Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kartini Abad 21 : Ketika Literasi Menjadi Senjata di Era Digital

×

Kartini Abad 21 : Ketika Literasi Menjadi Senjata di Era Digital

Sebarkan artikel ini
IMG 20250421 WA0018
Ikhsan Alhaque saat ini menjabat Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banjarmasin

Oleh: Ikhsan Alhaque *)

DI TEPI pantai Jepara, di mana debur ombak bersahabat dengan bisik angin, imajinasi saya melayang membayangkan seorang perempuan muda ningrat Jawa yang resah bernama R.A. Kartini duduk di beranda rumahnya. Bukan dengan kertas dan pena, melainkan sebuah gawai di tangan. Matanya menatap tajam ke horizon, seolah meramalkan gelombang zaman yang akan mengubah makna emansipasi. Dua hari setelah hari lahirnya, dunia juga turut merayakan Hari Buku—sebuah ironi manis bahwa perempuan yang dulu dianggap “terlalu banyak membaca” kini menjadi simbol perlawanan melalui literasi.

Baca Koran

Surat-Surat yang Menjadi Nyala Api

Kartini tak sekadar menulis surat. Ia juga merajut pemberontakan dalam setiap kalimat. Door Duisternis tot Licht bukanlah mantera,” ujarnya dalam bayangan saya, “Ia adalah janji: bahwa setiap perempuan berhak menyalakan obornya sendiri.”

Di era kolonial, literasi adalah senjata untuk melawan kebisuan dan diskriminasi. Ia membaca Multatuli, meneladani Marie van Zeggelen, dan menuliskan kegelisahan pada Stella—sebuah upaya untuk keluar dari sangkar feodalisme.

Tapi Kartini bukanlah romantikus yang terjebak nostalgia. “Lihatlah zamanmu sekarang,” katanya, seolah menuding data BPS 2024: 23 persen, dimana perempuan Indonesia putus sekolah di tingkat SMP. “Akses pendidikan terbuka, tapi apakah kesetaraan gender sudah tercapai? Perempuan kini bisa online setiap waktu, tapi berapa banyak yang suara mereka tenggelam dalam banjir informasi?”

Emansipasi di Ujung Jari

Di sini, dalam bayang-bayang imajinasi, Kartini justru tersenyum. Ia mengeluarkan ponsel dari lipatan kebayanya. “Dulu, aku harus mencuri-curi waktu untuk membaca. Sekarang, ilmu ada di genggaman tangan kita. Tapi hati-hati—scroll media sosial bukanlah literasi.”

Baginya, literasi digital adalah babak baru emansipasi. “Perempuan tak cukup hanya bisa copy-paste atau forward. Mereka harus paham algoritma yang sering membungkam suara perempuan, mengutak-atik coding untuk meretas bias gender, dan menggunakan data untuk melawan narasi usang.”

Baca Juga :  MANUSIA TERBAIK

Tantangannya bukan lagi sekadar melek huruf, melainkan melek kritis : mampu membedakan kabar dan hoaks, membongkar misogini yang terselubung filter Instagram, atau melawan stereotipe di balik iklan online.

“Lihatlah anak-anak muda,” lanjutnya, “Mereka punya kuasa untuk membuat podcast, menulis blog, atau membangun komunitas daring. Tapi jangan lupa : di pelosok Nusantara, masih amat banyak Kartini-Kartini kecil yang kesulitan menangkap sinyal hanya sekedar tahu dunia luar, dimana jaringan internetnya kadang lebih lambat dari langkah siput sawah sekadar menghangatkan dirinya apalagi untuk memenuhi hasrat anak bangsa menuju mimpi mereka.”

Membaca Dunia, Menulis Sejarah

Kartini berdiri, bayangannya menyatu dengan cahaya laptop di meja kayu. “Dulu, aku bermimpi sekolah untuk perempuan. Sekarang, mimpi itu harus lebih liar lagi : perempuan tak hanya jadi pengguna teknologi, tapi arsiteknya. Jangan biarkan literasi digital jadi menara gading bagi kaum urban.”

Ia menunjuk ke layar yang menampilkan webinar tentang kesetaraan gender. “Platform daring ini bisa menjadi ruang belajar tanpa batas, tapi juga bisa jadi ilusi. Emansipasi sejati terjadi ketika seorang ibu di pelosok bisa mengakses e-book gratis, ketika anak perempuan di kampung tak cuma jago selfi tapi juga menganalisis data.”

Warisan yang Tak Pernah Usai

Sebelum percakapan imajiner ini berakhir, Kartini berbisik lirih: “Percayalah, emansipasi bukanlah destinasi—ia adalah perjalanan panjang. Di abadku, kami berjuang membuka pintu sekolah. Di generasi kalian, tugasnya adalah memastikan setiap perempuan bisa menulis takdirnya sendiri, bahkan di ruang digital yang seringkali tak bersahabat.”

Lalu ia menghilang, meninggalkan secarik kertas bertuliskan pesan dalam bahasa Jawa: ꦲꦤꦏ꧀ꦭꦸꦧꦶꦂꦲꦶꦏꦶꦠꦸꦲꦤꦺꦴꦏꦿꦶꦠꦶꦏ꦳ꦴꦏ꦳ꦴ (Anakku, tuliskan sejarahmu dengan tinta yang tak mudah luntur).

Epilog: Menjadi Kartini di Era Algoritma

Baca Juga :  Korporasi Pertanian, Solusi Untuk Ketahanan Pangan?

Di tangan generasi milenial, literasi bukan lagi tentang merangkai kata di atas kertas. Ia adalah keberanian untuk live IG kasus ketidakadilan, mengubah status medsos menjadi petisi, atau merancang aplikasi yang memberdayakan perempuan marginal. Masalahnya kini lebih kompleks: bukan hanya kolonialisme fisik, tapi kolonialisasi algoritma.

Tapi seperti kata Kartini: “Api kecil lebih baik daripada kegelapan.” Mungkin di era digital, setiap postingan yang bernas, setiap unggahan yang menyentuh nurani, dan setiap kode program yang inklusif adalah cara baru menyalakan obor itu.

Di hari ulang tahunnya yang ke-146, mari kita tak hanya mengenang Kartini, tapi menjadikan literasi sebagai napas untuk melanjutkan revolusi yang ia mulai—dari layar ponsel hingga lorong-lorong paling gelap di dunia maya.

Saatnya, perempuan BANGKIT, Indonesia MAJU.
Banjarmasin, 21/04/2025.

Iklan
Iklan