Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan
OPINI PUBLIK

Mengoptimalkan Potensi Gig Economy

×

Mengoptimalkan Potensi Gig Economy

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhammad Aufal Fresky
Penulis Buku/Esais

Pernyataan Presiden Jokowi tentang tantangan lapangan kerja di masa depan cukup menarik perhatian publik. Hal itu disampaikannya saat membuka Kongres Sarjana Ekonomi Indonesia XXII & Seminar Nasional 2024 di Surakarta, Kamis (19/9). Seperti yang dilansir oleh cnbcindonesia.com, ada tiga catatan presiden terkait semakin minimnya lowongan pekerjaan di masa depan. Di antaranya yang pertama yaitu perlambatan ekonomi global. Banyak negara yang memperketat kebijakan moneter, agar mampu meredam laju inflasi. Kedua, mengenai otomasi di berbagai sektor kerja. Dia menyebutkan bahwa setiap hari muncul hal-hal baru. Ada 85 juta jenis pekerjaan yang berpotensi lenyap. Ketiga yaitu mengenai gig economy. Yaitu suatu kondisi di mana perusahaan akan lebih memilih pekerja/karyawan kontrak jangka pendek seperti freelancer atau pekerja lepas untuk mengurangi risiko ketidakpastian global.

Iklan

Berdasarkan penelitian Puspitarini dan Basit (2020), ada beberapa karakteristik gig economy meliputi: 1) Dijalankan melalui suatu platform berbasis digital; 2) Memungkinkan operasionalnya dilakukan secara lebih fleksibel baik dari sisi waktu, pengaturan, maupun kontrol, maaupun pelaksanaan kerja; 3) Termasuk dalam ekonomi kolaboratif yang idealnya menguntungkan pengguna dan mitra; 4) Pekerjaan didasarkan pada permintaan perusahaan (work on-demand); 5) Mengandung makna informalisasi kerja yang membuat pekerjaan formal menjadi lebih informal; 6) Adanya sharing economy manfaat terhadap aset yang tidak digunakan.

Merebaknya sistem gig economy sebenarnya bukan hal baru. Saya kira sudah terjadi beberapa tahun belakangan. Sebab itu, pernyataan Presiden terkait tantangan dalam dunia kerja, hemat saya agak telat. Saya sendiri juga pernah menikmati sebagai pekarja lepas selama beberapa bulan di sebuah perusahaan aplikasi. Saat itu, saya dikontrak sebagai penulis artikel yang mana setiap artikel yang dipublikasikan akan menerima pembayaran. Seingat saya, total pembayarannya saat itu diakumulasikan per bulan. Sayang seribu sayang, kontrak kerja hanya bersifat sementara. Saya menyadari betul bahwa memang bekerja sebagai freelancer memang tidak seperti pekerjaan konvensional pada umumnya yang harus ke kantor setiap hari dan mendapatkan gaji setidaknya setara atau lebih dari Upah Minimum Provinsi (UMP). Beda halnya dengan pekerja lepas yang dibayarkan sesuai dengan karyanya. Baik karya tulisan, musik, video, animasi, dan semacamnya. Maka keahlian-keahlian baru bermunculan dalam sistem gig economy. Seperti halnya copywriter, editor video, creator animasi, penulis konten, dan semacamnya.

Baca Juga :  Menjaga Ekonomi Tetap Tumbuh

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja lepas di Indonesia mencapai 46,47 juta orang atau memiliki proporsi sebesar 32% dari total angkatan kerja yang mencapai 146,62 juta jiwa pada Februari 2023. Hal itu menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai pekerja lepas sangat menarik perhatian angkatan kerja kita. Terutama lulusan-lusan baru perguruan tinggi yang masih kebingungan untuk menentukan langkah selanjutnya dalam karir dan pekerjaan. Apalagi lowongan sebagai pegawan negeri sipil (PNS) tidak selalu ada. Meskipun ada, saingannya cukup ketat, yang diterima pun biasanya sedikit dibandingkan jumlah pelamarnya. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan swasta yang tidak selalu membuka lowongan pekerjaan secara periodik, Meskipun dibuka, kebutuhan perusahaan juga tidak sebanding dengan jumlah pelamar yang membeludak. Poinnya adalah jumlah pelamar pekerjaan tidak sebandiing dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Maka sangat wajar jika angkatan kerja beralih menjadi pekerja lepas sesuai dengan keahilannya. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pekerjaan lepas itu menjanjikan jaminan kesejahteraan untuk pekerjanya?

