Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan

Iklan
Opini

Upaya Mengurangi Ketergantungan pada Batu Bara di Kalsel

×

Upaya Mengurangi Ketergantungan pada Batu Bara di Kalsel

Sebarkan artikel ini

Oleh : Hafizhaturrahmah
Aktivis Lingkungan Hidup

Kalimantan Selatan (Kalsel), dikenal sebagai “Bumi Lambung Mangkurat,” adalah salah satu wilayah strategis di Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, terutama batu bara. Sejak awal 2000-an, pertambangan batu bara menjadi tulang punggung perekonomian provinsi ini. Namun, dominasi sektor ini juga membawa tantangan besar: ketergantungan ekonomi yang tinggi, kerusakan lingkungan, dan minimnya keberlanjutan. Persimpangan kritis antara keuntungan ekonomi dan kerusakan ekologi yang tak terelakkan. Pertambangan batu bara telah menjadi motor penggerak utama ekonomi lokal, namun di balik gemerlapnya sektor ini, tersimpan isu lingkungan, sosial, dan keberlanjutan yang mendesak perhatian.

Baca Koran

Ekonomi Kalsel sangat bergantung pada industri tambang. Pada 2022, sektor pertambangan menyumbang sekitar 17,54% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi ini (Antara News). Namun, ketergantungan ini menimbulkan risiko besar. Teori “kutukan sumber daya” (resource curse), yang dipopulerkan oleh Richard Auty, menyebutkan bahwa negara atau wilayah yang kaya sumber daya sering kali menghadapi stagnasi ekonomi akibat ketergantungan berlebihan pada sektor primer. Kasus Kalimantan Selatan adalah cerminan dari ini: ketika harga batu bara jatuh, seperti pada 2020, saat Covid-19 melanda, perekonomian lokal ikut terguncang.

Dominasi sektor pertambangan di Kalsel yang mencapai 27,42 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II-2024 memang menunjukkan angka yang sangat tinggi dibandingkan dengan sektor lain. Angka ini menciptakan ketimpangan yang jelas, dimana sektor pertambangan jauh lebih besar kontribusinya daripada sektor-sektor lainnya. Sektor lainnya, seperti pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan, masing-masing memiliki kontribusi yang jauh lebih rendah.

Lebih jauh, keuntungan ekonomi dari tambang sering kali tidak dirasakan oleh masyarakat lokal. Data menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan mengalir ke perusahaan besar, sementara masyarakat adat dan warga sekitar tambang justru menghadapi dampak lingkungan dan kesehatan. Hal ini mengingatkan pada kritik Joseph Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents, di mana ekonomi berbasis sumber daya alam sering kali gagal menciptakan kesejahteraan yang merata.

Dominasi sektor pertambangan di Kalsel menciptakan ketergantungan yang mengkhawatirkan. Tingginya harga batu bara di pasar global sering kali memacu pertumbuhan ekonomi secara instan. Namun, ekonomi yang bergantung pada komoditas seperti ini rentan terhadap fluktuasi harga. Krisis global seperti yang terjadi pada 2014—ketika harga batu bara anjlok hingga di bawah 50 USD per ton—mengakibatkan ribuan pekerja tambang kehilangan pekerjaan, perusahaan gulung tikar, dan pendapatan daerah menurun drastis.

Ketergantungan ini juga menciptakan efek domino. Ketergantungan pada batu bara juga membuat ekonomi Kalimantan Selatan rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Ketika harga batu bara anjlok, pendapatan daerah turut terpengaruh, yang pada gilirannya berdampak pada stabilitas ekonomi lokal. Selain itu, eksploitasi tambang telah memicu berbagai masalah lingkungan, seperti kerusakan lahan, pencemaran air, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Sungai-sungai di daerah ini, yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat dan petani, kini menghadapi degradasi serius akibat limbah tambang?

Kerusakan lingkungan akibat tambang batu bara di Kalimantan Selatan sulit diabaikan. Sungai-sungai seperti Barito dan Martapura, yang menjadi sumber kehidupan bagi ribuan penduduk, tercemar limbah tambang. Rusaknya ekosistem ini bertentangan dengan prinsip ekologi dalam Islam, di mana manusia sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di bumi) bertugas menjaga kelestarian alam. Al-Qur’an mengingatkan, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya” (QS. Al-A’raf: 56).

Namun, tantangan lingkungan tidak hanya berbicara soal agama. Secara ilmiah, deforestasi yang diakibatkan oleh tambang telah menghilangkan kemampuan tanah untuk menyerap air, memperparah banjir yang sering terjadi. Pada 2021, Kalsel dilanda banjir terburuk dalam beberapa dekade terakhir, dengan lebih dari 112.000 orang terdampak. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas tambang dan pembukaan lahan adalah salah satu kontributor utama.

Baca Juga :  Pemberian Kompensasi Kenaikan Tarif PPN 12%, Solutif Atau Destruktif? 

Selain ketergantungan ekonomi, pertambangan di Kalsel juga membawa dampak serius bagi lingkungan. Penambangan batu bara sering kali meninggalkan lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa hingga 2023, terdapat lebih dari 3000 lebih lubang tambang yang belum ditutup di Kalsel. Lubang-lubang ini tidak hanya merusak estetika lingkungan, tetapi juga menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat.

Contoh nyatanya adalah insiden tenggelamnya anak-anak di lubang tambang yang dibiarkan menganga. Selain itu, aktivitas tambang menyebabkan pencemaran air dan tanah akibat limbah beracun, seperti merkuri dan arsenik. Sungai Barito, sebagai salah satu sungai utama di Kalsel, kini menghadapi tantangan besar akibat limbah tambang yang mencemari kualitas airnya. Pencemaran ini berdampak pada ekosistem sungai dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sungai tersebut sebagai sumber air bersih hingga tak dapat lagi dikonsumsi.

Kalsel memiliki tradisi panjang kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam. Masyarakat Dayak Meratus, misalnya, telah lama hidup dengan praktik bertani berkelanjutan seperti ladang berpindah. Namun, ekspansi tambang sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat ini. Konflik lahan antara perusahaan tambang dan warga lokal mencerminkan ketidakadilan struktural yang perlu segera diatasi.

Dalam buku This Changes Everything oleh Naomi Klein, disebutkan bahwa krisis lingkungan sering kali bersumber dari sistem ekonomi yang mengutamakan keuntungan korporasi dibandingkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terlihat jelas di Kalsel, dimana masyarakat adat kehilangan hak atas tanah mereka, sementara perusahaan tambang memperoleh konsesi besar.

Solusi untuk mengatasi ketergantungan pada batu bara terletak pada diversifikasi ekonomi dan penerapan prinsip green economy. Konsep ekonomi hijau menekankan pada pembangunan yang berkelanjutan, rendah emisi, dan inklusif. Salah satu langkah konkret yang dapat diambil adalah memanfaatkan potensi energi terbarukan. Beberapa sektor potensial yang dapat dikembangkan meliputi: 1. Pertanian dan Agroindustri. Kalsel memiliki potensi besar di sektor pertanian, khususnya komoditas seperti karet, kelapa sawit, dan tanaman pangan. Dengan pengolahan pasca-panen dan pengembangan industri berbasis agro, sektor ini dapat menjadi alternatif ekonomi yang menjanjikan; 2. Energi Terbarukan. Sumber daya alam seperti angin, matahari, dan biomassa dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi terbarukan. Investasi dalam energi hijau tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru; 3. Pariwisata dan Ekowisata. Kalsel memiliki potensi pariwisata yang besar, seperti Taman Nasional Meratus dan budaya lokal yang kaya. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menjadi alternatif ekonomi yang berkelanjutan, sekaligus melestarikan lingkungan; 4. Industri Manufaktur dan Jasa. Pengembangan kawasan industri yang terintegrasi dengan pelabuhan atau infrastruktur strategis dapat menarik investasi di sektor manufaktur. Di sisi lain, sektor jasa, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), juga memiliki potensi besar di era digital ini.

