Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Empat Pilar Literasi Digital

×

Empat Pilar Literasi Digital

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B Pemerhati Generasi

Ahmad Barjie B
AHMAD BARJIE B

Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Pusat pada Rabu 13 November 2024 mengadakan lokakarya tentang Optimasi Media MUI, yang dilaksanakan langsung untuk peserta MUI Pusat dan MUI DKI Jakarta, dan lewat link-zoom untuk MUI daerah-daerah se-Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan sejak pagi hingga sore hari. Materi yang disajikan di antaranya tentang media social, media cyber, media penyiaran, media watch, dan kolaborasi media MUI se-Indonesia. Narasumber terdiri dari KH Masduki Baidhawi, KH Asrori S. Karni, KH Mabroer, KH Muhammad Faiz Syukron Makmun dan KH Auzai Mahfud dan lain-lain. Dari Komisi Infokom MUI Kalsel diikuti oleh Ahmad Barjie B, Winardi Setiono, Ma’ruf dan Ansyari.

Di tengah ramainya orang bermedia sosial sekarang ini, ada kalanya kebablasan, menyinggung orang, memprovokasi dan offside. Karena itu tetap diperlukan kebijakan, kecermatan dan kehatian-hatian. Dan bagi MUI juga tidak ketinggalan memanfaatkan media ini secara positif. Di antara hal yang perlu digarisbawahi adalah perlunya dipegang prinsip-prinsip agar media sosial bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Baca Koran

Pertama, digital skill, bahwa orang perlu memiliki keterampilan dalam menggunakan media social dalam berbagai bentuknya seperti watsap, tiktok, instagram, facebook, twitter dan sebagainya. Terutama mereka yang berkepentingan untuk berkomunikasi dan menyebarkan gagasannya ke tengah masyarakat. Termasuk orang-orang yang bergerak di bidang dakwah. Selama ini masih ada kesenjangan, dalam arti keterampilan ini belum banyak digunakan untuk berdakwah. Padahal bagi masyarakat kota yang selalu sibuk, pagi sampai malam hari mereka berada di luar rumah, sehingga tidak sempat mengikuti dakwah langsung seperti majelis taklim atau pengajian, media social ini perlu digunakan sebagai media dakwah. Kalau kita semata mengandalkan media lisan langsung, berarti ada segmen masyarakat yang tidak dapat kita isi.

Baca Juga :  Nasib RUU Perampasan Aset

Kedua, digital etics, bahwa orang dalam bermedia sosial harus pula memiliki etika, adab sopan santun, agar jangan sampai menyinggung orang lain. Jangan karena media yang kita gunakan merupakan dunia maya, di mana kita tidak melihat sasaran orang secara langsung dan orang tidak melihat kita, lantas berlaku seenaknya. Bagaimanapun etika harus tetap dipegang. Dari penelitian terbukti orang Indonesia dianggap paling tidak sopan dalam bermedia sosial. Ada kalanya orang menyebarkan fitnah dan berita bohong (hoaks) secara terus-menerus sehingga seolah dianggap benar. Sedangkan berita sebenarnya dianggap bohong karena tidak disebarluaskan. Apa yang dinamakan post truth, adalah orang menganggap benar sesuatu di atas hukum karena selalu diulang-ulang, sehingga menenggelamkan kebenaran yang hakiki. Karena itu jangan lelah menyuarakan kebenaran, dengan tetap berprinsip pada etika keadaban dan kesopanan.

Ketiga, digital safety, artinya dalam bermedia sosial kita harus memperhatikan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Segala informasi yang muncul ke permukaan, hendaknya kita lakukan tabayyun atau klarifikasi lebih dahulu. Artinya kita saring lebih dahulu secara cermat, kemudian jika bermanfaat barulah kita sharing kepada orang lain. Kita tidak harus menjadi orang pertama menyebarkan, sekiranya informasi itu merugikan atau belum terkonfirmasi. Jangan sampai content yang kita sebarkan menimbulkan akibat hukum, karena tidak objektif atau merugikan nama baik orang.

Keempat, digital culture, bahwa budaya digital ini tetap harus kita selaraskan dan gunakan untuk kepentingan agama. Di dalam HP yang perangkat dan jenis aplikasinya makin canggih dan beragam ada ayat-ayat Alquran, hadits, kata-kata ulama, dan hikmah kehidupan. Namun di sisi lain di situ juga ada pornografi, pornoaksi dan sejenisnya. Dua sisi ini tidak terpisahkan, tergantung siapa yang menggunakan dan digunakana untuk apa. Karenanya itu kita jadikan budaya HP untuk hal-hal yang positif saja, jangan sampai budaya HP mengabaikan kewajiban kita untuk beribadah, belajar, bekerja dan bersilaturahim. Media sosial tidak menjadikan kita asyik dengan diri sendiri dengan mengabaikan lingkungan sosial.

Baca Juga :  Mitologi Sungai, Kearifan dan Pengetahuan Banjar yang Hilang

Selama ini masyarakat yang menjadi followers media-media sosial yang dikelola oleh MUI, khususnya MUI Pusat, masih kalah jumlah followersnya dibanding organisasi lain. Hal itu bisa karena media-media sosial MUI belum begitu dikenal, kurang menarik atau faktor lain. Pada 2024 tercatat instagram MUI baru diikuti 91.600, tiktok 26.039, facebook 25.000, dan twitter 30.300. MUI perlu lebih memanfaatkan media-media ini untuk kepentingan dakwah, khususnya dengan sasaran generasi muda yang umumnya melek teknologi informasi.

Bagaimanapun tingginya keunggulan ajaran Islam, jika tidak disebarkan melalui cara dan media yang tepat sesuai perkembangan zaman serta terorganisasi dengan baik, kita akan kalah dengan kebatilan yang tidak henti-hentinya disebarkan dan diorganisasi dengan rapi. Ath-thariqatu ahammu minal maddah. Sayyidina Ali bin Abi Thalib sudah memperingatkan: Al-haqqu bila nizhamin sayaghlibul bathil bin-nizhamin. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan