Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Dakwah dengan Perbaikan

×

Dakwah dengan Perbaikan

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Keagamaan

Usaha umat Islam memperbaiki diri lewat dakwah memang tidak pernah berhenti. Tetapi gerakan dakwah yang dilakukan tidak selalu efektif. Kemunkaran yang ingin dibasmi bukannya berkurang, malah terus membengkak. Hal ini karena pendekatan dakwah belum begitu tepat.

Baca Koran

Gerakan dakwah saat ini cenderung terbagi dua: konfrontatif dan solutif. Dakwah konfrontasi mengambil posisi berseberangan dengan masyarakat. Pelaku maksiat, fasiq dan lain-lain, yang notabene umat Islam sendiri dihantam dengan bahasa keras dan vulgar. Khutbah, ceramah, dan pengajian disampaikan penuh semangat dan nada tinggi. Dainya puas karena sudah berani berkata benar walaupun pahit. Sebagian pendengar mungkin juga senang, bahkan memberi aplaus. Tetapi tidak mustahil banyak yang makin kusut, tegang dan sumpek. Mereka bingung, ingin memperbaiki diri tetapi tidak menemukan solusi. Meminjam istilah Prof Dr Hj Masyithah Umar, MHum, pendekatan pertama ini dapat disebut dakwah tabrak lari. Para dai hanya menghantam dan mengecam, tanpa tindak lanjut usaha yang bertanggung jawab untuk memperbaiki secara nyata. Akibatnya terjadi gap yang makin menganga, kemaksiatan tidak kunjung berkurang. Justru dai, dakwah dan masjid dijauhi.

Dalam dakwah solutif, pelaku maksiat dan fasiq didekati dengan hati nurani sambil dicarikan problem solving-nya. Sering caranya diam-diam tanpa publikasi, hasilnya banyak orang insyaf. Orang yang cuek pada agama jadi taat, tadinya preman, maksiat dan abangan mau bertaubat dan menjadi muslim betulan, dst. Inilah salah satu esensi dakwah. Tentu berat jika ini dikerjakan dai saja. Pemilik modal, sarana dan kompetensi perlu terlibat.

Sayang dari dua model ini, dakwah konfrontasi justru lebih menonjol, sementara dakwah solusi terabaikan. Hal ini disebabkan: Pertama, para dai dan aktivis dakwah terlalu banyak menguasai materi dakwah, sedangkan metodenya kurang. Padahal dalam dakwah berlaku kaidah: al-thariqatu ahammu min al-maddah (metode lebih penting daripada isi). Kedua, dai dan aktivis dakwah terlalu bersemangat. Mungkin karena masih muda atau baru mengalami konversi agama, semangatnya tidak tertahankan. Terlalu menggebu kadang terlanggar rambu dan lupa memenej qalbu sendiri dan orang lain. Ketiga, dai dan aktivis dakwah lupa bahwa memperbaiki orang memerlukan pendekatan interdisipliner, lintas sektoral. Melarang pelacuran dan miras, tidak sekadar mencap zina dan mabok haram, tetapi diupayakan orang tidak melacur dan mabok lagi. Keempat, walau membawa bendera dakwah, metode dakwah Nabi sering terlupakan. Nabi lebih banyak menggembirakan dan memberi solusi, sesuai pesan beliau: “mudahkan dan jangan persulit, gembirakan dan jangan ditakut-takuti” (Shahih al-Bukhari I, 1401 H: 25). Nabi bersikap keras kepada orang kafir yang memusuhi, tetapi nonmuslim yang bersahabat, apalagi sesama muslim termasuk yang masih maksiat, beliau sayang dan santun. Dari akhlak terpuji inilah Islam semakin diterima kawan dan lawan.

Baca Juga :  Radikalisme untuk Siapa?

Problema Sosial

Seorang pengamat dari luar heran melihat fenomena di Kalsel, kemiskinan tinggi tetapi kuota hajinya selalu terlampaui. Pertumbuhan mall subur, mobil mewah lalu lalang, penjualan mobil dan motor terus meningkat. Ia menduga kepedulian dan sharing oleh si kaya kepada yang miskin rendah. Orang kaya lebih memilih enak dan saleh individual daripada beramal sosial.

Dalam teori kejahatan Harvey Brenner (1986) keterpurukan ekonomi dan keputusasaan adalah faktor dominan penyebab orang berbuat jahat, kriminal, melanggar hukum agama dan negara (istilah dakwahnya kemaksiatan/kemunkaran). Mengatasinya harus dengan melihat akar penyebabnya. Nabi saw mengatakan, hampir saja kemiskinan itu mendatangkan kekafiran (al-Jamius Shaghir 2: 89). Kafir di sini tidak selalu dalam arti pindah agama, tetapi juga suka bermaksiat mengabaikan dan melanggar agama karena putus asa tanpa ada yang mau menolong.

Sangat bijak jika orang miskin yang cuek agama didekati dakwah bilhaal dengan bantuan ekonomi, modal dan lapangan kerja, pengobatan, biaya pendidikan, dll. Sangat elok kalau lelaki bertanggung jawab dan mengerti agama bersedia mengawini PSK yang mau sadar, sebab fenomena prostitusi sering karena persoalan ekonomi, frustrasi, kecewa dan broken home.

Besar sekali pahalanya jika para dermawan mencarikan solusi, misalnya menyediakan pekerjaan dengan upah layak kepada kalangan rendahan yang tidak bekerja, yang sangat mungkin terjerumus premanisme. Orang yang pekerjaannya menyerempet maksiat, biasanya karena kesulitan bekerja halal. Sudah seharusnya pemerintah dan pihak terkait meningkatkan sektor riil agar lapangan kerja terbuka luas. Penggusuran tanpa solusi rentan menimbulkan problema ekonomi yang parah dan keputusasaan dengan segala akibatnya.

Tren maksiat dan hedonis yang terjadi di kalangan menengah atas mungkin karena kekurangan pedoman hidup dan minim agama. Solusinya dakwah yang menyadarkan, mencerdaskan dan mendekatkan kepada Allah, seperti Jamaah Tabligh, Training ESQ, Pelatihan Tahajud, Shalat Shusyu’, Majelis Zikir, Tarekat dan Istigotsah. Perbedaan cara ini hendaknya diterima sebagai rahmat, tidak perlu saling kecam antarasesama dai dan aktivis dakwah. Tidak boleh eksklusif dan merasa lebih hebat atas yang lain. Metode boleh beda, yang penting semangat dan tujuannya sama. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan