oleh: Noorhalis Majid
TIDAK sulit mengetahui kualitas tata kelola pemerintahan, lihat saja bagaimana sampah ditangani, seperti itulah wujud asli potret dan gambaran tata kelola pemerintahan dan kepemimpinan.
Keberhasilan mengelola sampah, menjadi tolok ukur kualitas tata kelola pemerintahan dan tentu saja berkorelasi terhadap kualitas hidup, serta kesejahteraan warganya. Karena memperlihatkan kesanggupan kepemimpinan mengubah masalah menjadi potensi.
Korea Selatan memiliki tingkat daur ulang sampah sekitar 53,7 persen. Artinya lebih dari setengah sampah yang semula menjadi masalah, mampu didaur ulang kembali dan menghasilkan potensi pendapatan. Pun Austria, mampu mendaur ulang sampahnya hingga 54 persen.
Apapun alasannya, sampah harus dikelola, bukan dibiarkan menumpuk sejadi-jadinya. Termasuk menumpuk pada tempat pembuangan akhir, tanpa upaya tersistematis dalam mengatasinya.
Kemampuan mengelola sampah, tidak saja menggambarkan kemampuan kepemimpinan pemerintahan, tapi juga cermin peradaban seluruh pemangku kepentingan, termasuk cermin peradaban warganya. Apa artinya memiliki taman, tempat rekreasi, trotoar, air mancur dan lampu hias warna-warni, kalau sampah menggunung, berserakan tak terkendali.
Menurut Environmental Performance Index (EPI) tahun 2023, sepuluh negara terhebat dalam mengelola sampah, antara lain: Luxembourg 79,10; Austria 77,40; Swiss 76,40; Republik Ceko 74,90; Islandia 73,90; Korea Selatan 72,00; Singapura 71,70; Swedia 70,80 dan Finlandia 69,60; kemampuan negara-negara tersebut dalam mengelolaa sampah, benar-benar menjadi cermin tentang tata kelolaa pemerintahan, kepemimpinan, kesejahteraan, dan peradaban seluruh warga.
Lantas, negara mana penghasil sampah terbesar dan tidak terkelola dengan baik? Menurut data global tahun 2020, Indonesia menjadi negara ketiga di dunia penghasil sampah terbanyak dan tidak terkelola dengan baik, jumlahnya mencapai 3,4 juta ton sampah plastik. Yang pertama tentu saja negara terpadat India dengan 9,3 juta ton, disusul Nigeria dengan 3,5 juta ton sampah.
Harus diketahui, semakin lama sampah tak tertangani dengan baik, semakin menegaskan kualitas dan kemampuan tata kelola pemerintahan yang buruk, termasuk kualitas kepemimpinan. Bahkan, mengisyaratkan ada atau tidaknya pemerintahan. Fisiknya mungkin ada, tapi wujud dalam bentuk pelayanan sejatinya tidak ada.
Darurat Sampah
Pemerintah Kota telah menyatakan darurat sampah. Bila tidak disertai gerakan dan upaya sungguh-sungguh, mustahil menjadi gerakan yang masif di tengah masyarakat. “Darurat”, hanya jadi pernyataan pejabat, atau bahkan sekedar himbauan, dan akhirnya hanya berbuah gerakan-gerakan kecil tanpa arti. Bagaimana kalau sekalian saja kita gaungkan “revolusi darurat sampah”. Dengan demikian cara berpikir mengatasi sampah harus lebih revolusioner. Bagaimana caranya itu? Mari kita rumuskan bersama-sama.
Mungkin saja dimulai dengan menghidupkan gotong royong di tiap RT dan lingkungan tempat tinggal. Bahkan di tiap kantor, tiap perusahaan, tiap instansi, tiap sekolah serta kampus, dan organisasi. Semua harus bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungannya masing-masing, minimal radius 20 meter dari tempat dimana rumah, kantor, perusahaan, sekolah atau organisasi tersebut berada, lingkungannya bersih. Kita canangkan, tiap Jumat pagi dari jam 6 sd jam 9, semua warga kota turun bergotong royong membersihkan lingkungannya. Sampah yang didapatkan di lingkungannya jangan dibuang, tapi diolah pada lingkungan masing-masing. Jangan buang ketempat orang lain, pecahkan dan cari solusi problem sampah di lingkungan masing-masing.
