Oleh : Zahra Hartina
Aktivis Dakwah
Pemilu serentak 2024 sudah di lalui, tetapi perjalanannya diiringi kontroversi dan kekhawatiran. Sepanjang waktu prosesnya, kita sebagai masyarakat Indonesia telah menjadi saksi praktik demokrasi yang semakin merosot dan dilakukan secara serampangan. Karena adanya penyalahgunaan kekuasaan, dengan hukum dan etika yang dicederai demi memenuhi birahi politik dan keinginan untuk memegang kendali penuh. Masyarakat hanya dianggap penonton yang hilang akal sehat menyaksikan sirkus pengkhianatan amanat oleh elite politik dari hari ke hari. Walau di adakan pilkada ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi demokrasi tapi nyatanya saat ini lonceng kematian demokrasi kembali berdentung, memberi signal, lebih dari seribu orang akademisi UGM, terdiri dari dosen dan tenaga kependidikan, berdemonstrasi pada 28 Agustus 2024. Para demonstran melakukan aksi untuk mendorong pemulihan demokrasi di Indonesia. Mereka menyuarakan aspirasi, pernyataan sikap, dan keprihatinan atas kondisi “darurat demokrasi” Indonesia akhir-akhir ini agar tetap berjalan sesuai nilai-nilai dasarnya.
Dr Arie Sujito selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni menyatakan, “Kita prihatin dengan kondisi demokrasi dan hukum kita yang mengalami kemunduran pasca-Reformasi dengan ditandai ketegangan hukum, manipulasi politik yang dapat berisiko mengancam konstitusi tatanan bernegara dan bermasyarakat.”
Menurut Arie karena mereka tidak ingin demokrasi yang sudah diperjuangkan para mahasiswa dan aktivis sejak 1998 lalu akhirnya harus mengalami stagnasi dan kembali ke masa era Orde Baru yang mana kekuatan oligarki partai dan manuver elite politik mewujudkan kepentingan kelompok dan golongan. “Kita ingin mengembalikan marwah demokrasi agar tidak dirusak oleh kepentingan elite yang tengah berkuasa,” ujarnya. https://ugm.ac.id/id/category/liputan-berita/
Oligarki-Demokrasi, oligarki adalah bentuk pemerintahan atau sistem kekuasaan yang kendali politik dan ekonomi dipegang oleh segelintir orang atau kelompok kecil yang memiliki kekayaan, status sosial, kekuasaan politik, atau pengaruh besar.
Dalam sistem oligarki, keputusan-keputusan penting yang memengaruhi masyarakat luas diambil oleh kelompok elite tersebut, biasanya lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Menurut Jeffrey Winters, seorang ilmuwan politik dari Northwestern University yang dikenal karena teorinya tentang oligarki, termasuk pandangannya tentang oligarki di Indonesia, berpendapat bahwa negara ini dikuasai oleh oligarki juga setelah jatuhnya Orba. Solusi kekuasaan politik dan ekonomi masih terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang memiliki sumber daya besar. Oligarki di Indonesia telah beradaptasi dengan baik terhadap perubahan politik pasca-Soeharto, tetapi tetap memegang kendali signifikan terhadap proses pengambilan kebijakan politik, ekonomi, partai politik, dan pemilu.
Meskipun oligarki dan demokrasi bertolak belakang (sebab pada prinsip dasarnya, demokrasi dirancang melibatkan rakyat secara luas dalam proses pengambilan keputusan), jika kita cermati lebih lanjut, demokrasi sangat memungkinkan menumbuh suburkan oligarki. Keduanya bagaikan bersimbiosis mutualisme, menguntungkan satu sama lainnya. Hal ini di karena kan beberapa hal.
Pertama, penerapan sistem ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi dengan prinsip kebebasan kepemilikan individu ini telah menyebabkan terjadinya akumulasi modal yang luar biasa pada segelintir orang. Inilah yang kemudian memberikan mereka kekuatan untuk memengaruhi kebijakan politik dan mengamankan kepentingan mereka. Akibatnya, keputusan politik cenderung lebih memihak kepentingan elite ekonomi, bukan pada kepentingan rakyat banyak.
Kedua, politik uang menjadi masalah yang serius, kampanye politik membutuhkan biaya besar, mulai dari promosi, iklan, hingga logistik oligarki. Dengan kekayaan besar yang mereka miliki, sering kali menjadi penyandang dana utama bagi partai politik atau kandidat tertentu. Terpilihnya kandidat yang didukung, cenderung membuat kebijakan menguntungkan para donor mereka, bukan rakyat. Di sisi lain, dengan semua sumber daya yang dimilikinya, memungkinkan bagi para oligark mengontrol agenda politik dan memengaruhi hasilnya, serta menjadikan partisipasi demokrasi sebagai formalitas belaka.
