Ani Cahyadi
Pengamat Politik dan Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin
Bicara keterwakilan perempuan dalam wajah politik Indonesia belakang menjadi topik yang menarik dan penting untuk diamati. Selain menunjukan peningkatan yang lebih baik dalam setiap periode pemilihan di legislatif, pada pemilihan eksekutif juga menunjukan tren yang sama, meski masih sangat minim yang terpilih. Sejak berlangsungnya pilkada langsung tahun 2004 hingga pilkada serentak tahun 2018 sudah terdapat 80 perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah, 3 sebagai gubernur, 60 sebagai bupati serta walikota (Sweinstani, 2023).
Fenomena politik dalam konteks pilkada di Kalimantan Selatan belakang juga menarik dicermati. Sebelum tahapan pendaftaran calon pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota, banyak nama dan wajah perempuan-perempuan banua yang berseliweran baik pada baliho-baliho yang berjejer di sepanjang jalan raya atapun wajah yang memenuhi berita di media sosial serta media arus utama. Salah satu media lokal misalnya merilis berita dengan judul Emak-Emak Makin Banyak Tertarik Mencalonkan Diri di Pilkada Kalsel (Radar Banjarmasin, 6 Mei 2024). Ini menunjukan bahwa kontestasi Pilkada Kalimantan Selatan menarik minat banyak keterwakilan perempuan.
Dalam sejarah perjuangan Banjar, sebut saja Dewi Saranti, istri dari Pahlawan Nasional Pangeran Antasari. Dalam konteks sejarah, Dewi Saranti merupakan refresentasi peran penting seorang perempuan dalam politik. Posisi Dewi Saranti sebagai pendamping Pangeran Antasari tidak hanya menempatkannya dalam peran tradisional sebagai isteri, melainkan juga sebagai bagian integral dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Sejarah mencatat bahwa Dewi Saranti sebagai isteri seorang pejuang memiliki pengaruh yang signifikan, meskipun mungkin tidak tercatat secara eksplisit dalam dokumen sejarah. Perannya seringkali lebih bersifat mendukung, baik secara emosional maupun logistik, kepada suaminya dan pasukan yang berjuang. Hal ini mencerminkan peran perempuan dalam konteks tradisional yang sering kali terpinggirkan tetapi tetap esensial.
Dalam konteks pilkada hari ini di Kalimantan Selatan, ada beberapa nama perempuan yang mendaftar sebagai calon pemimpin baik pemilihan pemimpin di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Acil Odah, adalah salah satu nama yang cukup memberi dan mendapat perhatian dari masyarakat. Magnet ini bukan tanpa alasan. Pertama, karena Acil Odah adalah perempuan pertama yang mencalonkan diri dalam Pilkada Provinsi Kalimantan Selatan. Kedua, karena posisi pemimpin yang dipilih adalah kasta tertinggi pemimpin daerah sebuah provinsi, yang tentu merupakan posisi yang area kerjanya besar dan luas. Ketiga, Acil Odah berani melepaskan status ASN-nya, sebagai syarat jika mencalonkan diri pada Pilkada tahun 2024. Ini merupakan langkah besar dan berani yang diambil dalam konteks emansipasi dan pemberdayaan perempuan. Keberanian ini secara tidak langsung dengan tegas melawan stigma dan persepsi masyarakat bahwa politik adalah ruang-ruang maskulin.
Acil Odah tidak hanya menunjukkan tekad dan kemampuan kepemimpinan yang kuat, tetapi juga menjadi simbol harapan bagi banyak perempuan yang bercita-cita untuk terjun dalam politik. Dalam iklim politik yang seringkali didominasi oleh figur-figur laki-laki, kehadirannya menjadi bukti bahwa perempuan juga mampu untuk memimpin dan memberikan dampak yang nyata dalam pemerintahan. Perbandingan antara Dewi Saranti dan Acil Odah memungkinkan kita untuk melihat bagaimana peran perempuan dalam masyarakat telah berkembang. Dari dukungan belakang layar di era perang kemerdekaan hingga keterlibatan aktif dan langsung dalam proses politik saat ini. Kedua posisi ini menunjukkan adaptasi dan capaian perempuan dalam menghadapi tantangan kontekstual yang berbeda. Namun, tantangan tetap ada. Bagi Acil Odah dan perempuan lain yang berjuang dalam politik, mereka masih dihadapkan pada stereotip gender dan hambatan budaya. Tantangan untuk melampaui pandangan tradisional terhadap peran perempuan masih nyata, meskipun sudah ada kemajuan dalam kesadaran dan penerimaan sosial.
Pada akhirnya, baik Dewi Saranti maupun Acil Odah adalah simbol dari kekuatan dan ketahanan perempuan dalam menghadapi berbagai tantangan. Mereka menginspirasi perempuan untuk mengambil peran aktif dalam menentukan masa depan mereka dan masyarakat. Dengan mendukung keterlibatan lebih besar perempuan dalam politik, tidak hanya di Kalimantan Selatan, tetapi di seluruh Indonesia, kita menghormati warisan perjuangan para perempuan terdahulu dan berkontribusi pada kemajuan sosial yang lebih inklusif.