Transformasi ekonomi memerlukan strategi yang terencana dan dukungan dari berbagai pihak. Langkah-langkah berikut dapat menjadi pijakan menuju keberlanjutan : 1. Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM). Pemerintah daerah perlu meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan, khususnya yang relevan dengan kebutuhan sektor-sektor baru. Dengan demikian, masyarakat setempat dapat beradaptasi dengan perubahan ekonomi; 2. Regulasi dan Kebijakan Progresif. Penerapan kebijakan yang mendorong investasi di sektor hijau dan meminimalkan dampak lingkungan dari pertambangan harus menjadi prioritas. Misalnya, insentif pajak untuk industri energi terbarukan dapat mempercepat peralihan ekonomi; 3. Kemitraan dengan Swasta dan Masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat lokal sangat penting. Dalam hal ini, model Corporate Social Responsibility (CSR) yang berfokus pada keberlanjutan dapat menjadi alat untuk memberdayakan masyarakat dan memulihkan lingkungan; 4. Pengembangan Infrastruktur Penunjang. Investasi dalam infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan fasilitas energi terbarukan dapat mempercepat diversifikasi ekonomi. Selain itu, konektivitas yang baik akan membuka akses pasar bagi produk lokal.

Baca Juga :  Pemuda dan Sihir Medsos

Namun, transisi ini memerlukan investasi besar dan keberanian politik. Contoh sukses dapat diambil dari Norwegia, yang menggunakan dana hasil eksploitasi minyak untuk membangun sovereign wealth fund demi mendukung ekonomi jangka panjang. Pendekatan serupa dapat diterapkan di Kalimantan Selatan, di mana sebagian keuntungan tambang dialokasikan untuk pengembangan energi terbarukan dan pendidikan.

Selain itu, reformasi kebijakan diperlukan untuk memastikan bahwa keuntungan tambang didistribusikan secara adil. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas perusahaan tambang melalui regulasi yang ketat dapat mengurangi korupsi dan memperkuat pengawasan lingkungan.

Dalam menghadapi tantangan ini, kita tidak bisa hanya berbicara tentang ekonomi dan lingkungan. Ada tanggung jawab moral yang harus diemban oleh semua pihak, mulai dari pemerintah, perusahaan, hingga masyarakat. Sebagaimana Gus Dur pernah berkata, “Pembangunan harus memanusiakan manusia.” Artinya, pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia atau merusak ekosistem yang menjadi sumber kehidupan.

Prinsip moral ini dapat diwujudkan melalui pelibatan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, penerapan konsep keadilan sosial, dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal. Dalam konteks ini, nilai-nilai Islam tentang keadilan dan tanggung jawab lingkungan dapat menjadi dasar bagi pembangunan yang lebih beretika.

Isu batu bara di Kalsel adalah cerminan dari tantangan global dalam mencapai keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan keberlanjutan. Dengan mengintegrasikan prinsip ekonomi hijau, kearifan lokal, dan nilai-nilai moral, provinsi ini memiliki peluang untuk keluar dari jerat “kutukan sumber daya”.

Meskipun peluang diversifikasi ekonomi cukup besar, implementasinya tidak tanpa tantangan. Pertama, ketergantungan yang telah mengakar pada sektor tambang sulit diubah dalam waktu singkat. Kedua, resistensi dari perusahaan tambang besar yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan daerah dapat memperlambat upaya reformasi. Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberlanjutan juga menjadi hambatan.

Namun, dengan komitmen kuat dari pemerintah dan keterlibatan aktif masyarakat, tantangan ini dapat diatasi. Pendidikan dan kampanye kesadaran publik tentang dampak buruk eksploitasi tambang serta manfaat diversifikasi ekonomi harus terus digalakkan.

Ketergantungan Kalsel pada batu bara memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi menimbulkan risiko besar dalam jangka panjang. Untuk menghindari krisis ekonomi dan lingkungan, transformasi menuju ekonomi berkelanjutan menjadi keharusan. Diversifikasi ke sektor-sektor seperti pertanian, energi terbarukan, pariwisata, dan manufaktur dapat menjadi solusi yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan langkah-langkah strategis, Kalsel dapat menjadi model bagi daerah lain dalam membangun ekonomi yang tangguh dan berkelanjutan. Tantangan yang ada justru menjadi peluang untuk menciptakan perubahan yang lebih baik, menuju masa depan yang tidak hanya makmur, tetapi juga berkelanjutan.

Masa depan Kalsel ada di tangan kita. Pilihannya jelas: terus mengeksploitasi hingga semuanya habis, atau memulai langkah baru menuju pembangunan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan manusiawi. Sebagaimana pepatah Banjar berkata, “Baik buruk kampung urang, di situ kita baitu.” Kini saatnya memperbaiki kampung kita bersama.

Iklan
Iklan