Oleh : Ikhsan Alhaque
BANJARMASIN, Kalimantanpost.com -Tanggal 25 April 2025 menjadi hari yang cukup krusial dalam relasi pemerintahan Pusat-Daerah di Indonesia. Pasalnya, pada tanggal ini serentak di peringati di seluruh Tanah Air sebagai Hari Otonomi Daerah sesuai Keppres Nomor 11 tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah. Tujuan penetapan tanggal dimaksudkan untuk makin memasyarakatkan dan memantapkan pelaksanaan otonomi daerah di semua wilayah Indonesia.
Namun demikian, pertanyaan besarnya apakah tujuan penetapan Hari Otonomi itu sudah tercapai selama 29 tahun perjalanannya kemudian? Pertanyaan di atas, kalau di jawab boleh jadi menghasilkan jawaban yang debatable pula.
Secara kasat mata, dalam praktek pemerintahan lokal, masih banyak pengelolaan otonomi daerah jauh dari kata ideal. Ibaratnya sebuah cermin hias yang memiliki retakan disana-sini, dimana antara janji desentralisasi oleh Pemerintah Pusat dan realitanya terjadi berbagai ketimpangan, baik aspek fiskal, kapasitas kelembagaan, maupun lemahnya daya tawar daerah atas dominasi pemerintah pusat.
Fakta keras ini setidaknya dtunjukkan antara lain oleh Data Badan Pusat Statistik (2024) bahwa, sebanyak 72 persen Kabupaten/Kota di Indonesia masih sangat tergantung pada dana transfer pusat (DAU/DAK) di atas 70 persen APBD-nya.
Padahal, UU. No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menargetkan kemandirian fiskal daerah minimal 50 persen pada 2025. Soal kemandirian fiskal ini, hanya ada segelintir daerah—seperti DKI Jakarta (62 persen), Bali (51 persen), dan Riau (49 perse ) yang melampaui atau mendekati target. Sementara Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua Barat masih terjebak di angka 8-12 persen.
Mengapa Daerah Kesulitan Mandiri ?
- Dominasi Sentralisasi Pajak
Pajak produktif seperti PPN, PPh, dan PBB masih dikelola pusat (kecuali PBB Perdesaan dan Perkotaan), sementara daerah hanya mengandalkan pajak lokal seperti retribusi parkir atau hotel yang kontribusinya sebagian besar minim, kecuali daerah-daerah tertentu.
Kemudian UU. No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), masih membatasi ruang kreativitas daerah dalam menggali sumber pajak baru. Akibatnya, 65 persen pendapatan daerah berasal dari transfer pusat, bukan berasal dari pundi-pundi PAD.
- Ketimpangan Ekonomi Struktural
Ambil contoh, Papua menerima Dana Otsus Rp 138 triliun (2020-2024), tetapi angka stuntingnya tetap besar, sebesar 34,5 persen atau tertinggi di Indonesia. Sementara Jawa Barat, dengan PAD Rp28 triliun, hanya mengalokasikan 12 perse APBD untuk kesehatan, di bawah standar WHO (15 persen). Kesenjangan ini memperparah ketergantungan fiskal bagi daerah-daerah tertinggal .
- Kinerja BUMD yang Lemah
Dari 1.097 BUMD di Indonesia, labanya hanya Rp10,3 triliun (3,05 persen dari total aset Rp340 triliun). Sebanyak 33,72 persen BUMD merugi pada 2020, bahkan setelah pandemi berakhir. BUMD yang seharusnya menjadi tulang punggung PAD justru kemudian menjadi beban anggaran daerah.
- Kualitas Kepemimpinan Daerah
Hasil Pilkada 2024 menunjukkan 65 persen Kepala Daerah terpilih tidak memiliki rekam jejak pengelolaan anggaran. Mereka cenderung mengutamakan program populis (seperti subsidi UMKM, pinjaman tanpa bunga dan lain-lain) ketimbang inovasi fiskal jangka panjang.
- Tekanan Demografi dan Belanja Pegawai
Rata-rata 45 persen APBD dihabiskan hanya untuk bayar gaji pegawai, bahkan di beberapa daerah, belanja ini bisa mencapai 60 persen. Akibatnya, alokasi belanja modal terpangkas, memaksa daerah bergantung pada dana pusat untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur.
Membangun Arsitektur Fiskal yang Berkeadilan
- Desentralisasi Asimetris
Berikan hak khusus kepada daerah tertinggal untuk mengelola 70 persen hasil dari sumber daya alam lokalnya, seperti tambang atau pariwisata, dengan syarat akuntabilitas ketat. Contoh : Papua bisa mengoptimalkan emas dan tembaga dengan skema bagi hasil yang adil .
- Reformasi Kebijakan Perpajakan
- Perluas basis pajak daerah dengan mengadopsi prinsip local taxing power dalam UU HKPD, misalnya dengan mengenakan pajak progresif untuk properti mewah di perkotaan.
- Terapkan tax matching di mana pusat memberikan insentif tambahan untuk setiap rupiah PAD yang berhasil dikumpulkan daerah.
- Revitalisasi BUMD
- Transformasi BUMD menjadi venture capital lokal. Contoh : Kabupaten Banyuwangi mengalokasikan Rp150 miliar untuk startup green economy.
- Gunakan teknologi untuk efisiensi, seperti platform digital pengelolaan air bersih oleh PDAM Kota Bandung yang mengurangi kebocoran hingga 25 persen.
- Penganggaran Berbasis Kinerja
Alokasikan pemanfaatan DAU/DAK berdasarkan capaian SDGs dan indeks demokrasi, bukan semata dari jumlah penduduk saja. Begitu juga daerah dengan penurunan angka stunting minimal 10 persen. Misalkan bisa mendapat bonus anggaran khusus.
- Pendidikan Fiskal untuk Kepala Daerah
Kementerian Keuangan dan Kemendagri perlu menyelenggarakan pelatihan teknis pengelolaan APBD berbasis data dan mitigasi risiko fiskal bagi para kepala daerah baru terpilih, sehingga diharapkan para Kepala Daerah memiliki wawasan, kepekaan dan pengetahuan yang memadai dalam manajemen dan politik anggaran serta hubungan keuangan Pusat-Daerah dan antar Daerah.
Penutup
Orkestrasi yang Belum Sepenuhnya Padu
Otonomi daerah adalah seperti orkestra besar Nusantara. Tiap wilayah punya alat musiknya sendiri, dari gendang Papua, saluang Minang, panting Banjar hingga angklung Sunda. Tugas kita bukanlah menyeragamkan, tapi menyelaraskan pelbagai dinamika. Sehingga irama pembangunan tak sumbang, dan suara rakyat dari berbagai pelosok tak tenggelam oleh gemuruh instruksi dari pusat.
Jika sinergi itu tercipta, kita tidak hanya merayakan Hari Otonomi Daerah, tapi juga kematangan dalam demokrasi dan peradaban pembangunan yang berpihak pada daerah dan rakyatnya.
Benar seperti kata Bung Hatta, “Desentralisasi adalah alat untuk memerdekakan rakyat dari belenggu ketergantungan”, dan itu membutuhkan sinergi bersama yang erat baik Pusat maupun Daerah sebagaimana tema peringatan Hari Otonomi Daerah tahun ini.
*) Ikhsan Alhaque merupakan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banjarmasin