Oleh : Yulia Sari, SH
Pemerhati Politik Islam
Beberapa waktu lalu beredar video pendek dengan gambar burung garuda disertai tulisan peringatan darurat dengan latar belakang warna biru dan diakhiri logo garuda dan tulisan RI-00. Menariknya, video dan gambar Peringatan Darurat telah dibagikan berulang kali oleh beberapa tokoh nasional, selebritis hingga akun resmi media mainstream. Hal ini dilatarbelakangi karena adanya wacana pengesahan RUU pilkada oleh DPR yang dikebut hanya dalam waktu satu hari saja. video ini menjadi viral setelah munculnya wacana pengesahan RUU Pilkada. Dengan wacana tersebut seolah-olah konstitusi sedang dibegal.
Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024, namun pada perjalanan menjelang Pilkada 2024 beberapa kali isu terkait penyelenggaraan pilkada ditandai oleh polemik tajam di masyarakat. Perjalanan tersebut dimulai ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. MK memutuskan partai atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum (pemilu) dapat mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak mempunyai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). MK juga menolak gugatan pengubahan penentuan syarat usia minimum dalam Undang-Undang Pilkada melalui Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024. Atas dasar hal tersebut, maka bagi MK, usia calon gubernur dan calon wakil gubernur minimal 30 tahun dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati, dan calon walikota dan wakil walikota, terhitung saat penetapan calon kepala daerah.
Pada 21 Agustus 2024, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Badan Legislasi (Baleg) menggelar pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), antara lain mengenai 2 (dua) poin revisi yakni pertama, soal ambang batas yang disepakati yakni partai yang memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20% kursi DPRD atau 25% suara pemilu sebelumnya, padahal di putusan MK telah menggugurkan syarat tersebut. Kedua, terkait batas usia minimal calon di dalam Pasal 7 UU Pilkada, yakni batas usia calon yang ditentukan saat pelantikan calon terpilih. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tersebut direncanakan akan disahkan pada Rapat Paripurna pada tanggal 22 Agustus 2024.
Namun demikian, keputusan tersebut menuai protes masyarakat dari berbagai kalangan hingga berlanjut dengan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU Perubahan UU Pilkada di sekitar Gedung DPR RI dan berbagai daerah di Indonesia. Rapat Paripurna yang salah satunya agendanya adalah mengesahkan RUU Perubahan UU Pilkada, dengan alasan tidak memenuhi syarat kuorum akhirnya DPR RI membatalkan pengesahan RUU tersebut dan tunduk pada putusan MK terkait pencalonan Pilkada. Adanya pembatalan revisi UU Pilkada maka pelaksanaan pilkada serentak 2024 akan tetap merujuk pada Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024.
Perlu mencermati bahwa “rusuh”nya Pilkada tahun 2024 ini karena sistem demokrasi itu sendiri. Sistem ini menjadikan trias politika sebagai andalannya, yaitu adanya pembagian kekuasaan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif. Tetapi pada realitanya pembagian kekuasaan itu benar-benar tentang berbagi jatah kekuasaan diantara golongan mereka sendiri. Jika saat ini yang duduk di kursi kekuasaan adalah orang-orang problematik yang memunculkan “peringatan darurat”, hal itu terjadi karena sistem demokrasi dengan asas kekuasaan di tangan “rakyat”. Mereka dipilih melalui proses Pemilu demokrasi. Yang dengan kekuatan “uang” hasil pemilu itu dapat direkayasa. Pada prosesnya sendiri rakyat tidak dapat memiliki pilihan lain kecuali memilih para calon legislatif dan eksekutif yang disodorkan oleh partai politik. Sementara partai politik seperti diketahui saat ini, diisi oleh para politisi yang notabene juga pengusaha ataupun parpol itu sendiri di “beking” oleh para pemilik modal atau para kapital. Jadi tidaklah aneh jika kebijakannya bukanlah demi kepentingan rakyat tetapi demi kepentingan para kapital.
Termasuk proses Pilkada itu sendiri. Posisi kepala daerah di dalam sistem demokrasi kapitalis sangat penting. Apalagi di era otonomi daerah, mereka seperti “raja kecil “di daerah mereka masing-masing. Semakin pro dengan para kapitalis dan penguasa “boneka” di pusat semakin baik. Karena itu siapa “raja kecil” yang akan di pasang di daerah maka mereka harus memastikan bahwa “raja kecil” itu aman dan mudah diajak kerjasama.
Hukum Pilkada Dalam Islam
Dalam konteks Pilkada sendiri, Islam memiliki pengaturan sendiri. Dalam struktur daulah Islam, Kepala daerah disebut wali. Mereka memimpin suatu wilayah dari Daulah Islam. Didalam Islam, proses pemilihan wali tidak lah serumit dan semahal Pilkada di era demokrasi. Karena wali dari suatu wilayah dipilih oleh Khalifah. Sistem pemerintahan Islam atau Khilafah bersifat sentralistik. sehingga pengangkatan seorang pejabat di daerah adalah kewenangan pemerintah pusat, dan mereka juga wajib melaporkan perkembangan pengurusan wilayah mereka kepada Khilafah atau pemerintah pusat. Begitu pula dalam pemberhentiannya, hal itu juga menjadi kewenangan Khalifah.
