Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Maraknya Generasi Sandwich, Dimana Peran Negara?

×

Maraknya Generasi Sandwich, Dimana Peran Negara?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Lia Sholehah
Mahasiswa dan Aktivis Dakwah

Makna dari istilah “Generasi Sandwich”, tidak jauh berbeda dengan filosofi sandwich, yaitu roti lapis berisi daging, sayuran, keju, dengan tambahan saus tomat dan mayones. Dalam kondisi yang sebenarnya, generasi sandwich ialah seseorang yang menanggung beban tiga generasi, yakni orang tua, diri sendiri, dan anak. Sandwich yang dimaksud ialah roti bagian atas diibaratkan orang tua, isian daging diibaratkan diri kita sendiri, dan roti bagian bawah diibaratkan anak.

Baca Koran

Istilah ini muncul sejak 1981 oleh seorang pekerja sosial bernama Dorothy A Miller. Studi demografis menyatakan bahwa ada sekitar 47% orang dewasa berusia 40—50 tahun yang terjebak generasi sandwich. Mereka yang ada di middle age (paruh baya) merasa terimpit (sandwiched) layaknya roti lapis dalam memenuhi kebutuhan orang tua dan juga anak-anak mereka, mulai dari kebutuhan harian hingga tanggung jawab kesehatan secara bersamaan. (Koinworks.com).

Biasanya, generasi sandwich menimpa kelompok usia 20an hingga 30—40 tahun. Versi lain juga menyebutkan generasi sandwich memiliki rentang usia 30—50 tahun. Dari aspek status sosial ekonomi, generasi sandwich di Indonesia paling banyak terdapat pada kelompok ekonomi menengah ke bawah, yakni 44,8% dan kelompok bawah sebanyak 36,2%. (Kompas.com).

Maraknya generasi sandwich yang menimpa penduduk usia produktif bermula dari beban ekonomi karena harus menanggung biaya dan kebutuhan dua generasi di atas dan di bawahnya. Mereka harus menjadi tulang punggung keluarga, pencari nafkah, serta memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila kondisi ini terus berlanjut dalam jangka panjang, dapat menimbulkan dampak dan masalah sosial yang lebih berat.

Diantaranya, pertama, merasa lelah secara fisik dan mental. Dalam sistem kapitalisme, tidak mudah menjalani kehidupan dengan menanggung hidup tiga generasi. Terlebih, kelompok usia produktif harus dihadapkan pada perekonomian yang fluktuatif.

Kedua, merasa bersalah karena belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Kehidupan yang serba mahal membuat pemenuhan kebutuhan menjadi tiada usai. Acapkali seorang ayah dipertanyakan tentang tanggung jawabnya tatkala ia tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, sekalipun ia sudah berusaha keras untuk mencari nafkah. Tak sedikit seorang ibu merasa bersalah tatkala ia belum maksimal memperhatikan keseharian anaknya dikarenakan ia harus sibuk membantu perekonomian keluarga. Dan tidak jarang seorang anak juga merasa bersalah ketika setelah lulus pendidikan, tak kunjung mampu memenuhi kebutuhan keluarga, sementara mereka menyadari bahwa keluarganya sudah mati-matian untuk membesarkannya.

Jika hal ini terus terjadi, dapat berdampak pada kondisi psikologis yang menyebabkan stres, insecure, depresi, hingga bunuh diri. Sudah banyak kasus bunuh diri anggota keluarga lantaran impitan ekonomi. Inilah penyebab generasi sandwich sangat dekat dengan fenomena frustrasi sosial. Ibarat besar pasak dari pada tiang, tuntutan beban hidup lebih tinggi ketimbang penghasilan.

Fenomena generasi sandwich sejatinya adalah kesalahan negara hari ini yang telah menerapkan ideologi kapitalisme, ideologi yang diadopsi negeri-negeri muslim. Dampak penerapan ideologi ini bisa kita rangkum dalam dua poin berikut:

Baca Juga :  WHEN EVER IT ISLAM

Pertama, penerapan sistem kapitalistik membuat semuanya harus berujung pada sebuah harga. Sebagai contoh, seseorang yang sedang kritis di rumah sakit harus terlebih dahulu melunasi pembiayaan pengobatannya, meski nyawa sudah diujung tanduk. Atau seseorang yang sudah sarjana harus bekerja agar bisa mengembalikan modal pendidikannya selama ini.

Kedua, disfungsi peran negara sebagai pelayan rakyat. Penerapan sistem kapitalisme menjadikan negara sekadar berperan sebagai regulator dan fasilitator. Negara seharusnya memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan baik. Jika kebutuhan pokok terpenuhi, rakyat tidak akan mengalami beban ekonomi yang sangat berat sebagaimana hari ini. Jika negara menjamin kebutuhan masyarakat, para pencari nafkah, termasuk generasi sandwich, tidak akan bersusah payah serta berkeluh kesah dalam bekerja. Setidaknya, beban hidup rakyat akan berkurang jika negara benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal.