Sejauh ini, sepengetahuan saya, tidak semua perusahaan yang menerima pekerja lepas menjamin betul kesejahteraan karyawannya. Lebih-lebih dalam sistem gig economy, setiap pekerja bisa sewaktu-waktu diputus kontrak kerjanya setelah proyeknya selesai. Bisa hanya sebulan atau bahkan hitungan minggu, atau ada juga yang hitungan hari. Kontrak kerjanya hanya seumur jagung. Tidak menjanjikan kepastian memang. Namanya juga pekerja lepas. Kapan saja bisa dilepas jika perusahaan sudah tidak butuh. Bahkan tidak sedikit Tidak sedikit yang mendapatkan upah di bawah standar UMP wilayah sedangkan beban kerjanya cukup berat, tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan di luar gaji pokok, seperti jaminan kesehatan, jaminan uang lembur, dan jaminan kecelakaan kerja. Tidak hanya itu, pekerja lepas juga rawan dieksploitasi oleh perusahaan dalam hal pengupahan, jam kerja, dan tuntutan melakukan pekerjaan di luas deskripsi pekerjaan yang disepakati diawal, dan juga tidak adanya kejelasan dalam jenjang karir.

Baca Juga :  Manajemen Strategis Sistem Pendidikan Balance Scorecard: Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kota Banjarmasin

Di sisi lain, kelebihan sistem gig economy yang sedang berkembang saat ini yaitu setiap pekerja bisa bekerja di mana pun atau work from anywhere (WFH). Tidak harus pergi ke kantor setiap hari. Gig economy memberikan keleluasaan dan fleksibelitas bagi pekerja untuk menuntaskan tugas dan tanggung jawabnya. Tentu saja hal tersebut bisa memangkas biaya transportasi, menghemat waktu, dan tenaga. Perusahaan menilai bukan berdasarkan kehadiran di kantor. Namun pada sejauh mana hasil atau output yang bisa dihasilkan. Jadi bukan gaji bulanan yang didapatkan, tapi berdasarkan jumlah tugas yang berhasil dituntaskan. Sehingga perusahaan, sebelum merekrut akan mempertimbangkan betul rekam jejak dan skill yang dimiliki pelamar. Apakah sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau tidak. Dalam hal ini, perusahaan tidak mempertimbangkan jenjang pendidikan pelamar. Setinggi apapun gelar yang disandang jika tidak memiliki skill tertentu yang dibutuhkan perusahaan, maka jangan harap akan diterima. Dalam gig economy, portofolio, kemampuan yang dimiliki, dan rekam jejak karya menjadi hal menjadi pertimbangan utama perusahaan untuk menerimanya. Tidak dilihat IPK-nya berapa, dari universitas apa, gelarnya apa, dan apalagi anaknya siapa.Yang diperhatikan adalah apa yang kita bisa? Apaka kemampuan kita? Sudah sesuaikah dengan kebutuhan perusahaan?

Akhirnya, kembali lagi seperti apa yang telah disampaikan Presiden Jokowi terkait peluang dan tantangan pekerjaan di masa depan, saya rasa itu harus diperhatikan betul mulai dari sekarang. Lebih-lebih perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, agar tidak hanya membekali mahasiswanya kemampuan akademis sesuai bidangnya. Perlu diberikan tambahan-tambahan pembekalan khusus sebelum wisuda agar calon sarjana tersebut memiliki kemampuan di luar program studinya. Hal itu sebenarnya bisa diasah di organisasi internal maupun eksternal kampus. Namun, tidak semua mahasiswa memiliki kesadaran pentingnya mengasah soft skill di luar kelas. Sehingga perlu campur tangan pihak kampus untuk merancang suatu program khusus yang terencana, terarah, dan berkelanjutan yang tujuannya untuk mengasah passion dan skill calon sarjana. Entah itu kemampuan menulis artikel populer, kemampuan desain, kemampuan membuat aplikasi, dan semacamnya. Sebab, tantangan dunia kerja semakin beragam, kompleks, dan kompetitif. Para sarjana tidak bisa hanya mengandalkan nama besar kampusnya. Apalagi nama besar bapak dan ibunya. Mereka harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Begitu juga dengan pemerintah, perlu turun tangan agar gig economy mampu menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja. Selain itu, saya rasa, pemerintah juga perlu memberikan dukungan berupa payung hukum yang jelas bagi pekerja lepas dan juga program-program gratis yang bertujuan untuk meningkatkan soft skill pemuda.

Iklan
Space Iklan
Iklan
Ucapan