur dalam Islam.
Sekarang ini, sebagian pejabat dan orang yang punya kekuasaan masih sering diberi dan menerima hadiah, yang hampir dipastikan berkaitan dengan jabatannya. Sebagai ucapan terima kasih, agar urusannya lancar, agar diberi prioritas, fasilitas, dimenangkan tender dan lain-lain. Jika dikembalikan kepada sumpah jabatan, KUHP dan Undang-undang Anti Korupsi (UU No. 3/1971), maka semua itu tidak dibolehkan, tergolong ke dalam gratifikasi.
Menurut Dr Muhammad Muhtadi Wedisastro, Asisten IV Menteri Pendayagunaan Aparatur Bidang Pengawasan di awal reformasi, hadiah-hadiah seperti itu terlarang. Sebab dapat mempengaruhi jabatan dan pelayanan. Pejabat dan aparat adalah abdi pelayanan masyarakat, jadi sudah seharusnya melayani, tak perlu hadiah lagi. Hadiahnya sudah ada, yaitu gaji, yang diambil dari rakyat.
Jika hadiah itu dibolehkan, menurutnya bisa merusak pelayanan, suatu saat orang hanya mau melayani masyarakat karena mengharapkan imbalan, makin besar makin senang. Dan masyarakat yang tak mampu membayar, lalu diabaikan, dipersulit, dan diperlambat urusannya.
Muhtadi mencontohkan Malaysia, Singapura dan Thailand. Jika ada pejabat dan aparat menerima hadiah masyarakat, maka hadiah itu harus dilaporkan kepada pejabat atasannya lalu diserahkan kepada negara. Jika pejabat bersangkutan ingin memilikinya, ia harus membeli hadiah itu sesuai harga pasar, dan uangnya masuk ke kas negara.
Mengacu kepada ajaran Islam, mestinya di Indonesia juga demikian. Selama ini hadiah jadi milik pribadi, padahal hadiah itu jelas berkaitan dengan jabatan yang dipercayakan negara.