Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mempertanyakan Nobel Perdamaian

×

Mempertanyakan Nobel Perdamaian

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel

Sebelum pecahnya perang saudara dan kemudian gempa dahsyat yang menimpa Myanmar dan Thailand akhir-akhir ini, di Myanmar telah terjadi peristiwa kemanusiaan yang sangat menyayat hati dan itu berlangsung sudah puluhan tahun.

Baca Koran

Penderitaan muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine Myanmar benar-benar di luar batas perikemanusiaan. Mereka terbunuh, terusir, rumah dan kampung dibakar, ditolak negara tetangga, terombang ambing di laut dalam perahu kecil sarat penumpang, tenggelam, tewas dan berbagai penderitaan lain. Orang-orang tua, orang sakit, wanita dan anak-anak hidup dalam tenda-tenda pengungsian. Amnesti Internasional menuduh tentara Myanmar juga memasang ranjau darat di perbatasan, namun tuduhan ini dibantah Myanmar. Apapun adanya, semua ini mimpi buruk yang masih terjadi di era modern.

Masyarakat dunia marah, tak hanya kalangan muslim tapi juga lintas agama. Bahkan para biksu Budha di Indonesia ikut mengutuk dan berusaha memberikan simpatinya. Apa yang terjadi di Myanmar harus dilokalisasi dan bukan mencerminkan kebencian suatu agama kepada agama lain. Terlebih agama Budha yang selama ini kental dengan ajaran-ajaran kasih sayang dan kemanusiaan.

Simpati dunia pada muslim Rohingya dan kecaman keras terhadap pemerintah Myanmar, karena kepedihan yang dialami ratusan ribu jiwa manusia itu justru terjadi di Myanmar, negara yang sejak 2015 dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, tokoh wanita yang pada 1991 mendapat penghargaan tertinggi dunia Nobel Perdamaian. Hadiah Nobel diberikan kepada Suu Kyi karena jasanya menggerakkan revolusi damai dan bijaksana dalam melawan junta militer Myanmar sejak era 1970-an.

Tak hanya itu, pada 2012 ia juga mendapatkan Havel Price, sebuah penghargaan dunia atas kegigihannya memperjuangkan hak asasi manusia. Suu Kyi yang berkali-kali masuk penjara, dikenal gigih menyerukan perdamaian dan HAM, bahkan di balik penjara pun ia menyuarakannya.

Sebelum dunia melihat peristiwa Rohingya yang sesungguhnya, nama Suu Kyi cukup harum. Ia putri Jenderal Aung San (13 Februari 1915-19 Juli 1947). Aung San, salah seorang tokoh pejuang kemerdekaan Burma tewas enam bulan sebelum Burma (kini Myanmar) merdeka dari jajahan Inggris. Akibat pertikaian politik pascamerdeka, Suu Kyi yang bersuami pria Inggris tidak diberi peluang berkuasa oleh junta militer sejak Presiden Ne Win. Karena kegigihannya berjuang, banyak orang bersimpati kepada Suu Kyi dan partainya, dan berharap jika ia berkuasa, Myanmar lebih baik dan HAM lebih terlindungi.

Baca Juga :  ZUHUD DI ERA MODERN

Aneh, ketika partainya memenangkan Pemilu Myanmar 2015 dan Suu Kyi menjadi pemimpin de facto tertinggi negara itu, ia justru membiarkan pelanggaran HAM berat terjadi. Ia tidak berbuat banyak untuk mencegah penderitaan dan penindasan yang sekian lama diderita muslim Rohingya, padahal ia pasti mampu melakukannya. Suu Kyi seolah mencari pembelaan dan pembenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi.

Tak Bisa Ditarik

Melihat fakta yang berlawanan, banyak kalangan melakukan protes keras. Pendemo, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain menyerukan agar Nobel Perdamaian yang terlanjur diterima Suu Kyi dicabut saja. Ketua Umum PB-NU Said Aqiel Siradj mengatakan, percuma Nobel Perdamaian kalau Suu Kyi tidak menciptakan suasana damai melindungi etnis Rohingya.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam (ISESCO) yang bernaung di bawah Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan beranggotakan 52 negara juga meminta Panitia Nobel di Norwegia mencabut Nobel Perdamaian yang pernah diterima Suu Kyi, sebab keadaan di Myanmar berbanding terbalik dengan prinsip perdamaian dan HAM.

