Oleh : D.Dj. Kliwantoro
Pemerhati Politik
Menjelang pendaftaran pasangan calon pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota, 27—29 Agustus mendatang, seorang politikus menyatakan mundur dari jabatan ketua umum partai.
Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar sontak mengundang pelbagai pihak sekaligus teka-teki, khususnya latar belakang politikus ini memilih meninggalkan kursi yang bergengsi di parpolnya.
Pasalnya, tinggal beberapa bulan masa jabatan sebagai ketua umum (ketum) akan berakhir pada Desember 2024, atau sesuai jadwal partai berlambang pohon beringin ini akan menggelar musyawarah nasional (munas).
Video yang sempat beredar pada hari Minggu (11/8), Airlangga Hartarto, yang terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar pada tahun 2019, menyampaikan dua alasan mundur sebagai ketum. Pertama, ingin menjaga keutuhan Partai Golkar. Kedua, menjaga suasana tetap stabil dan kondusif selama masa transisi pemerintahan Presiden RI Joko Widodo ke pemerintahan Prabowo Subianto sebagai pemenang Pilpres 2024.
Namun, sejauh ini Airlangga belum menjelaskan lebih lanjut alasan menjaga keutuhan partai itu. Akan tetapi, Ketua Dewan Pakar DPP Partai Golkar Agung Laksono mengatakan bahwa keputusan Airlangga mundur murni sikap pribadi.
Bahkan, Airlangga tidak mendiskusikan atau berkonsultasi terlebih dahulu ke internal partai ataupun kepada senior-seniornya di Partai Golkar sebelum mengumumkan keputusannya mundur sebagai ketua umum.
Tidak hanya dari kalangan internal partai, dari kalangan eksternal pun ikut berkomentar terkait dengan keputusan Airlangga yang notabene Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Respons Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto malah menyentuh aspek kedaulatan partai. Dia menilai keputusan Airlangga mundur dari ketua umum ini sangat mengejutkan karena di tengah tahapan pilkada serentak muncul kejadian politik yang masuk kategori suatu hal yang luar biasa.
Namun, ada pula yang mengaitkan dengan seberapa besar pengaruhnya pada tahapan Pilkada 2024 bagi Partai Golkar. Apakah partai ini masih berpeluang mengusung paslon atau hanya menjadi penonton pada pemilihan kepala daerah kali ini?
Saran pun datang dari The Constitutional Democracy Initiative (CONSID). Sebaiknya, kata Ketua CONSID Kholil Pasaribu, Partai Golkar segera menetapkan ketum definitif. Pengunduran diri seorang ketum parpol sudah pasti sangat berpengaruh karena Pasal 42 Undang-Undang Pilkada ini mengatur keputusan administratif maupun politis, yang pada akhirnya bermuara pada ketua umum.
Dengan demikian, apa pun keputusan pengurus parpol di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dengan mudah dianulir jika tidak mendapat persetujuan dari ketua umum partai.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun sebelum menerima pendaftaran pasangan calon (paslon), masih kata Kholil Pasaribu, biasanya sebulan sebelum pendaftaran dibuka akan meminta surat keputusan (SK) pengurus parpol pusat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Berdasarkan data tersebut, KPU akan meminta kepada pengurus parpol pusat sekaligus mengonfirmasi keabsahan pengurus parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Hal senada juga disampaikan Ketua Dewan Pakar DPP Partai Golkar Agung Laksono. Dia mengatakan bahwa penetapan jadwal Munas Partai Golkar harus segera setelah Airlangga Hartarto mengundurkan diri sebagai ketua umum partai.
Hal itu mengingat penetapan partai terhadap bakal calon kepala daerah yang didukung partai berlambang pohon beringin ini harus mendapatkan tanda tangan persetujuan dari ketua umum dan sekretaris jenderal definitif.
Sesuai dengan jadwal yang termaktub dalam Peraturan PKPU Nomor 2 Tahun 2024, pendaftaran pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah mulai 27 hingga 29 Agustus 2024.
Sebaliknya, pengajar Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini berpendapat bahwa pengunduran diri Airlangga sebagai ketum tidak akan terlalu berpengaruh pada pendaftaran paslon Pilkada 2024 dari partai berlambang pohon beringin itu.
Undang-Undang Pilkada menyebut bahwa pendaftaran paslon disertai dengan surat keputusan pengurus partai politik tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan oleh pengurus partai tingkat daerah.
Selanjutnya, Pasal 1 angka 16 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 menyebut bahwa pimpinan partai politik tingkat pusat adalah ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik tingkat pusat atau dengan sebutan lain sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai politik yang bersangkutan.
Sepanjang AD/ART mengatur mekanisme pengambilan keputusan pengurus partai tingkat pusat dalam hal ketua umum berhalangan atau mengundurkan diri, menurut Titi, mekanisme pencalonan partai dapat menggunakan mekanisme yang ada di dalam AD/ART partai politik tersebut.
Dengan demikian, kembali pada ketentuan yang ada di dalam AD/ART partai. Hanya saja demi kepastian hukum serta menjadi pedoman bagi partai politik dalam pencalonan Pilkada 2024, KPU perlu mengatur ini secara lebih eksplisit lagi. Misalnya, melalui petunjuk pelaksanaan teknis pencalonan yang lebih terperinci.
Peristiwa serupa juga pernah terjadi pada Pemilu Anggota DPR 2024. Pencalonan anggota DPR RI dari PPP oleh Plt. Ketua Umum Muhammad Mardiono sebagaimana ketentuan yang ada dalam AD/ART PPP untuk menjalankan tugas saat ketua umum definitif berhalangan atau dalam keadaan tidak terisi, kembali lagi ke mekanisme AD/ART.
Apalagi, dalam PKPU No. 8/2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota ada pengaturan dalam Pasal 98 ayat (3).
Pasal 98 ayat (3) menyebut bahwa dalam hal pimpinan partai politik tingkat pusat yang mengambil alih pendaftaran calon pada pilkada berhalangan melakukan pendaftaran, surat pencalonan dan kesepakatan serta surat persetujuan pasangan calon ditandatangani oleh pengurus partai politik peserta pemilu tingkat pusat yang memperoleh mandat berdasarkan mekanisme pengambilan keputusan sesuai dengan AD/ART parpol peserta pemilu yang bersangkutan.
Mekanisme serupa juga berlaku dalam hal pemberian surat keputusan pengurus partai politik tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan oleh pengurus partai tingkat daerah.
Agar tidak jadi penonton, sebelum masa pendaftaran paslon, Partai Golkar setidaknya sudah menetapkan pelaksana tugas (plt.) ketua umum.