Jika melihat proses Pilkada di dalam sistem demokrasi, hal itu bertentangan dengan bagaimana Islam mengaturnya. Sehingga dapat dikatakan proses Pilkada itu sendiri adalah Haram. Dalil pertama bahwa Pilkada Haram adalah Pilkada bertentangan dengan bagaimana tatacara pengisian jabatan kepala daerah yang telah di contohkan Rasulullah SAW. Pilkada dalam Islam tidak dilakukan dengan metode dipilih oleh penduduk negeri setempat tetapi diangkat oleh Khalifah. Dalil yang kedua adalah bahwa Pilkada menjadi wasilah atau sarana atau perantara dari suatu keharaman yaitu terpilihnya pemimpin daerah yang tidak melaksanakan Syariah Islam.
Secara umum diketahui bahwa sebagai seorang muslim, maka kita menjadikan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan. Dalil umumnya tertuang dalam surah Al Hasyr ayat 7, “Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambilah dia, dan apa saja yang dia larang bagimu maka tinggalkan lah”. Rasulullah tidak hanya sebagai nabi tetapi beliau juga memiliki jabatan politik sebagai kepala negara. dan salah satu yang dicontohkan Rasulullah sebagai Kepala Negara adalah dengan mengangkat kepala sebuah wilayah yaitu wali. Rasulullah pernah mengutus Muadz Bin Jabal sebagai kepala daerah Yaman, beliau juga mengangkat ziyad bin Labid sebagai gubernur hadramaut.
Bahwa Pilkada menjadi haram, karena di dalam sistem demokrasi kepala daerah hanya menjalankan hukum-hukum sekuler yang ada dan bahkan cenderung sesuai kepentingan. Padahal sudah sangat jelas bahwa penguasa yang tidak menerapkan Syariah Islam adalah Haram. Seperti kaidah fiqih yang berbunyi Al wasilah ila al haram muharraman, yang artinya perantara menuju yang haram, hukumnya haram. kewajiban bagi penguasa dalam menerapkan Islam sesuai dengan apa yang di sampaikan dalam firman Allah dalam surah Al Maidah ayat 44, 45 dan 47. “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”. (QS. Al Maidah : 44). “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang zalim”. (QS. Al Maidah : 45). “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang fasik”. (QS. Al Maidah : 47). Maka dengan demikian hukum Pilkada di dalam Islam adalah Haram.
Politik Islam VS Sekuler
Rusuh peringatan darurat efek Pilkada sesungguhnya terjadi karena sistem perpolitikan saat ini dikuasai oleh pemahaman atau ideologi Kapitalis Sekuler. Dimana terjadi pemisahan antara Negara dan Agama, dengan anak cabang pemahaman tersebut yaitu demokrasi. Sistem pengaturan demokrasi menampilkan seolah terjadi keadilan dengan adanya pembagian kekuasaan dan menjadikan suara rakyat sebagai sumber kedaulatan. Tetapi sistem ini mudah sekali direkayasa dan dirancang sesuai kepentingan. Suara rakyat hanya dibutuhkan pada saat Pemilu. Sementara setelah itu suara rakyat diabaikan.
Sudah banyak UU di ketok palu dengan mengabaikan suara rakyat atau dengan Istilah mereka “minim partisipasi publik”. Padahal seperti diketahui UU di rancang dan disetujui Bersama antara Presiden dan DPR sebagai representase suara rakyat. Tetapi sebagaimana MK pernah menunda pelaksanaan UU Ciptaker karena dianggap “minim partisipasi publik yang memadai”, sebagai bukti bahwa kebijakan penguasa dan wakil rakyat tidak pro rakyat. Akan tetapi MK sendiri tidak membatalkan UU tersebut karena ditolak oleh banyak elemen rakyat. Hal itu menunjukkan bahwa Lembaga yudikatif pun tidak menjadikan suara rakyat sebagai pertimbangan putusannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem politik demokrasi sekuler saat ini, mengabaikan perasaan rakyatnya dan lebih banyak memperhatikan kepentingan golongan tertentu dan tentu saja didalam sistem ini mengabaikan hukum-hukum Islam, dan tidak memperhatikan halal dan haramnya lagi. Hal ini berbeda dengan Politik dalam Islam. Islam menjadikan Syariah Islam sebagai sumber kedaulatannya. Menjadikan halal dan haram sebagai standar tindakan negara dan penguasanya. Politik Islam menjadi kan kekuasaan ditangan umat, yang artinya politik dalam Islam membahas bagaimana seorang penguasa wajib memikirkan dan memenuhi urusan-urusan umatnya. Penguasa dalam Islam adala “ra’in”. Mereka adalah pengurus dan pelayan rakyatnya. Mereka harus memperhatikan kepentingan rakyat individu per individu. dan memastikan terpenuhinya hak-hak dasar mereka.
Dapat dikatakan bahwa politik sekuler adalah politik yang “zero” nilai-nilai spriritual. Sementara politik dalam Islam adalah bagaimana hukum-hukum syara’ itu dapat diterapkan dengan benar dan dengan suatu kesadaran bahwa apa-apa yang di pimpinnya saat ini akan dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Sistem perpolitikan yang memanusiakan manusia ini tidak akan mampu diterapkan jika sistem bernegaranya masihlah kapitalis sekuler, sistem ini akan diterapkan secara sempurna dan nyata hasilnya jika diterapkan didalam sistem negara yang berdasarkan pada Syariah Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Wallahua’lam Bishawab.