Bisa kita simpulkan bahwa titik masalah dari generasi sandwich adalah permasalahan tentang kemiskinan. Kemiskinan hari ini bukanlah sebatas kemiskinan individu, tetapi sudah ranah kemiskinan struktural, yakni di mana semua rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhannya disebabkan sistem yang buruk dan hilangnya peran negara dalam menyejahterakan rakyat. Hal ini sungguh berbeda ketika sistem Islam diterapkan, atau biasa disebut dengan negara khilafah.

Pengentasan kemiskinan dalam sistem Islam berbasis pada penerapan syariat Islam kafah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer (pokok) pada tiap-tiap individu rakyat secara menyeluruh dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).

Negara Islam (Khilafah) menjalankan politik ekonomi ini dengan memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang meliputi sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Pendidikan dan kesehatan termasuk dua sektor yang dijamin pemenuhannya dalam sistem Islam.

Khilafah memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara mandiri, tidak bergantung atau menyerahkannya pada swasta. Ini karena penguasa dalam sistem Islam berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (melindungi rakyat). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Imam (kepala negara) itu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin.” (HR Bukhari-Muslim). Juga sabda beliau SAW, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh).

Mekanisme pengentasan kemiskinan dalam Khilafah dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 149, “Negara menjamin lapangan kerja bagi setiap warga negara.”

Dengan adanya jaminan lapangan kerja ini, setiap rakyat bisa menafkahi keluarganya sehingga kebutuhan pokoknya tercukupi. Negara juga mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga rakyat bisa bekerja dengan tenang dan stabilitas harga barang sehingga terjangkau oleh seluruh rakyat.

Baca Juga :  Mengapa Komunikasi adalah Kunci Membangun Hubungan yang Sehat dan Berkelanjutan

Selain menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, negara juga memampukan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sehingga rakyat merasakan kemakmuran. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 154.

Negara memberikan solusi untuk memampukan setiap individu dari rakyat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya dan menciptakan keseimbangan di masyarakat dengan cara-cara sebagai berikut: a. Negara memberikan harta-harta bergerak ataupun tidak bergerak yang dimiliki negara di baitulmal, dari harta fai dan lainnya; b. Negara memberikan tanah-tanah garapan kepada orang yang tidak memiliki lahan yang cukup. Adapun orang yang memiliki tanah dan orang-orang yang tidak mau menggarap tanah maka negara tidak akan memberikan kepada mereka. Negara memberikan subsidi bagi mereka yang tidak mampu mengolah lahan pertaniannya agar mereka memiliki kemampuan untuk menggarapnya; c. Melunasi utang orang-orang yang tidak mampu membayarnya dari harta zakat, fai, dan lainnya.

Khilafah memastikan bahwa harta kekayaan terdistribusi secara adil sehingga seluruh rakyat merasakan kemakmuran. Tidak ada ketimpangan dalam ekonomi. Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 153, “Negara selalu berusaha memutar harta di antara rakyat dan mencegah adanya peredaran harta di kelompok tertentu.”

Dengan mekanisme ini, tiap-tiap rakyat terbebas dari kemiskinan dan merasakan kemakmuran. Bahkan, orang-orang yang lemah pun merasakan kemakmuran karena negara mengurusi mereka. Dalam Pasal 152 disebutkan, “Negara menjamin biaya hidup bagi orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan atau tidak ada orang yang wajib menanggung nafkahnya. Negara menampung orang lanjut usia dan orang-orang cacat.”

Di bidang pendidikan dan kesehatan, Khilafah menyediakan layanan bagi seluruh rakyat dengan pembiayaan dari baitulmal. Muqaddimah ad-Dustuur Pasal 148 menyebutkan, “Pembangunan sarana pelayanan masyarakat yang vital seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah mendapatkan biaya dari baitulmal.”

Juga Pasal 164, “Negara menyediakan seluruh pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat secara cuma-cuma. Namun, negara tidak melarang rakyat untuk menyewa dokter, termasuk menjual obat-obatan.”

Kebijakan pengentasan kemiskinan dalam Khilafah, termasuk penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan, dibiayai dari baitulmal, yaitu dari dua bagian. Pertama, bagian fai dan kharaj yang mencakup ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, dan dharibah. Kedua, bagian kepemilikan umum yang mencakup tambang migas maupun nonmigas, laut, sungai, hutan, padang rumput, dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah). Selain itu, Khilafah juga memungkinkan pembiayaan untuk kemaslahatan rakyat, termasuk pendidikan dan kesehatan, dari wakaf oleh individu penguasa maupun rakyat.

Dengan mekanisme berdasarkan syariat ini, Khilafah mampu mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Terwujudlah kondisi sebagaimana yang ditulis Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization, “Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka (rakyat)”. Wallahualam bissawab.

Iklan
Iklan