Terima Kasih
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan
Opini

Target Pajak Tembus Rp2.000 Triliun, Kebanggaan atau Kesengsaraan?

×

Target Pajak Tembus Rp2.000 Triliun, Kebanggaan atau Kesengsaraan?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Di tengah panasnya suhu politik menjelang berakhirnya kekuasaan kabinet Indonesia Maju serta riuhnya Pilkada, Pemerintah membuat rancangan RAPBN 2025. Dan untuk pertama kali dalam sejarah, APBN mentarget penerimaan dari pajak lebih dari Rp2.000 triliun atau tepatnya Rp2.189 triliun. (cnbcindonesia.com, 26/08/2024). Target tersebut tertuang dalam Buku II Nota Keuangan. Suatu nominal yang fantastis. Apakah target ini realistis? Dari mana mendapatkannya? Apa dampaknya?

Pajak dan Kebebasan Memiliki

Pajak tidak terpisahkan dari sistem kapitalisme. Sistem ini menempatkan pajak menjadi sumber pemasukan utama dalam APBN. Pajak adalah wujud partisipasi dan kontribusi wajib kepada pemerintah. Asumsinya pajak merupakan timbal balik untuk kepentingan bersama. Pajak dikenakan untuk menanggung biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi-fungsi publik (seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan) atau dikenakan untuk tujuan regulasi (seperti membatasi konsumsi rokok) tanpa mempertimbangkan manfaat khusus bagi mereka yang membayar (Crowe dalam McGee, 2023). Pajak juga menjadi metode untuk distribusi kekayaan dan mewujudkan keadilan sosial.

Hal tersebut dikarenakan sistem kapitalisme telah memberikan kebebasan kepemilikan dan keleluasaan untuk meraih kekayaan. Semakin kaya seseorang wajar jika semakin besar pajak yang harus dibayarkannya. Pertumbuhan ekonomi akan mengerek peningkatan penerimaan pajak yang diandalkan negara untuk APBN dan pembangunan.

Namun realitanya pajak lebih membebani rakyat. Karena pajak dari rakyat kecil yang lebih dikejar. Rakyat menjadi sasaran beraneka jenis pajak di antaranya PBB, PPN dan PPh, dan lain-lain yang jelas memberatkan mereka. Upah atau gaji yang didapat harus dipotong pajak. Pada saat membeli barang, harga barang harus disertakan dengan pajaknya, bahkan pengenaan pajak ini lebih dari sekali.

Adapun pajak dari perusahaan, korporasi justru banyak yang menjadi obyek korupsi. Kasus besar penyelewengan pajak sudah sering diungkap. Bahkan para kapitalis, pengusaha besar yang menguasai aset kekayaan strategis seperti SDA barang tambang lalu mengemplang pajak justru mendapatkan tax amnesty atau pengampunan pajak.

Baca Juga:  Menyiapkan Tenaga Kerja Terampil

Lebih dari itu pajak membuat ekonomi tidak bergairah atau lesu. Pajak membuat harga barang lebih mahal di tengah daya beli yang lemah. Terlebih subsidi-subsidi dikurangi dan pelayanan pada rakyat lebih berorientasi bisnis. Belum lagi jika kebocoran anggaran karena korupsi tidak ditanggulangi. Lengkaplah kesengsaraan rakyat. Membayar pajar tapi tidak mendapat apa-apa.

Karenanya target pajak adalah pemalakan pada rakyat dan kedzaliman. Sudahlah rakyat tidak mendapatkan hak-haknya dari kekayaan SDA, mereka justru dipalak dengan pajak. Pajak tidak lebih salah satu aturan batil sistem sekuler kapitalisme dari akal manusia yang lemah.

Berbeda dari APBN ala kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber dana terbesar, Islam mengatur pajak sebagai pungutan yang kondisional. Islam memiliki konsep APBN yaitu baitul mal. Baitul mal adalah pos pemasukan dan pembelanjaan dari kepemilikan dan pengelolaan harta atau kekayaan yaitu kepemilikan umum, negara dan pribadi (zakat dan pajak). Pendapatan dan pengeluaran di baitul mal berdasarkan ketetapan syariat, jadi tidak bisa dengan rekaan atau sesuka hati penguasa dan pejabat.

Terkait pos kepemilikan negara ada sumber jizyah, kharaj, fai, usyur. SDA milik umum dikelola negara dan memberikan sumbangan terbesar untuk pemasukan Baitul mal dari pos kepemilikan umum. Jadi kekayaan milik umum ini memberikan pemasukan utuh yang dinikmati rakyat sebagai pemilik sejatinya. Jadi SDA ini tidak menyumbang sedikit, yaitu sekian persen pajak dan royalti sebagaimana dalam sistem kapitalisme.

Dari kepemilikan pribadi ada zakat dan pajak. Namun penarikan pajak diatur oleh syariat. Pajak hanya ditarik dari kalangan muslimin yang terkategori kaya. Kaya berarti memiliki kelebihan setelah mengeluarkan untuk kebutuhan dasar dan pelengkap secara makruf. Dan pajak yang ditarik semata untuk mencukupi pos-pos pengeluaran atau kebutuhan wajib atau mutlak yang memang harus ditanggung kaum muslimin jika harta di baitul mal tidak ada atau tidak cukup. Jadi peruntukan pajak sangat jelas dan untuk keperluan spesifik. Pos dan kebutuhan wajib tersebut mencakup enam pos, yakni pembiayaan jihad, pembangunan industri perang, gaji pegawai dan santunan untuk penguasa, santunan fakir miskin dan Ibnu sabil, pembangunan infrastruktur yang mutlak serta tanggap darurat dan mitigasi bencana. Pajak tidak dipungut untuk selain 6 kebutuhan wajib ini.

Baca Juga:  Deindustrialisasi dan Ilusi Link and Match

Paradigma pembangunan dalam islam adalah mengurus rakyat karena negara sebagai raa’in, pengurus urusan umat. Riayah rakyat dibimbing hukum-hukum syariat. Penguasa dan rakyat akan bekerja sama dalam melaksanakan syariat, bukan tunduk dibawah kendali para kapitalis. Keadilan dan kesejahteraan akan diraih melalui penerapan syariat kaffah di bawah naungan Khilafah. Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan