Oleh: Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Keagamaan
Masyarakat (umat beragama) adalah kumpulan manusia. Secara psikologis-sosiologis, manusia disebut sebagai homo-divinans (makhluk bertuhan) atau homo-religius (makhluk beragama). Hal ini disebabkan adanya naluri/instink beragama (gharizah diniyyah/naturaliter religiosa), dalam diri manusia. Di mana dan dari suku apa saja mereka lahir, pasti menganut suatu agama atau kepercayaan tertentu.
Agama yang dianut manusia pasti beragam, tidak mungkin satu, hal ini tergantung kepada faktor keturunan dari orangtua/nenek moyangnya, pengaruh geografis, demografis, etnografis dan sebagainya. Seseorang yang lahir dari ayah atau kakek Kristen hampir pasti dia juga beragama Kristen. Seseorang yang lahir di Kalimantan Selatan dan dari suku Banjar hampir pasti dia beragama Islam. Seseorang yang lahir dari etnis Tionghoa, hampir pasti dia beragama Budha, Konghucu, Kristen atau lainnya. Demikian seterusnya. Karena itu keragaman (pluralitas agama), ditambah suku dan budaya merupakan sebuah keniscayaan, dan hal ini sudah diberitahukan oleh Allah ketika menciptakan manusia (QS Yunus: 99, al-Hujurat 13).
Dengan adanya keragaman agama, maka sudah pasti dalam pergaulan dan interaksi sosialnya akan terjadi komunikasi dengan orang yang berbeda agama. Semakin majemuk suatu penduduk, semakin tinggi mobilitas seseorang, dan beragam pekerjaannya, maka semakin besar kemungkinan orang bergaul dengan orang-orang yang berbeda agama.
Dalam konteks kerukunan antarumat beragama, interaksi antara orang-orang yang berbeda agama hendaknya bersifat simbiosis-mutualis (saling menguntung), bukan simbiosis parasistis (yang satu untung yang lain rugi) dan bukan pula sama-sama rugi dalam bentuk konflik.
Peran Umat Beragama
Agar terbangun simbiosis mutualis maka manusia dan masyarakat beragama yang tinggal dalam suatu komunitas, lingkungan, daerah dan negara/bangsa, harus memaknai dan memungsikan agamanya masing-masing secara benar. Dalam kajian sosiologi agama, di antara fungsi agama adalah:
Fungsi motivasi, mendorong untuk berbuat baik. Semua agama mengajarkan dan menyuruh penganutnya berbuat baik dan ini merupakan benang merah kesamaan semua agama dalam tataran horisontal-sosiologis. Anjuran berbuat baik (al-birr) dalam Islam, kasih dalam Kristen, dharma dalam Hindu dan sebagainya, merupakan sebagian dari ajaran kebaikan. Norma sosial dan peraturan perundang-undangan umumnya juga menyuruh berbuat baik, tetapi dengan adanya motivasi agama maka kebaikan akan lebih bernilai. Menjaga kebersihan dan larangan membuang sampah sembarangan misalnya, biasanya diatur oleh Perda, tetapi karena agama juga memotivasi agar hidup bersih, maka semua itu lebih bermakna. Tidak saja hidup kita nyaman dan bebas penyakit, dan untuk keindahan, tetapi juga ada pahalanya. Apabila semua agama mengedepankan ajaran kebaikan, maka yang timbul adalah kebaikan, prestasi, harmoni dan kemajuan peradaban.
Fungsi edukasi, mendidik penganutnya agar senantiasa berada di jalan yang benar dan menjauhi jalan yang salah. Dengan fungsi ini maka setiap manusia berkembang ke arah kebaikan. Dalam ilmu jiwa pendidikan manusia disebut homo-educandum, makhluk yang dapat dididik, bukan hanya dilatih seperti binatang. Dalam konteks kerukunan umat beragama, pendidikan harus dilakukan sejak dini. Anak kita harus kita kenalkan bahwa selain agama yang kita anut juga ada keluarga lain yang menganut agama lain. Kalau anak bertanya tentang apa agama lain itu, kita perlu terangkan secara objektif, apa adanya, tanpa dimanipulasi dan didustai. Kalau ada tetangga lain agama sakit dan meninggal, kita harus menengok, kalau ada selamatan seperti perkawinan kita perlu datang dan ikut berbahagia. Dengan begitu terbangun kesadaran pada diri kita dan anak bahwa kita hidup di tengah keragaman agama, sehingga tidak memandang agama lain sebagai musuh, saingan atau salah dan harus dijauhi. Terjadinya konflik sosial bernuansa SARA selama ini sering disebabkan karena adanya pendidikan yang salah. Dari awal kita sudah tidak saling mengenal dengan orang yang berbeda agama. Kalau ada acara atau mimbar agama lain di televisi lantas kita matikan. Hal itu tidak mendidik anak-anak kita untuk mengenal agama lain.
Fungsi kontrol sosial, maksudnya agama harus dijadikan sarana melakukan perbaikan dan pembinaan masyarakat. Yang baik kita tegakkan dan yang salah kita hindarkan. Semua agama hendaknya satu kata dalam hal ini. Ketika agama Islam melakukan gerakan antinarkoba, miras, perjudian, pelacuran dan sebagainya, maka agama-agama lain juga demikian. Ketika agama Kristen giat melakukan pengabdian sosial dengan menyantuni kalangan miskin, sakit, dan terbelakang maka agama-agama lain juga melakukan hal yang sama. Dengan begitu kehidupan beragama akan teratur, sinergi, dan masalah-masalah sosial akan teratasi.
Fungsi penyelamatan, maksudnya semua agama menginginkan agar umatnya selamat dan sejahtera dunia dan akhirat. Dalam Islam ada doa sapu jagat, rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina azaban nar. Tentu dalam agama lain juga ada yang demikian. Kita tidak ingin hanya selamat dan bahagia di dunia tapi di akhirat tidak, atau sebaliknya. Kita ingin selamat kedua-duanya. Oleh karena itu harus kita bangun hubungan yang harmonis antarsesama penganut agama. Ketika terjadi konflik SARA di beberapa daerah di Indonesia kebahagiaan itu sudah pasti terenggut. Ada yang kehilangan harta benda, rumah dan kebun ditinggalkan, hidup dalam pengungsian, menjadi orang nomaden di daerah lain, bahkan ada yang kehilangan jiwa dan sanak saudaranya. Semua ini tentu tidak boleh terjadi, untuk itu agama yang kita anut harus mampu menyelamatkan diri kita dan orang lain. Ada hadits Nabi saw: la dharara wa la dhirara: jangan membuat diri susah atau berbahaya dan jangan pula menyusahkan dan membahayakan orang lain. Islam memandang, terbunuhnya seseorang secara tidak benar, sama artinya dengan membunuh orang semuanya.
Fungsi persaudaraan, agama harus dijadikan sebagai lem perekat atau pupuk penyubur persaudaraan intern agama, antaragama dan antaragama dengan pemerintah. Bagi yang muslim ia harus menyadari bahwa persaudaraan (ukhuwah) yang dianutnya tidak hanya ukhuwah islamiyah (sesama muslim), tetapi juga ukhuwah wataniyah (sesama bangsa) dan ukhuwah basyariah (sesama manusia). Problema kita umat beragama, ukhuwah uintern pun kadang belum terbangun dengan baik. Dulu antara NU dengan Muhammadiyah, juga sesama NU, mudah terjadi cekcok hanya karena masalah ritual yang kecil-kecil. Antara salafi dengan nonsalafi, modernis dengan tradisional juga gampang terjadi perselisihan. Dulu di Eropa pernah antara Katolik dengan Protestan terlibat perang saudara, antara aliran Budha Mahayana dengan Hinayana di India juga pernah konflik. Dalam usaha membangun kerukunan, ajaran agama-agama tidak perlu dicampuradukkan dari sisi teologis dan ritualnya sehingga membingungkan, tetapi yang penting adalah menyamakan persepsi sosiologisnya. Bahwa sesama agama punya banyak kesamaan tentang konsep persaudaraan.
Contoh dari Nabi Muhammad saw cukup elok untuk kita cermati. Ketika mula pertama diangkat menjadi Rasul dan beliau ketemu Jibril, beliau berkonsultasi dengan Warqah bin Naufal seorang Nasrani. Ketika beliau bersama pamannya Abu Thalib berdagang ke Syam, Buhaira seorang pendeta Nasrani menasihati agar pulang saja ke Makkah guna menghindari bahaya. Ketika terdesak oleh kaum Quraisy di Makkah, beliau minta tolong kepada Raja Negus Najasi–Habsyi untuk melindungi kaum muslimin. Saat hijrah ke Madinah beliau ditemani seorang guide yang masih menganut paganisme (penyembah berhala), yaitu Abdullah Uraiqith. Ketika Nabi mengalami kesulitan keuangan, beliau gadaikan baju besinya kepada tetangganya yang Yahudi. Di antara istri beliau ada Mariatul Qibtiyah orang Mesir (Kristen Kopti) dan ada Sofhiah binti Huyayy orang Yahudi Khaibar.
Jadi kehidupan pribadi dan sosial Nabi Muhammad SAW benar-benar berwarna-warni dan penuh nuansa pluralitas. Para ulama dan guru agama harus lebih banyak lagi mengajarkan hal demikian. Karena itu kalau ada muslim yang hidupnya antikeragaman, tidak senang dengan agama dan suku lain, berarti ia belum mempelajari histori Nabinya sendiri.
Peran Pemerintah
Tidak semua umat beragama memahami hakikat pergaulan antaragama dalam konteks kerukunan. Boleh jadi para ulama dan pemimpin agama pun salah dan kurang mengajarkan agama dalam nuansa kerukunan.
Untuk itu diperlukan peran pemerintah yang lebih preventif dan proaktif. Peran tersebut dapat dimainkan melalui produk peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kerukunan umat beragama secara utuh, langgeng dan adil. Pemerintah juga dituntut bertindak tegas tapi bijaksana ketika terjadi sikap dan aksi yang mengancam kerukunan umat beragama. Mengapa konflik bernuansa SARA di beberapa wilayah di Indonesia Timur beberapa tahun lalu banyak memakan korban, besar kemungkinan karena pemerintah lamban bertindak.
Peran pemerintah tak hanya dalam perspektif dan pendekatan hukum, tetapi harus pula bersifat komprehensif dengan melihat sisi sosial-politik-ekonomi dan budaya, dengan memeratakan kesejahteraan dan keadilan. Malaysia pernah mengalami konflik SARA antara puak Melayu dengan golongan Cina. Penyebabnya lebih karena faktor kesenjangan sosial ekonomi. Akhirnya sejak 1970 pemerintah melakukan kebijakan pemberdayaan ekonomi Melayu. Sekarang konflik itu tak ada lagi sebab derajat kesejahteraan kedua etnis di Malaysia sudah relatif sama. Konflik di sebagian wilayah Indonesia Timur dulu dari penelitian para ahli juga dipicu oleh faktor sosial-ekonomi, politik dan budaya. Jadi bukan karena perbedaan agama, sebab agama itu sendiri bukan sumber konflik.
Pemerintah bersama MUI, dan komponen-komponen masyarakat lintas agama perlu mengembangkan dan menumbuhsuburkan forum-forum dialog antar agama. Forum dan dialog sangat berguna untuk memupuk persaudaraan, pemahaman dan saling pengertian, sekaligus mampu meminimize bahkan menghilangkan prejudice (kecurigaan) dan misunderstanding (kesalahpahaman) antarpenganut agama. Pada gilirannya akan terbangun solidaritas, soliditas dan kerukunan yang mantap, sebagai energi sosial yang akan memperkuat NKRI. Semoga.