Oleh : AHMAD BARJIE B
Umat Islam baru saja merayakan Idul Fitri 1 Syawwal 1446 H setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh. Pasca Idul Fitri biasanya diadakan acara atau kegiatan halal bihalal, baik di lingkungan pemukiman tempat tinggal, tempat kerja, organisasi, kantor, paguyuban dan sebagainya. Ada kalanya halal bihalal juga antara sesama warga perantau, misalnya perantau Banjar yang ada di suatu kota di Jawa. Sering pula halal bihalal perantau dengan warga di daerah asal. Misalnya organisasi Kerukunan Keluarga Tabalong (KKT) Banjarmasin setiap tahun rutin melaksanakan halal bihalal dengan jajaran Pemerintah Kabupaten Tabalong di Tanjung dan sekitarnya. Yang jelas selama puluhan tahun halal bilal ini sudah cenderung menjadi tradisi masyarakat, terutama di perkotaan.
Halal bihalal dari bahasa Arab, menurut Ensiklopedi Islam, berarti halal dengan halal, boleh dengan boleh, saling menghalalkan, saling melepaskan ikatan dan saling mencairkan hubungan yang membeku. Tradisi umat Islam berkumpul di suatu tempat ini merupakan kodrat yang tidak bisa dihindarkan. Tradisi halal bihalal merupakan alternatif paling praktis dalam menjalin silaturahmi. Kalau silaturahmi dilakukan dari rumah ke rumah, walaupun lebih baik, namun memakan banyak waktu, biaya dan tenaga. Dengan mengadakan dan menghadiri halal bihalal di suatu tempat pertemuan khusus, maka seseorang dapat bersilaturahmi dengan banyak orang sekaligus dalam waktu beberapa jam saja.
Walaupun halal bihalal cenderung menjadi tradisi di Indonesia, dan konon tidak dilaksanakan di banyak negara muslim lain, tidak berarti halal bihalal tidak memiliki dasar hukum. Bila kita teliti ajaran Al Quran dan hadits, banyak sekali yang mengajarkan perlunya menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, hablum minannas, di samping hubungan baik dengan Allah, hablum minallah. Manusia akan merugi hidupnya kecuali dengan menjaga kedua hubungan baik tersebut. Bahkan ada sejumlah kesalahan tertentu yang Allah tidak bisa mengampuninya sebelum manusia yang bersangkutan yang memaafkannya.
Konteksnya dengan perlunya saling memaafkan, Allah SWT berfirman, “…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? (QS. An-Nuur: 22). “… dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Baqarah: 237). “Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Maidah : 13).
Dari ayat-ayat di atas jelaslah bahwa Allah sangat menganjurkan kepada orang-orang muslim dan mumin agar saling memaafkan dan berlapag dada terhadap segala kesalahan yang pernah dilakukan saudaranya. Umat Islam dilarang saling mendendam dan tidak bertegur sapa, sehingga terjadi pemutusan hubungan ukhuwah dan silaturahmi. Orang yang suka memberi maaf atas kesalahan orang lain, maka Allah pun amat kasih padanya dan juga akan memaafkan kesalahannya. Sikap memaafkan orang lain bukanlah sikap lemah, tapi justru sebuah sikap terpuji yang lebih dekat kepada taqwa.
Manusia diciptakan Allah dalam keadaan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya mereka saling mengenal. Tidak ada keistimewaan antara satu suku atas suku lain kecuali ketakwaannya saja. Dalam kehidupannya di alam fana ini, manusia tidak dapat hidup sendiri dan menyendiri, jauh dari orang lain. Mereka tidak dapat memenuhi kebutuhannya seperti pangan (makan minum), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal), tanpa bantuan orang lain. Manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan, sehingga mereka harus saling membantu dan melengkapi. Semua itu sudah merupakan sunnatullah sejak manusia diciptakan.
Untuk kelancaran hubungan antarsesama manusia ini diperlukan hubungan interaksional dan korelasional yang yang baik, harmonis, aman tenteram dan penuh kasih sayang. Dari sinilah kebutuhan manusia akan dapat terpenuhi, baik kebutuhan material maupun kebutuhan rohani dan sosial. Tidak ada rasa permusuhan dan kebencian yang menghambat hubungan tersebut.
Halal Bihalal memperkuat interaksi antarmanusia. Dalam proses interaksi dan hubungan pergaulan antarmanusia inilah tidak jarang terjadi kesalahan dan kehilafan, baik disengaja maupun tidak disengaja, hal ini sesuai pula dengan sifat manusia yang memang tempatnya salah dan khilaf. Manusia yang baik bukannya manusia yang tidak pernah bersalah, melainkan manusia yang begitu berbuat salah langsung minta maaf dan bersedia memaafkan kesalahan orang lain.
Selama ini tradisi halal bihalal banyak dilakukan kalangan masyarakat dan orang dewasa. Bila halal bihalal dilihat dari kacamata pendidikan, tampak bahwa acara tersebut sarat dengan nilai-nilai yang baik, seperti keterbukaan, kejujuran, kebaikan, suka memaafkan, kasih sayang, kekompakan, saling menolong, bacuur, yang direalisasikan secara nyata, in action, bukan semata dipersepsi (teori saja). Semua ini merupakan bagian integral dari pendidikan budi pekerti. Karena itu halal bihalal sebenarnya sangat erat dengan pendidikan dan ikut mendukung terwujudnya tujuan pendidikan.
Karena itu halal bihalal perlu dilembagakan dan dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan persekolahan, mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi, sebagai upaya mewujudkan tujuan pendidikan, khususnya pendidikan budi pekerti yang berdimensi individual dan sosial. Diharapkan anak didik dapat menghayati nilai-nilai ajaran agamanya sekaligus nilai-nilai luhur budaya bangsanya yang sosialistik religius. Halal bihalal yang diadakan di sekolah-sekolah tentu perlu kesederhanaan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah, misalnya cukup dengan acara pembacaan ayat-ayat suci Alquran, sambutan pimpinan sekolah, ceramah agama sekitar urgensi silaturahmi dilanjutkan dengan hiburan ringan bernuansa agama. Dengan begitu meski acaranya sederhana dan ringan biayanya, namun manfaatnya akan besar, baik bagi anak-anak itu sendiri maupun bagi pihak pendidik, sebab dalam halal bihalal dimaksud, tidak saja terjadi terjadi saling memaafkan antarsiswa, tapi juga antarsesama guru dan antarguru dengan siswa dan segenap warga sekolah.
Dari sini diharapkan potensi emosi siswa yang pendendam, mudah marah dan berlanjut pada tindak kenakalan, kekerasan, senang tawuran dan berbagai pelanggaran lainnya dapat diminimalisasi sekecil mungkin. Berganti dengan rasa kasih sayang dan persaudaraan. Bila ini terwujud, pada gilirannya kehidupan masyarakat juga akan lebih aman, damai dan harmonis.