oleh: Jummy
Aktivis Dakwah
SELAMA hampir satu dekade, warga Desa Baulin, Batalas, dan Teluk Haur di Kecamatan Candi Laras Utara (CLU), Tapin, Kalimantan Selatan, hidup berdampingan dengan jalan rusak. Kondisi jalan yang berlubang parah, jembatan yang membahayakan, serta minimnya akses yang layak, telah menjadi keluhan utama warga. Mereka merasa seperti anak tiri yang diabaikan oleh pemerintah. Ini bukan sekadar keluhan, tapi jeritan hati rakyat yang nyaris kehilangan harapan.
Hasanudin, warga Teluk Haur, menyuarakan keresahan itu dengan nada getir. Menurutnya, jalan tersebut sudah rusak selama hampir 10 tahun, tanpa sentuhan perbaikan berarti. Lima jembatan di wilayah itu pun disebutnya dalam kondisi memprihatinkan dan berisiko tinggi terhadap keselamatan warga.
Apa yang Dilakukan?
Meskipun keluhan warga sah adanya, perlu diakui bahwa pemerintah daerah tidak sepenuhnya tinggal diam. Menurut data dari Dinas PUPR Tapin, sejak 2023 telah dilakukan beberapa tahap perbaikan jalan di beberapa kecamatan, termasuk Candi Laras Utara. Namun, karena keterbatasan anggaran dan medan yang sulit, pengerjaan infrastruktur di wilayah-wilayah pedalaman membutuhkan waktu lebih lama dan skala perbaikan dilakukan secara bertahap.
Bupati Tapin melalui beberapa pernyataan publik juga menegaskan bahwa pihaknya telah mengajukan proposal peningkatan jalan antar-desa ke pemerintah provinsi dan pusat, agar bisa masuk dalam prioritas pembangunan jalan daerah. Pada tahun anggaran 2024, setidaknya ada 15 ruas jalan prioritas di Tapin yang diajukan dalam skema Dana Alokasi Khusus (DAK) Infrastruktur.
Namun begitu, hasilnya belum dirasakan secara merata oleh semua wilayah. Itulah sebabnya, protes warga seperti yang terjadi di Baulin, Batalas, dan Teluk Haur tetap valid. Karena bagi mereka, selama jalan di depan rumah belum diperbaiki, maka janji dan rencana belum memberi arti apa-apa.
Infrastruktur Tertinggal
Kasus ini sekali lagi membuka mata kita bahwa ketimpangan pembangunan masih nyata terjadi di negeri ini. Daerah-daerah terpencil dan pedalaman sering kali harus menunggu lebih lama, bahkan hingga puluhan tahun, untuk bisa menikmati jalan yang layak. Padahal, jalan adalah urat nadi perekonomian dan keselamatan. Tanpa akses yang baik, rakyat terisolasi dari pendidikan, layanan kesehatan, hingga ekonomi produktif.
Inilah persoalan klasik dalam sistem pembangunan yang berbasis kapitalisme. Ketika anggaran difokuskan pada daerah perkotaan atau wilayah yang dianggap “ekonomis”, desa-desa miskin dan jauh dari pusat justru dikorbankan. Pemerataan pembangunan hanya tinggal wacana.
Sistemnya Salah?
Tak bisa dimungkiri, sistem pengelolaan saat ini kerap kali bersandar pada skema proyek dan orientasi untung-rugi. Pembangunan hanya bergerak jika ada dana, investor, atau potensi keuntungan. Ketika daerah seperti Teluk Haur tidak dianggap menguntungkan, maka jalan rusak pun dianggap bukan prioritas.
Konsep negara sebagai pelayan publik berubah menjadi manajer proyek dan fasilitator investor. Inilah wajah kapitalisme dalam kebijakan infrastruktur. Dan selama sistem ini terus dipertahankan, maka disparitas antarwilayah akan terus ada, dan penderitaan warga desa akan terus diabaikan.
Bagaimana Seharusnya?
Dalam sistem Islam, infrastruktur adalah bagian dari kebutuhan publik yang wajib dipenuhi negara. Pembangunan jalan, jembatan, sarana air bersih, listrik, hingga sekolah adalah bentuk pelayanan langsung dari negara kepada rakyat, bukan proyek tender atau kerjasama untung-rugi.
Negara dalam sistem Islam (Khilafah) akan menjadikan pembangunan jalan yang membahayakan rakyat sebagai prioritas utama. Bahkan, jika wilayah tersebut hanya dihuni oleh sedikit orang, namun mereka berisiko terisolasi atau mengalami kecelakaan karena jalan rusak, maka negara wajib turun tangan. Mengapa? Karena satu nyawa rakyat lebih berharga daripada kalkulasi ekonomi.
Selain itu, negara Islam akan mengelola kekayaan sumber daya alam secara mandiri. Tidak diserahkan kepada korporasi, tapi dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kebutuhan umat, termasuk pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah miskin dan terpencil. Dana publik bukan hanya tersedia, tetapi diprioritaskan untuk kebutuhan pokok rakyat.
Penutup
Kondisi jalan rusak yang telah dibiarkan selama hampir satu dekade di Tapin adalah cermin buram dari sistem pengurusan yang belum berpihak sepenuhnya kepada rakyat. Meskipun beberapa langkah perbaikan sudah ada, tapi terasa lamban dan tidak merata.
Saatnya kita bertanya lebih dalam: sampai kapan rakyat harus menunggu jalan yang layak? Sampai kapan nyawa rakyat dipertaruhkan hanya karena jalan berlubang? Apakah sistem saat ini benar-benar mampu menjawab kebutuhan rakyat atau justru memperpanjang derita mereka?
Jika menginginkan sistem yang benar-benar berpihak pada rakyat, maka sudah saatnya membuka mata pada solusi Islam sebagai alternatif yang adil, cepat, dan menyeluruh. Wallahu a’lam bishshawab.