Oleh : Dhiya
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Perbicangan tentang HIV/AIDS kembali menghangat di Kalimantan Selatan, setelah rilis data dari Pelaksana Tugas Kepala Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA), Husnul Hatimah, bahwa HIV/AIDS di Kalsel mengalami peningkatan selama kurun waktu 2020 hingga 2023 dengan rincian: pada 2020 tercatat 341 kasus, 2021 terdapat 389 kasus, pada 2022 ada 552 kasus dan terus terjadi peningkatan hingga 2023 yaitu sebanyak 786 kasus (rri.co.id, 25/2/25).
Masih di Kalsel, Dinas Kesehatan Kabupaten Balangan, mencatat bahwa hingga akhir 2024 jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 42 kasus. Dari kasus tersebut tercatat ada 12 kasus baru. Salah satu cara yang dilakukan oleh Dinkes Balangan untuk menekan penyebaran HIV/AIDS yakni dengan dengan menggencarkan pemeriksaan dan perawatan hingga pengobatan secara gratis. Selain itu, langkah yang diambil juga dengan cara menjalin kemitraan dengan komunitas yang terdampak HIV/AIDS. Di Kalsel sendiri, kasus tertinggi yaitu di Kota Banjarmasin diantara 13 kabupaten lainnya (tvonenews.com, 25/2/25).
HIV/AIDS memang bukan permasalahan baru lagi di negeri Kartini. Sejak dulu penyakit menular akibat virus ini telah menjadi permasalahan remaja yang serius, baik di Kalimantan atau pulau Indonesia yang lain. Di Aceh misalnya, Kota yang di kenal oleh masyarakat dalam dan luar negeri sebagai wilayah yang Islami karena beberapa kebijakan pemerintah setempat mengambil dari prinsip-prinsip Islam, nyatanya kasus HIV/AIDS-nya terus meningkat tajam hingga 2024 (Mnews, 10/01/25). Terus bertambahnya kasus HIV/AIDS menunjukkan bahwa penanganan yang selama ini diupayakan oleh negara belum menyentuh akar masalah.
Jika kita mau menganalis, sekulerismelah yang menjadi penyebab terbesar dari carut marut kondisi pemuda saat ini, termasuk kasus-kasus HIV/AIDS. Sekulerisme berarti paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam kitab Nizhamul Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, bab Qiyadah Fikriyah, dijelaskan bahwa aqidah Sekulerisme memiliki empat kebebasan, yakni kebebasan beraqidah, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan kebebasan kepemilikan. Fokus pembahasan kita kali ini adalah kebebasan berperilaku. Berangkat dari kebebasan berperilaku inilah munculnya kehidupan sosial yang liberal (bebas), sebab kebebasan yang diciptakan telah membuat seseorang legal melanggar batas-batas hukum syara selama ia suka rela melakukan hal tersebut. Misalnya, remaja yang pacaran, jalan berdua, nogkrong dengan lawan jenis, saling merangkul, ciuman, dianggap sah-sah saja di masyarakat selama mereka senang melakukan aktivitas tersebut. Parahnya lagi media juga menyetir cara bepikir remaja untuk menjadi seperti itu, baik lewat televisi, aplikasi, atau media sosial. Sementara di sisi lain tidak ada sanksi tegas bagi pelaku. Maka sangat wajar remaja negeri ini kalah melawan gempuran pergaulan bebas sekalipun dengan konsekuensi HIV/AIDS.
Padahal Islam telah memiliki seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan permasalahan HIV/AIDS. Syaikh Taqqiyudin An Nabhani mengatakan bahwa manusia memiliki fitrah berupa kebutuhan jasmani (Hajat Al-‘uduwiyah) dan naluri (Gharizah). Salah satu gharizah yang melekat pada manusia normal sejak lahir adalah Gharizah Na’u (naluri melestarikan jenis) yang manifestasinya berupa kecenderungan terhadap lawan jenis. Islam mengakui bahwa setiap manusia normal pasti memilki kecenderungan terhadap lawan jenis, meskipun jika naluri ini tidak dipenuhi tidak akan membuat manusia meninggal, tapi tetap dianggap krusial. Karena itu, edukasi terhadap pergaulan sudah harus di tanamkan orang tua pada anak sejak dini dari hal-hal sederhana. Islam juga mengatur siapa saja mahrom bagi laki-laki dan perempuan, batasan berpakaian, batasan berinteraksi seperti tidak boleh berduaan laki-laki dan perempuan (khalwat) atau campur baur laki-laki dan perempuan tanpa ada hajat.
Hal lain yang juga disyari’atkan untuk menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan adalah menikah. Ketika laki-laki atau perempuan sudah memiliki ketertarikan atau jatuh cinta dengan lawan jenis, maka solusinya adalah pernikahan. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah pernah menuliskan bahwa obat utama bagi orang yang sedang jatuh cinta adalah menikah.Jika belum mampu menikah maka solusi lain adalah berpuasa, sesuai sabda Rasulullah sallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk menikah maka hendaklah ia segera menikah. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran perbuatan zina”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Peraturan preventif di atas sangat penting diperhatikan oleh negara, bahkan di Masa Umar bin Khattab biaya pernikahan pun dibantu oleh negera jika memang ada keterbatasan ekonomi untuk menikah di saat pemuda tidak mampu lagi menahan diri. Disinilah negara kini masih alpa, bahkan masih jauh dari kata menjaga. Sekelas Aceh yang sudah berusaha menjaga pun belum bisa sepenuhnya mengontrol, sebab hanya berupa otonomi daerah yang bersifat parsial, bukan secara kaffah dari kebijakan pusat.
Kalaupun masih terjadi zina setelah lapisan upaya preventif tadi dilaksanakan, maka pilihan terakhir adalah sanksi tegas, yakni di rajam bagi pezina yang sudah menikah dan jilid bagi yang belum menikah. Allah Azza wa jalla berfirman, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksiakan oleh sebagian orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nur: 2)
Selain nash-nash di atas tentu masih banyak lagi rujukan lain. Jika remaja atau masyarakat telah terhindar dari zina maka rantai HIV/AIDS secara otomatis akan putus.
Sungguh begitu banyak kebaikan yang Allah siapkan kepada kita jika kita mau taat secara menyeruh kepada aturan-Nya. Sebab Pencipta kita lah yang paling memahami kita dan paling berhak mengatur hidup kita. Wajarlah dulu ketika silih berganti masa kekhilfahan Islam tidak terdengar penyakit-penyakit menular seksual seperti saat ini, sebab mereka selalu berpegang teguh kepada syari’at Islam.