Kalau gotong royong ini bisa berjalan tiap jumat dan konsisten, sekali pun hari hujan, saya yakin hanya dalam waktu 6 bulan, akan jadi gerakan yang revolusioner dalam menumbuhkan kepedulian warga terhadap sampah. Tidak akan ada lagi yang suka “mambarang, purici, marigat, bakoredak” terhadap lingkungannya.
Selanjutnya, seluruh TPS yang semula Tempat Pembuangan Sementara, diubah menjadi Tempat Pengolahan Sementara. Di tempat itu sudah ada sejumlah orang yang ditugaskan oleh Dinas Lingkungah Hidup, bekerja mengolah sampah dengan peralatan yang memadai. Misalnya, mampu mengolah setidaknya 50 sampai 100 ton sampah dalam sehari. Bagaimana bentuk dan jenis alatnya, mari kita diskusi lebih teknis.
Mengubah TPA yang semula Tempat Pembuangan Akhir, menjadi Tempat Pengolahan Akhir. Memfinalisasi segala yang sudah diolah di tiap-tiap TPS. Di TPA, orientasinya sudah untung atau penghasilan. Sampah sudah berubah menjadi BBM, biogas dan listrik, pupuk, pakan lalat, pelet, batako, dan lain sebagainya. Pada TPA tidak ada lagi yang tidak bernilai, tapi semua keluaran sampah sudah menjadi uang yang memberikan konstirbusi bagi pendapatan pemerintah kota. Bagaimana caranya? Mari juga kita diskusikan lebih teknis.
Semua hal di atas, hanya mungkin dilakukan bila Pemerintah Kota, serius. Kalau sekedarnya saja, apalagi sahibar pencitraan, maka tidak akan lahir revolusi darurat sampah. Bila itu yang terjadi, kita nikmati saja kota ini dikempung sampah di semua lininya, bahkan sampai ke tempat tidur kita.
Gugatan Warga
Warga boleh menggugat bila sampah tidak serus ditangani. Caranya, selain Class Action, ada juga yang disebut Citizen Lawsuit, prinsipnya sama, yaitu gugatan melibatkan kepentingan orang banyak, diwakili satu atau beberapa orang, sebagai bentuk partisipasi warga dalam penyelenggaraan negara yang dianggap lalai.
Gugatan citizen lawsuit biasanya terjadi pada bidang penegakan hukum lingkungan, bentuk partisipasi warga sebagai wujud mendukung pelestarian lingkungan. Digunakan sebagai sarana untuk menggugat pemerintah yang dianggap abai, lalai, tidak serius, atau bahkan sengaja tidak menunaikan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada warga negara, dengan dasar kepentingan umum, sehingga dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Hal yang membedakan citizen lawsuit dari gugatan perdata lainnya adalah unsur kepentingan umum, terutama dalam konteks gugatan tata usaha negara. Warga negara memperoleh legal standing dalam citizen lawsuit karena dalam prinsip hukum lingkungan, diterapkan konsep hak gugat konvensional terkait hajat hidup warga. Karena itu, warga dapat menjadi pihak penggugat meskipun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung.
Gugatan Citizen lawsuit di Indonesia muncul melalui adopsi mekanisme hukum dari Negara lain, terutama negara-negara yang mengadopsi sistem hukum common law, seperti Amerika Serikat yang menjadi pionir dalam mengadopsi model tuntutan semacam ini, sebagai respon terhadap masalah lingkungan yang muncul di wilayahnya era 70-an.
Di Indonesia, awalnya dilatarbelakangi gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Gugatan Citizen lawsuit pertama kali ada pada Putusan 480/PDT/2005/PT.DKI, atas adanya penelantaran negara terhadap pekerja migran yang dideportasi di Nunukan oleh Negara Malaysia.
Apakah pengelolaan sampah yang dianggap tidak serius dan lalai dapat digugat? Tentu saja dapat. Dan jangan alergi pada gugatan warga negara, sebab hal tersebut sebagai bentuk partisipasi warga terhadap tata kelola pemerintahan, agar pemerintah bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya.
Menggunakan cara Class Action atau Citizen Lawsuit, keduanya sama-sama atas dasar kepentingan umum. Pengelolaan sampah adalah kepentingan umum berdampak luas yang harus ditangani pemerintah. Menggugatnya bertujuan untuk mengingatkan, bahwa pemerintah harus bertanggungjawab sepenuhnya, jangan berkilah, apalagi melempar kesana-kemari dan mengaburkannya dengan dalih tanggungjawab bersama, apalagi menyalahkan warga. (nm)