Oleh : Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel
Sampai Juli 2024 jumlah tabung gas melon 3 kg yang beredar di Kalsel sebanyak 106.539 tabung, yang disalurkan melalui 1.500 pangkalan yang tersebar di seluruh wilayah Kalsel. Jumlah ini diperkirakan relatif mencukupi, sekiranya peruntukannya tepat sasaran, yakni khusus untuk keluaga miskin (gakin) saja. Apalagi sebagian penduduk/keluarga miskin masih ada yang memakai kayu bakar dan minyak tanah, terutama bagi daerah atau pelosok yang tidak terjangkau peredaran gas melon, atau keluarga itu takut menggunakan gas melon, karena belum terbiasa.
Namun fakta di lapangan, gas melon kadang langka dan harganya melebihi ketentuan. Menurut data Dinas ESDM Kalsel (29/5/2024), pertahunnya konsumsi gas melon di daerah ini mencapai 90 ribu ton lebih. Dengan asumsi tiap keluarga mengonsumsi 3 tabung perbulan, berarti sebanyak 900 ribu lebih keluarga yang menggunakannya. Angka ini melebihi jumlah keluarga gakin di Kalsel yaitu 200 ribu. Ditengarai masih banyak kelompok UMKM, masyarakat menengah dan mampu serta industri kecil yang ikut menikmati gas bersubsidi ini. Masih ada warung makan beromzet Rp 10 juta menggunakan gas melon. Artinya gas melon dikonsumsi pelaku usaha yang tidak berhak.
Solusi masalah ini menuntut pengaturan oleh pihak pemerintah terkait. Pengaturan tentu tidak berbuntut gas melon langka dan mahal seperti baru-baru ini terjadi, sehingga berakibat antrian sangat panjang dan melelahkan. Tetapi pengaturan yang lebih mengikat dan prosedural bagi mereka yang tidak berhak. Gas melon tidak boleh digunakan untuk PNS, karena dikategorikan tidak termasuk gakin, juga keluarga mampu pada umumnya. Keluarga mampu dapat dilihat dari beberapa indikator, misalnya kategori golongan dan pengeluaran rekening listrik yang relatif besar, pemilikan kendaraan roda dan empat, jenis usahanya, dan sebagainya. Mereka ini harus diatur sedemikian rupa agar tidak ikut mengonsumsi gas melon 3 kg, melainkan gas yang tidak bersubsidi 3 kg, 5 kg dan 12 kg. Saat yang sama pemerintah perlu menekankan agar keluarga yang tergolong mampu dapat mengurangi penggunaan gas, dengan beralih kepada listrik dan semacamnya.
Fatwa MUI
Selama ini MUI Pusat telah proaktif untuk ikut serta memikirkan dan merumuskan fatwa-fatwa terkait persoalan kemasyarakatan dalam berbagai aspeknya, termasuk masalah gas melon. Belum lama ini (7 Februari 2025) MUI Pusat melalui Sekretaris Komisi Fatwa Miftahul Huda, merilis fatwa tentang haramnya warga masyarakat yang mampu dan kaya ikut mengonsumsi gas melon 3 kilogram bersubsidi. MUI sepakat dengan ketentuan pemerintah, hanya gas melon hanya untuk konsumsi keluarga miskin. Fatwa haram juga berlaku untuk golongan mampu dan kaya memakai BBM jenis pertalite bersubsidi, yang terakhir ini peruntukannya khusus transportasi umum, nelayan, dan masyarakat menengah ke bawah.
Banyak dalil yang digunakan ulama untuk mendasari fatwanya, di antaranya Al Quran surah an-Nahl ayat 90 yang menyuruh berlaku adil. Adil di sini dalam arti luas menempatkan sesuatu pada tempatnya, tidak memakai sesuatu yang bukan haknya. Agama juga melarang berbuat zalim dan gashab, yaitu mengambil hak orang lain yang bukan haknya, sehingga pemilik hak sebenarnya kesulitan memenuhi haknya. Terutama untuk jenis barang yang masuk kategori kebutuhan publik, dilarang keras untuk mempersulit. Siapapun dengan sengaja mengambil hak orang lain, memakai sesuatu yang bukan haknya, haram hukumnya dan pelakunya berdosa besar.
