oleh: AHMAD BARJIE B
LAIN dulu lain sekarang. Dulu kedudukan surat sangat penting dan beragam. Ada surat cinta, surat antarkeluarga, antarsahabat. Pokoknya yang tidak resmi sering dikabarkan melalui surat. Sekarang informasi dan komunikasi melalui surat cenderung hanya yang bersifat resmi saja, misalnya surat keterangan, surat tugas, surat mandat, surat panggilan, surat pemeriksaan, surat penangkapan, surat pengangkatan kerja, surat pemberhentian kerja dan sebagainya.
Betapa banyak dulu kisah-kisah yang lahir dari surat. Yang cukup ramai, tentu surat-surat persahabatan, sehingga ada majalah yang memfasiitasinya, yaitu Sahabat Pena, sehingga penggemarnya rajin membeli prangko di kantor pos, kemudian berkenalan dan mengirimkannya kepada alamat yang dituju. Bagi yang banyak penggemar atau rajin mengirim-balas, maka surat-surat pun bertumpuk di mejanya.
Surat terbanyak dan paling berkesan tentu kisah percintaan. Pernahkan anda membaca surat-surat cinta Bung Karno kepada istri-istrinya yang dimuat dalam sebuah buku. Saya pernah membaca dan memilikinya, namun sekarang buku itu telah hilang. Ternyata, Bung Karno seorang yang romantis dan pandai merayu, menggombal dan memuji perempuan. Terbanyak disuratinya adalah Neuko Nemoto (Ratna Sari Dewi). Walaupun rata-rata surat Bung Karno pendek, namun hal itu cukup membuat wanita yang disurati senang dan hatinya melambung setinggi langit. Memang sebagai seorang yang poligam (banyak istri), kepandaian atau keahlian begitu amat penting. Walaupun sebagian isinya juga berdusta (gombal), karena hal yang sama tentu juga diucapkan untuk istri yang lain. Rahasia itu diungkapkan Bung Karno kepada salah seorang ajudannya, Bambang Wijanarko.
Lain lagi dengan Sutan Syahrir, teman Bung Karno sesama tokoh pergerakan nasional dan diplomat ulung. Sewaktu Syahrir kuliah di Belanda, ia berteman dengan seorang wanita Belanda bernama Maria Johanna Duchateau yang sedang tidak akur dengan suaminya. Dari berteman, dan sering bertemu, akhirnya keduanya jatuh cinta, tresno jalaran saka kulino. Selanjutnya, saat pulang Syahrir ke tanah air, wanita pujaan hatinya itu pun diboyongnya. Mereka menikah setelah Maria bersedia masuk Islam.
Seorang profesor Belanda meneliti, tidak kurang dari 287 surat-surat cinta yang telah dibuat Syahrir untuk kekasihnya itu, yang dibuat antara tahun 1931-1940, dengan panjang 4-7 per surat halaman. Mengapa panjang? Karena isinya tidak semata ungkapan cinta. Syahrir juga menjadikan Maria sebagai teman berdiskusi tentang politik, dan ia juga mengeritik penjajah Belanda yang berlaku tidak adil terhadap inlander. Maria seorang aktivis dan terbuka senang saja menerima surat demikian, meskipun ia tentu juga cinta terhadap negaranya.
Ternyata usia “pacaran” Syahrir dan Maria, tidak selama rumah tangga yang dibinanya. Kurang dari setahun, perkawinan itu bubar karena tekanan dalam dan luar negeri yang sering memberitakannya dalam surat kabar lokal dan nasional. Maklum, saat itu cenderung tabu kawin dengan bule, lebih-lebih Syahrir orang Minang yang sangat kental dengan adat dan tradisinya. Maria pulang ke negerinya dalam keadaan sedih, sementara ia sedang hamil anak Syahrir. Sayang anak itu meninggal tidak lama sesudah lahir. Ia kemudian diperistri oleh Sultan Syachsam, adik Sutan Syahrir yang juga berstudi di Belanda. Semula Maria ingin membakar surat-surat itu untuk menjaga perasaan suaminya yang baru. Tapi kemudian hal itu urung ia lakukan. Kini surat-suratnya tersimpan di sebuah museum di Belanda, dianalisis dan sudah dibukukan. Mereka pernah bertemu dalam sebuah konferensi internasional di New Delhi India. Namun hubungan keduanya sudah hambar, diantaranya karena sudah sama-sama berstatus bersuami dan beristri. Syahrir belakangan kawin dengan bangsawan Minang Siti Wahyunah Saleh. Selain itu juga karena perbedaan ideologi, Maria seorang aktivis berhaluan komunis, sementara Syahrir konsisten sebagai seorang demokrat sosialis.
Ada juga surat-surat cinta antara Napoleon Bonaparte dengan Josephine d’Bouharnise, yang kemudian diperistrinya. Walau Napoleon tidak tampan, namun jenderal muda berjuluk Le Petit Corporal (si kopral kecil) itu ia ahli berperang. Karena ia banyak wanita tergila-gila padanya. Konon surat-surat cintanya berharga tinggi. Beberapa lama ia menjadi penguasa Eropa, sejumlah negara berhasil dicaploknya, sebelum kalah dan dibuang ke Pulau Elba dan kemudian ke Pulau St Helena sampai wafat di sana (1821).
Melalui suratnya kepada Stella Zihandelaar (6 November 1899), Ny Abendanon (15 Agustus 1902), dan sebagainya, Kartini juga mengungkapkan kerisauan dan menyalurkan aspirasi perjuangannya untuk memberdayakan kaum wanita. Juga kerisauannya dengan cara beragama saat itu yang cenderung tertutup, jumud dan tidak boleh ditafsirkan untuk bisa dipahami isinya. Tapi kemudian ia bangga atas tafsir Al Quran dari gurunya KH Saleh Darat. Setelah itu melalui surar-suratnya kepada para sahabatnya di Eropa, Kartini menyatakan kebanggaannya dengan hadiah tafsir dari gurunya, karena ia semakin tahu isi Al Quran yang sangat mengagumkan dan berisi spirit menuju kemajuan, termasuk untuk memajukan kaum perempuan. Ia suka mengulang-ulang kalimat “minaz-zhulumaat ilan-nuur” (dari kegelapan menuju cahaya) yang banyak terdapat dalam Alquran, yang seolah cermin dari kehidupan dirinya, bangsa dan kaumnya selama ini yang umumnya hidup dalam keterbelakangan dan pingitan.
Kartini yang semula ingin menjadi orang setengah Jawa dan setengah Eropa karena sempat mengagumi kebudayaan Barat, akhirnya kembali membanggakan ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran. Ia ingin agar sang kyai meneruskan terjemahannya hingga 30 juz, namun sayang sang kyai wafat, dan tak lama kemudian, tahun 1904 Kartini pun wafat. Akhirnya hanya tafsir 13 juz itu yang dapat diwujudkan dan itulah tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa yang disusun dengan aksara Arab.
Ketika surat-surat Kartini kepada para sahabat Belanda-nya oleh JH Abendanon dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht”, kemudian oleh sastrawan Armijn Pane diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”, orang jadi kesulitan memahami secara kontekstual dan tepat. Karena tidak dikaitkan dengan agama, banyak orang mengira Kartini tidak taat beragama. Padahal yang dikehendaki Kartini adalah “dari kegelapan menuju cahaya”, sebagai inti ajaran Islam, karena Alquran sangat mendorong orang untuk maju, menuntut ilmu, berpikir rasional dan sama sekali tidak ada pingitan.
Itulah sedikit gambaran arti dan jasa surat di zaman dulu. Bagaimana dengan sekarang?