Oleh: Hida Muliyana, S.K.M
Pemerhati Kesehatan Masyarakat
Kita semua tentu mendambakan keluarga yang berkualitas. Anak-anak bebas stunting dan terwujudnya kesejahteraan keluarga secara finansial. Karena dari keluargalah akan lahir generasi penerus bangsa.
Berbagai program juga telah dilakukan oleh pemerintah untuk menyiapkan keluarga yang berkualitas dan memiliki daya saing. Seperti halnya yang dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPPPAKB) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Mereka melaksanakan Penilaian Peningkatan Kualitas Keluarga dengan menyasar 13 kabupaten/kota untuk mewujudkan Kesetaraan Gender dan Hak Anak guna mengukur capaian dan kemajuan pembangunan kualitas keluarga di Provinsi Kalsel. Tujuan dari acara tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas keluarga, meningkatkan kesetaraan gender dan pemenuhan hak anak, serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perempuan dalam usaha ekonomi produktif. (Diskominfomc Kalsel, Senin 21/10/2024)
Seperti pada program-program lainnya. Program ini tak jauh dari sebatas lomba antar desa. Masing-masing desa akan berusaha untuk mencapai nilai sesuai standar yang ditetapkan pemerintah. Menurut pemerintah hal itu akan efektif untuk meningkatkan daya saing.
Padahal, persoalan kualitas keluarga tidak sesederhana itu. Persoalan yang muncul dalam masalah keluarga saat ini seperti gizi buruk, stunting, KDRT, pelecehan seksual, putus sekolah serta kemiskinan dan lain sebagainya. Merupakan persoalan sistematis yang berawal dari tata kelola negara yang salah.
Ini bukan tentang individu yang malas atau tingkat kesadaran dan pendidikan rakyat yang rendah tapi tidak adanya peran negara yang optimal dalam mengurusi kebutuhan rakyat.
Sayangnya sistem negara saat ini mengikuti pengelolaan negara ala Barat yakni sekularisme kapitalisme. Sistem inilah yang menjadi standar dalam hal tata kelola negara. Sedangkan kapitalisme adalah sistem ekonomi yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk memiliki, menjalankan dan bersaing untuk mendapatkan keuntungan. Apa hubungannya dengan keluarga berkualitas?
Jika kita mau berpikir lebih mendalam akar masalah dari seluruh persoalan keluarga adalah kemiskinan. Kehidupan keluarga jauh dari kesejahteraan.
Sedangkan kemiskinan di negeri ini bukan hanya satu atau dua kepala keluarga. Tapi ribuan bahkan jutaan. Tentu ini bukan tentang satu atau dua orang yang malas bekerja tapi ada kesalahan pada sistem yang dijalankan dalam negara tersebut.
Kapitalisme inilah biang keroknya. Ketika semua hal dalam negara itu bisa dimiliki oleh individu. Tentunya individu yang memiliki modal besar. Contohnya saja air yang biasa kita sebut PDAM, listrik yang biasa kita sebut PLN. Perusahaan itu milik siapa? Padahal dua kebutuhan rakyat itu bersumber dari alam yang mestinya menjadi milik umum.
Selain kapitalisme, negeri ini juga menganut sistem sekularisme. Maksud dari sekularisme itu adalah memisahkan urusan agama dari kehidupan. Apapun yang kaitannya dengan agama tidak boleh dimasukkan dalam urusan kenegaraan atau politik.
Pengelolaan Sumber Sumber Daya Alam (SDA) misalnya. Dalam konsep kapitalisme setiap individu memiliki hak untuk memilikinya selama individu tersebut punya uang banyak. Sedangkan dalam agama Islam, SDA tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta apalagi asing (luar negeri) karena SDA termasuk harta milik umum bukan harta milik pribadi.
Kita balik lagi kepada pengertian kapitalisme itu sendiri yakni untuk mendapatkan keuntungan. Ketika SDA dikelola oleh swasta, meskipun pemerintah menyebut itu adalah Usaha Milik Negara. Tetaplah keuntungan yang menjadi tujuan utama dalam pengelolaan dan kerjasama tersebut.
Artinya pemerintah telah menjadikan rakyatnya sendiri sebagai konsumen layaknya aktivitas jual beli. Itu baru tentang SDA belum lagi sektor lain, seperti program JKN, pajak, dan lain-lain.
Mestinya pemerintah fokus pada penyelesaian kemiskinan ini bukan malah melebar ke hal-hal yang tidak nyambung seperti kesetaraan gender. Andai saja pemerintah mau membuka mata agar menggunakan sistem Islam sebagai sistem politik maka semua tata kelola negara berasaskan ibadah dan memanusiakan manusia tidak sebatas mencari keuntungan semata.
Selain itu menerapkan syariat Islam dalam negara yakni khilafah hukumnya wajib. Dengan dipimpin oleh satu khalifah. Sehingga seluruh manusia yang masuk dalam sistem Islam akan bersatu padu. Tidak terpecah belah.
Tentu Islam tak hanya bicara tentang politik. Tapi juga siap mendidik bangsanya menjadi bangsa yang bertakwa melalui sistem pendidikannya, dakwah masyarakatnya dan juga sanksi yang diterapkan.
Islam memahami bahwa keluarga adalah bagian dari ujung tombak lahirnya generasi dan pemimpin masa depan. Tentu semua hal yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga akan menjadi prioritas.
Seperti hak ibu dan anak yang wajib dinafkahi. Hak anak yang wajib diberikan makanan bergizi sejak dalam kandungan. Ibu hamil tidak dipaksa bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibu fokus menjalankan perannya sebagai ibu. Siap melahirkan dengan tenang, siap menyusui dengan bahagia. Bukan seperti saat ini yang diberikan beban berat. Beban yang harusnya bukan menjadi kewajiban dia.
Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan syariat Islam melalui khilafah.