Oleh : Norlian, S.Sos
Pemerhati Pendidikan
Menjadi guru di Indonesia sering kali disebut sebagai panggilan jiwa. Profesi ini dianggap sebagai pekerjaan mulia yang membentuk generasi penerus bangsa. Tapi mari kita realistis : apakah kemuliaan bisa membayar tagihan? Gaji guru di Indonesia masih jauh dari kata layak, terutama bagi mereka yang berstatus honorer. Sementara itu, biaya hidup terus naik, kebutuhan semakin banyak, dan kesejahteraan guru masih jalan di tempat. Jika kondisi ini terus berlanjut, jangan heran kalau di masa depan kita semakin kesulitan mencari tenaga pendidik yang berkualitas.
Di tengah krisis kekurangan 1,3 juta guru yang diprediksi terjadi pada 2024, pemerintah seharusnya mengambil langkah konkret untuk menarik lebih banyak tenaga pengajar. Namun, kenyataannya, gaji guru masih tidak mencerminkan beban kerja yang mereka pikul. Bagaimana mungkin kita berharap anak muda mau memilih profesi ini kalau gaji dan status pekerjaannya saja tidak menjanjikan masa depan yang layak?
Dibayar Murah, Beban Kerja Melimpah
Kalau ada profesi yang bisa dikategorikan sebagai “kerja rodi modern”, mungkin guru honorer adalah salah satunya. Gaji guru honorer di banyak daerah masih di bawah standar upah minimum. Ada yang hanya dibayar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan, angka yang bahkan lebih kecil dari gaji buruh pabrik atau pekerja lepas. Sementara itu, tanggung jawab mereka luar biasa besar: mengajar puluhan hingga ratusan siswa, menyusun administrasi, membuat laporan, mengikuti pelatihan, bahkan sering kali harus merogoh kocek sendiri untuk fotokopi bahan ajar.
Kondisi ini jelas tidak masuk akal. Guru adalah pilar utama pendidikan, tetapi justru mereka yang paling sering “dikorbankan” dalam sistem yang tidak berpihak. Dengan upah serendah itu, bagaimana guru bisa fokus mengajar dengan baik? Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya harus mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dari berjualan online hingga menjadi ojek daring.
Sementara itu, mereka yang sudah menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) memang memiliki gaji lebih baik, tetapi tetap saja tidak cukup dibandingkan dengan beban kerja dan tuntutan yang diberikan. Ketika profesi lain menawarkan insentif, tunjangan, dan jenjang karier yang jelas, guru justru harus berjuang dengan birokrasi yang berbelit hanya untuk mendapatkan hak mereka.
Pendidikan Penting, Guru Dipinggirkan?
Ironisnya, meski pemerintah selalu menekankan pentingnya pendidikan, anggaran untuk kesejahteraan guru seolah menjadi prioritas terakhir. Setiap kali ada pembahasan kenaikan gaji guru atau pengangkatan guru honorer menjadi ASN, selalu ada alasan: “Anggaran negara terbatas,” atau “Masih harus dikaji lebih lanjut.”
Tapi coba lihat anggaran untuk proyek-proyek lain yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah, seperti jalan tol, bandara baru, atau pembangunan gedung-gedung mewah. Bukan berarti proyek infrastruktur tidak penting, tetapi bukankah investasi terbesar sebuah bangsa adalah pada sumber daya manusianya? Apa gunanya bangunan megah kalau generasi yang akan mengisinya tidak mendapatkan pendidikan yang layak karena kualitas tenaga pengajarnya tidak diperhatikan?
Pemerintah juga sering berdalih bahwa guru sudah mendapat berbagai tunjangan, seperti tunjangan sertifikasi dan tunjangan profesi. Masalahnya, tidak semua guru bisa mengakses tunjangan ini dengan mudah. Proses sertifikasi sering kali rumit, lama, dan penuh ketidakpastian. Banyak guru yang harus menunggu bertahun-tahun hanya untuk mendapatkan tunjangan yang seharusnya sudah menjadi hak mereka.
Enggan Jadi Guru?
Dengan kondisi seperti ini, tidak mengherankan jika semakin sedikit anak muda yang ingin menjadi guru. Mereka melihat bagaimana guru di Indonesia diperlakukan, dan mereka berpikir dua kali sebelum memilih profesi ini.
Bandingkan dengan negara lain seperti Finlandia atau Jerman, di mana guru digaji tinggi, dihormati, dan memiliki jenjang karier yang jelas. Di sana, menjadi guru adalah kebanggaan, bukan pengorbanan. Sementara di Indonesia, guru justru sering kali diperlakukan sebagai pekerja kelas dua yang harus rela berkorban demi “pengabdian” tanpa imbalan yang sepadan.
Kalau kita tidak segera membenahi sistem kesejahteraan guru, siapa yang akan mengajar anak-anak kita di masa depan? Jangan sampai kita kehilangan tenaga pendidik terbaik hanya karena mereka memilih pekerjaan lain yang lebih menjanjikan secara finansial.
Solusi
Kalau pemerintah serius ingin mengatasi krisis guru, ada tiga hal yang harus segera dilakukan.
Pertama, naikkan gaji guru ke level yang layak. Jangan hanya memberikan tunjangan sementara atau solusi setengah hati. Guru adalah tenaga profesional yang seharusnya mendapat upah sesuai dengan standar profesi lain yang membutuhkan tingkat pendidikan dan tanggung jawab yang sama.
Kedua, hapus sistem kerja kontrak yang tidak memberikan kepastian. Guru honorer harus mendapatkan status yang jelas, bukan terus-menerus digantung dengan janji pengangkatan yang tidak kunjung terealisasi. Jika pemerintah bisa mengangkat ribuan pegawai lain menjadi ASN, mengapa tidak bisa melakukan hal yang sama untuk guru?
Ketiga, berikan penghargaan nyata bagi profesi guru. Ini bukan hanya soal gaji, tetapi juga bagaimana mereka diperlakukan dalam sistem pendidikan. Berikan insentif bagi mereka yang berprestasi, berikan fasilitas yang layak, dan buat sistem birokrasi yang lebih mudah agar mereka bisa fokus mengajar tanpa terbebani administrasi yang berlebihan.
Guru Jadi Korban
Setiap kali kita berbicara tentang pendidikan, kita selalu menekankan pentingnya peran guru. Tapi kenyataannya, guru terus-menerus menjadi korban dari sistem yang tidak berpihak pada mereka. Gaji rendah, status tidak jelas, beban kerja tinggi, dan minimnya penghargaan membuat profesi ini semakin tidak menarik bagi generasi muda.
Kalau kita ingin pendidikan Indonesia maju, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghargai mereka yang ada di garis terdepan: para guru. Jangan hanya menjadikan mereka pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi berikan mereka penghargaan yang nyata—dengan gaji yang layak, status yang jelas, dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan mereka.
Karena kalau kita terus mengabaikan guru, maka jangan kaget kalau suatu hari nanti tidak ada lagi yang mau menjadi guru. Dan ketika itu terjadi, siapa yang akan mendidik anak-anak kita?