Oleh: Noorhalis Majid
HEBAT, Kalimantan Selatan sudah memiliki Perda kebudayaan, yaitu Perda No 4 Tahun 2017 tentang Budaya Banua dan Kearifan Lokal. Perda ini setiap periode DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, terus disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat dan selalu dikatakan sebagai suatu produk legislasi yang sangat penting, karena berbicara tentang segala upaya pelestarian budaya dan kearifan lokal Kalimantan Selatan.
Saya sendiri ragu, dan bahkan tidak percaya Perda ini dianggap penting, karena sejak 2017 – yang berarti sudah berjalan 8 tahun, turunan dari Perda ini sebagaimana disebut pada pasal 35, 36, 37 dan 38 pada Perda itu sendiri, tidak pernah disusun atau diadakan, sehingga praktis Perda ini tidak pernah dijalankan, yang berarti sama sekali tidak penting, justru oleh pembuatnya sendiri.
Padahal Perda ini sangat maju, keren dan modern, serta menjawab kegelisahan pelaku budaya. Mata pisau Perda ini arahnya ke atas, berbeda dengan kebanyakan Perda lainnnya, mata pisaunya ke bawah, yang terkena justru masyarakat, bukan Pemerintah Daerah.
Karena mata pisau dari Perda ini ke atas, sehingga yang harus paham dan melaksanakan semua ketentuan yang ada pada Perda ini justru Pemerintah Daerah itu sendiri, dalam hal ini Dinas yang membidangi pelestarian kebudayaan dan kearifan lokal di Provinsi Kalimantan Selatan.
Kenapa mata pisaunya ke atas, karena pada pasal 35 Perda tersebut memerintahkan, (1) Pemerintah Daerah menyusun Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal setiap 5 (lima) tahun. (2) Penyusunan Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas. (3) Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur. Pertanyaannya, sudahkah perintah tersebut dilaksanakan? Kalau belum pernah, berarti Perda ini tidak penting dan tidak dianggap.
Pasal 36 menyebutkan, Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), meliputi: a. Rencana Induk Pengelolaan Kebudayaan; b. Rencana Induk Pengelolaan Cagar Budaya Daerah; c. Rencana Induk Pelestarian Tradisi; d. Rencana Induk Pengelolaan Sistem Pengetahuan Tradisional; e. Rencana Induk Pembinaan Lembaga Budaya dan Lembaga Adat; f. Rencana Induk Pembinaan Kesenian; dan g. Rencana Induk Pembinaan Sejarah Lokal. Sudah pernahkah rencana induk ini disusun dengan melibatkan pada budayawan? Kalau belum pernah berarti Perda ini tidak dianggap penting.
Pasal 37 mengatakan, Pembentukan Lembaga Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, dapat diusulkan oleh masyarakat dan/atau Dinas berdasarkan kriteria tertentu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur. (3) Pembentukan Lembaga Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Sudah adakah keptusan Gubernur terkait ini semua?, apakah Lembaga Budaya sebagaimana dimaksud sudah ada dan berperan sesuai maksud dalam Perda? Kalau belum, berarti Perda ini lagi-lagi tidak dianggap penting.
Pun Pasal 38 berbunyi, (1) Pengakuan sejarah lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dapat diusulkan oleh masyarakat dan/atau Dinas berdasarkan kriteria tertentu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur. (3) Pengakuan sejarah lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Sudah adakah peraturan dan Keputusan Gubernur tentang ini semua? Kalau belum ada berarti memang Perda tidak penting.
Bukan hanya soal Pergub atau Keputusan Gubernur, tapi kalau Perda ini penting, tentu seluruh kabupaten/kota akan juga mengadopsi dan membuat Perda yang kurang lebih tujuan dan maksudnya sama, sehingga segala keunikan budaya yang tidak bisa disamakan di tiap-tiap kabupaten/kota di Kalimantan Selatan ini, dapat diakomodir melalui Perdanya masing-masing. Bila seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Selatan memiliki Perda Kebudayaan, maka terbayang betapa masifnya pemberdayaan dan penguatan kelompok, paguyuban, group serta komunitas pegiat kebudayaan.
Belum lagi soal perlunya modul-modul yang berfungsi mengenalkan budaya hingga pada berbagai tingkat sekolah, dari tingkat Paud, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Sekolah Atas, dan bila dimungkinkan sampai ke Perguruan Tinggi. Modul tersebut tentu akan sangat banyak sekali, karena kebudayaan dan kearifan lokal Kalimantan Selatan sangat beragam, menggambarkan bahwa ragam kebudayaan yang dimiliki begitu kaya. Modul-modul tersebut dapat dibuat dengan melibatkan para pelaku kebudayaan dan kearifan lokal itu sendiri, sehingga menjadi satu pekerjaan yang sangat berpihak pada pemajuan kebudayaan. Kalau Perda ini penting, pastilah modul-modul tersebut disiapkan dengan seksama, serius dan partisipatif.
Dari pada terus mensosialisasikan Perda ini ke hadapan masyarakat, padahal Perda ini mata pisaunya ke atas, lebih baik benahi segala peraturan pendukungnya, termasuk penyiapan lembaga dan anggaran yang menggambarkan bahwa Perda ini memang penting, sebagai bentuk komitmen Pemerintah Daerah dalam melestarikan budaya dan kearifan lokal Kalimantan Selatan.
Sosialisasi tentu sangat perlu, tapi bila tanpa tindak lanjut – terutama menurunkan amanat dari Perda itu sendiri untuk membuat Pergup, Keputusan Gubernur dan membentuk serta memberdayakan lembaga kebudayaan, maka warga sudah sangat paham, bahwa Sosialisasi Perda (Sosper) yang dilakukan masing-masing anggota DPRD Kalimantan Selatan, “sahibar” proyek memanfaatkan anggaran, bahkan boleh jadi bentuk “politisasi sosper”, yang kurang berdampak pada pemajuan kebudayaan itu sendiri.
Lebih baik anggaran yang sangat besar tersebut digunakan dan dimanfaatkan secara lebih efisien untuk menyantuni lembaga-lembaga kebudayaan, termasuk Dewan Kesenian, yang selama ini berkhitmat dengan tulus menghidupkan kebudayaan dan kearifan lokal, tapi miskin dukungan Pemerintah Daerah.
Bukankah semua yang dilakukan mereka (Dewan Kesenian), dalam rangka mendukung tugas serta tanggung jawab Pemerintah Daerah itu sendiri, untuk menjaga – melestarikan kebudayaan dan kearifan lokal, sebagai satu cara membangun serta merawat peradaban bangsa. Kenapa setelah lembaga dan Dewan Kesenian tersebut dibentuk, justru didiamkan merana tanpa ada dukungan pendanaan yang memadai? (nm)