Ketiga, kekuatan lobi dan pengaruh kebijakan, kelompok-kelompok dengan kepentingan khusus, termasuk kelompok oligarki, sering kali berpengaruh besar dalam pembentukan kebijakan melalui aktivitas lobi. Oligarki dapat mempekerjakan pelobi profesional untuk memengaruhi keputusan legislator dan regulator sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih menguntungkan kepentingan bisnis atau kekayaan mereka. Pengaruh lobi ini membuat kebijakan publik lebih responsif terhadap kepentingan elite ekonomi daripada kebutuhan masyarakat umum.
Keempat, media yang dikontrol oligarki, media seharusnya berfungsi sebagai pilar yang mengawasi kekuasaan. Namun, ketika media dikendalikan atau dimiliki oleh oligarki, mereka dapat mengatur narasi politik dan membatasi ruang lingkup diskusi publik, cenderung mempromosikan kepentingan mereka, dan menyensor atau membatasi informasi yang mengancam posisi mereka. Alhasil, informasi yang publik terima sudah “diformulasikan” oleh mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi.
Demikianlah, pusaran demokrasi senantiasa memberi ruang dominasi bagi oligarki dan kepentingan kelompok, tidak memiliki standar kelayakan untuk diperjuangkan. Berangkat dari sini, seharusnya kaum muslim mulai bisa membuka wawasan terhadap solusi alternatif, yakni penerapan sistem Islam kafah.
Hilangkan Oligarki.
Penderitaan rakyat harus dihentikan dari kekejaman kapitalisme-demokrasi-oligarki dengan cara mencabut penerapan sistem ini dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sistem ini telah terbukti menyejahterakan segelintir elite dan menyengsarakan banyak rakyat. Harus segera menggantinya dengan sistem sahih yang menjadikan negara sebagai pelayan seluruh rakyat tanpa ada perbedaan dari sisi mana pun.
Dalam sistem pemerintahan Islam, pengaruh oligarki dihilangkan melalui beberapa prinsip dan mekanisme yang berfokus pada keadilan, transparansi, serta akuntabilitas. Berikut beberapa aspek kunci dari sistem pemerintahan Islam yang dapat menghilangkan pengaruh oligarki.
Pertama, kedaulatan di tangan syara, hanya Allah satu-satunya Sang Pembuat Hukum. Tidak ada satu pun manusia mempunyai hak legislasi (membuat hukum). Dengan demikian, dalam struktur pemerintahan Islam, tidak ada lembaga legislatif karena kedaulatan berada di tangan syarak, yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Bukan berada di tangan umat, apalagi segelintir elite atau kelompok kaya.
Khalifah sebagai pelaksana hukum tidak memiliki kekuasaan absolut dan harus bertindak sesuai dengan hukum syariat. Tanggung jawabnya adalah memastikan kemaslahatan umum, bukan kepentingan segelintir pihak. Jika khalifah bertindak tidak adil atau melanggar hukum, rakyat berhak melakukan koreksi dan pemimpin dapat diganti melalui mekanisme yang diatur syariat.
Kedua, pengelolaan sumber daya alam, sistem ekonomi Islam mengatur secara tegas akan kepemilikan individu, umum, dan negara. Islam menekankan bahwa SDA yang vital, seperti air, api-minyak, dan padang rumput-hutan, adalah milik umum dan harus dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Negara bertindak sebagai pengelola dan kekayaan alam tidak boleh dimonopoli oleh kelompok elite atau individu kaya, sebagaimana sering terjadi dalam sistem kapitalisme-demokrasi-oligarki. Hasil dari sumber daya tersebut digunakan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dsb. Begitu pun sistem distribusi kekayaan, Islam menjamin seluruh rakyat bisa memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersiernya.
Ketiga, pemilihan khalifah berdasarkan kompetensi, keadilan, dan ketakwaan; bukan berdasarkan kekayaan, keturunan, atau kedekatan dengan kelompok elite. Hal ini memastikan bahwa pemimpin yang dipilih adalah yang benar-benar mampu menjalankan amanah dengan dasar takwa dan tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Rasulullah SAW bersabda, “Jika amanah disia-siakan, tunggulah kehancuran.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah disia-siakan?” Rasulullah SAW menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari).
Dengan menerapkan regulasi Islam secara komprehensif, peluang kuasa oligarki yang menyengsarakan rakyat tidak memiliki ruang dan waktu. Sementara itu, sistem demokrasi—pada realitasnya sekalipun—bertentangan dengan prinsip dasarnya sendiri sehingga kuasa oligarki tidak bisa dihilangkan, bahkan makin mendominasi sepanjang perjalanan penerapannya. Walakhir, tidak ada alasan lagi untuk mempertahankannya dan segera beralih pada penerapan sistem Islam kafah.