Oleh : Nor Aniyah, S.Pd
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.
Beberapa waktu lalu masyarakat melakukan aksi karena adanya pelanggaran hukum yang dilakukan negara. Aksi ini merupakan salah satu upaya mengingatkan pemerintah karena telah menyalahi konstitusi yang mereka sepakati sendiri. Mirisnya, pemerintah justru mengerahkan aparat keamanan untuk mengamankan massa aksi. Aparat justru menyemprotkan gas air mata dan melakukan tindakan represif lainnya.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa Kawal Putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI mengungkapkan ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta.
Ia menyampaikan sampai Kamis malam, 22 Agustus 2024, lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi ditangkap kepolisian. Satu orang lainnya mendapatkan doxing. Selain itu, ada tindakan kekerasan sampai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Bahkan terdapat ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju lokasi aksi (tempo.co).
Ada pula mahasiswa Universitas Bale Bandung terancam kehilangan mata kirinya karena terkena lemparan batu saat berunjuk rasa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi di kantor DPRD Jawa Barat, kota Bandung, Kamis (22/8/2024). (kompas.id).
Sikap represif aparat terhadap massa aksi menunjukkan hipokrit sistem Demokrasi. Dikatakan sistem Demokrasi menjunjung tinggi hak berpendapat, rakyat diperbolehkan menyampaikan aspirasi mereka kepada wakil rakyat. Nyatanya saat rakyat menilai bahwa pemerintah melakukan pelanggaran mereka tidak dapat menggunakan hak ini. Masyarakat dibungkam dengan tindakan kekerasan ataupun non kekerasan oleh aparat.
Kritikan dianggap sebagai perusakan citra buruk dan dianggap sebagai penghalang kepentingan mereka. Padahal, peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 menyebutkan kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali. Jadi, sangat jelas penguasa dalam sistem Demokrasi dapat dikatakan penguasa anti kritik.
Kejadian ini juga menunjukkan sejatinya Demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat. Meskipun Demokrasi mengklaim telah memberikan kebebasan ini. Padahal sistem Demokrasi juga mengatakan seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan, dan tidak mengabaikan massa aksi. Tindakan represif ini mutlak terjadi karena sistem Demokrasi memberikan kedaulatan hukum di tangan manusia. Karena itu, sekalipun sistem Demokrasi mengakui ada aturan terkait hak menyampaikan aspirasi dan sejenisnya, namun sebenarnya hak-hak tersebut hanya berlaku kepada mereka yang sesuai dengan kepentingan penguasa. Karena sebagian manusia yang mengklaim dirinya “wakil rakyat” justru menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengamankan kepentingan mereka.
Sistem Kapitalisme mengedepankan hawa nafsu karena membuat orang tidak mau tunduk kepada hukum Allah dan lebih memilih tunduknya kepada hukum buatan manusia. Selain itu, dalam demokrasi juga tidak ada istilah halal dan haram. Ini jelas bertentangan dengan konsep Islam. Penerapan politik transaksional dalam sistem Kapitalisme Demokrasi juga memunculkan pejabat yang korupsi untuk mengembalikan modal investasi politik, sedangkan sebagian orang senang menukarkan suaranya dengan materi yang hanya dinikmati sesaat.
Jika sistem Demokrasi mematikan sikap menasihati penguasa, justru sistem Islam sebaliknya. Sistem Khilafah menganggap menasihati atau mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam) dari rakyat ke penguasa adalah bagian dari hukum syariat. Muhasabah dilakukan kepada penguasa yang berbuat zalim dan melanggar hukum Allah. Muhasabah juga dilakukan kepada penguasa agar rakyat dapat mencegah kemaksiatan yang dilakukan negara.
Sikap demikian mendapat perhatian khusus dari Rasulullah Saw dengan bersabda rakyat yang menasihati penguasa zalim mendapat kebaikan setara jihad. Rasulullah SAW bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan, bahwa maksud hadist di atas ialah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memperjuangkan kebenaran, dan melawan kebatilan yang dilakukan penguasa zalim merupakan bentuk jihad yang paling mulia, baik hal tersebut dilakukan dengan secara langsung dengan lisan, tulisan dan berbagai sarana lainnya.
Selain itu dalam lembaga Khilafah ada pula lembaga seperti Majelis Ummah dan Qadhi Madzalim untuk menampung aspirasi rakyat untuk disampaikan kepada Khalifah. Bahkan Qadhi Madzalim akan menghukum penguasa jika mereka terbukti melakukan pelanggaran syariat atau menzalimi rakyat. Dalilnya tatkala Rasulullah SAW menetapkan Rasyid bin Abdullah sebagai qadhi yang mengurusi al-madzalim (persengketaan antara rakyat dengan negara).
Masyarakat tidak perlu merasa khawatir aspirasinya dibungkam. Karena selain dari sisi mereka melakukan kewajiban, negara pun ikut menyediakan fasilitas aduan tersebut. Islam menjadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai kewajiban setiap individu, kelompok dan masyarakat. Perintah ini wajib dilakukan agar masyarakat tetap memiliki perasaan, pemikiran dan sistem yang sama, yaitu sistem Islam. Dengan pemahaman yang sama inilah penguasa juga memahami adanya tujuan muhasabah yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi. Sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Aturan Islam lah yang sesuai dengan karakter manusia. Pembebasan pemikiran adalah langkah pertama yang harus dilakukan dengan mengubah loyalitas terhadap Kapitalisme dan sekularisme dan kembali pada Islam. Setelah itu umat bersatu dan bekerja sama untuk membangun dunia Islam yang independen, mandiri secara politik, ekonomi, militer dan teknologi. Negara, yaitu Khilafah Islam berkewajiban untuk terlibat dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, sandang, dan papan, serta menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis.
Jelas kerusakan sistemik saat ini tidak bisa dicegah hanya semata dengan tausiyah dan berdoa, tetapi harus ada penerapan hukum-hukum Allah SWT secara kaffah. Karena itu, umat Islam selayaknya segera menyerukan kepada penguasa untuk meninggalkan sistem Kapitalisme dan menerapkan aturan-aturan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam pengelolaan negara.[]