Terlebih gas sekarang ini umumnya sudah merata penggunaannya dari perkotaan hingga pedesaan. Masyarakat sudah lama tak punya dapur untuk memasak dengan kayu bakar, tidak punya kompor untuk memasak dengan minyak tanah. Jadi sehari saja terjadi kelangkaan sudah menimbulkan heboh. Kehebohan ini tidak otomatis secara langsung disebabkan oleh kebijakan pemerintah di atas, tapi besar kemungkinan juga terjadi pada ranah implementasi di lapangan, akibat hak gakin diambil oleh keluarga mampu dan kaya.
Kesadaran Masyarakat
Fatwa MUI walaupun sudah berdasarkan dalil-dalil yang kuat, namun selama ini belum mengikat. Sudah ratusan fatwa tentang berbagai hal dikeluarkan MUI, tapi hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Hal ini disebabkan kesalahan pemerintah juga, karena tidak mau melegitimasi fatwa-fatwa MUI sebagai Hukum Positif. Fatwa MUI baru mengikat apabila dijadikan Hukum Positif dalam bentuk peraturan perundangan-undangan, baik UU maupun perda atau turunannya. Ini memerlukan Proses Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Prolegda di daerah dan itu prosesnya sangat alot dan membutuhkan waktu lama. Sekiranya fatwa MUI mengikat, khususnya bagi umat Islam, maka sebagian masalah sudah dapat diselesaikan.
Di tengah keadaan demikian, diperlukan kesadaran dari masyarakat sendiri, dan ini kembali kepada agama yang bersangkutan. Kesadaran akan muncul dalam diri individu dan keluarga apabila ia memahami dan menghayati ajaran agama. Banyak sekali ajaran agama yang menyuruh kita untuk bersikap adil, jujur, amanah dan proporsional. Kalau kita relatif sejahtera, maka kita jangan mengaku-aku atau menempatkan diri sebagai orang miskin, begitu juga sebaliknya. Kita tidak boleh meminta, memakai dan memakan sesuatu yang bukan hak kita.
Meskipun ada ajaran agama yang menganjurkan hidup sederhana, wara’, zuhud, hemat, namun yang dimaksud tidak berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Misalnya, orang kaya boleh saja masih memakai motor atau mobil butut, tanpa harus melakukan konversi kepada motor merek terbaru dan mobil mewah. Boleh memakai baju murah, mengonsumsi makanan murah dll., meskipun ia mampu membeli yang mahal. Itu menyangkut kebutuhan pribadi.
Tetapi dalam soal yang berkaitan dengan kebutuhan orang banyak seperti gas elpiji, kesederhanaan tidak berlaku. Kalau orang mampu bertahan dengan gas elpiji termurah, maka selain akan termakan hak orang miskin, juga rentan terjadi kelangkaan disebabkan kebutuhan melebihi persediaan, juga membengkaknya subsidi seperti sering dikeluhkan pemerintah. Kalau sampai terjadi kelangkaan dan hal itu sudah kerap terjadi, otomatis harganya akan menjadi mahal, dan lagi-lagi akan membuat orang miskin terpukul karena terpaksa membeli di atas harga normal. Kalau sudah langka dan mahal, gas melon pun harganya sama dengan gas non-subsidi.
Sudah waktunya keluarga mampu beralih ke Bright Gas. Bright artinya cerdas, cemerlang, gembira, terang, dan bijaksana. Mereka yang dengan kesadaran sendiri berpindah ke bright gas dapat kita puji sebagai warga yang cerdas, berpikir cemerlang, berhati terang dan gembira, dan bersikap bijaksana. Mereka yang mau konversi, secara tidak langsung membantu masyarakat miskin. Wallahu A’lam.