Namun prosedur yang berlaku dalam pemberian Nobel tidak mengenal istilah penarikan atau pencabutan. Hadiah Nobel yang diabadikan dari Alfred Nobel, seorang penemu dinamit dan industrialis, merupakan penghargaan terhadap orang-orang yang memberi kontribusi besar bagi dunia dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, sastra dan perdamaian. Alfred Nobel prihatin karena dinamit yang ditemukannya, yang semula dimaksudkan untuk kemanusiaan dan perdamaian justru digunakan untuk senjata, penghancuran dan pemusnahan. Karena itu ia berwasiat agar harta warisannya dijadikan hadiah untuk orang-orang yang berjuang demi kemanusiaan.

Semula Raja Oscar II dari Norwegia hanya mengkhususkan Hadiah Nobel untuk orang-orang Norwegia, tetapi kemudian diperluas untuk dunia. Nobel diberikan sejak 1901 sampai sekarang, setahun sekali setiap 10 Desember sebagai hari wafatnya Alfred Nobel.

Para nominee dipertimbangkan oleh Panitia Nobel, Norwegia Nobel Committee. Menurut Gunnar Stalsett, anggota Panitia Nobel 1991 yang menghadiahkan Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi, Nobel bidang apa pun, termasuk bidang perdamaian, diberikan kepada tokoh yang masih hidup dan dipertimbangkan saat hadiah itu diberikan, dengan melihat rekam jejak sang tokoh sebelumnya. Adapun peristiwa kemudiannya, Panitia Nobel tidak bertanggung jawab lagi. Karena itu tak ada prosedur pencabutan gelar dan hadiah untuk penerima Nobel. Ia mengaku penganugerahan Hadiah Nobel bukanlah deklarasi suci yang tanpa cacat.

Baca Juga :  Radikalisme untuk Siapa?

Berbeda dengan orang-orang yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, meski pertimbangannya juga rekam jejak selama hidup, namun penganugerahannya setelah sang tokoh wafat. Mengingat Hadiah Nobel diberikan saat sang tokoh hidup, perubahan di masa setelahnya bisa saja terjadi.

Mendesak Dunia

Melihat hal di atas, pencabutan Hadiah Nobel untuk Suu Kyi sebagaimana desakan banyak kalangan, tidak akan berhasil, sebab tidak ada syarat dan aturan seperti itu. Menlu AS mendiang Henry Kissinger dan Presiden Barack Obama juga pernah diusulkan untuk dicabut Nobel Perdamaian untuknya, tetapi tak berhasil.

Mungkin ke depan perlu diberi syarat, orang yang diberi hadiah Nobel Perdamaian harus benar-benar memperjuangkan perdamaian dan HAM. Kalau tidak, gelarnya akan dicabut. Nobel bidang lain seperti fisika, kimia, kedokteran dan sastra tentu tak ada masalah. Untuk perdamaian, komitmen begini penting digariskan, tetapi ini sebatas harapan.

Lebih efektif masyarakat dunia mendesak PBB melakukan diplomasi total dan mengirim militer multinasional agar tentara Myanmar tidak represif. Bahkan TNI pun siap dikirim jika PBB meminta. Etnis Rohingya yang terusir harus dilindungi dan dikembalikan dengan hak-hak yang sama seperti etnis-etnis Myanmar lainnya. Harus dipastikan etnis Rohingya diakui sebagai warganegara, sebab mereka berjumlah jutaan orang dan sudah ratusan tahun hidup di Myanmar. PBB menggariskan setiap orang, etnis dan bangsa harus memiliki kewarganegaraan, bukan stateless sebagaimana nasib etnis Rohingya.

Sejauh ini Indonesia sebagai rumpun ASEAN lebih diterima Myanmar. Kita menghargai pemerintah Indonesia, khususnya Menlu RI era Presiden Joko Widodo, Retno Marsudi yang sangat gigih melakukan upaya-upaya diplomasi mengatasi krisis Rohingya. Usaha Indonesia harus juga didukung negara-negara lain. Turki, Iran, Malaysia dan lainnya sudah menyatakan dukungannya. Diharapkan semua langkah makin konkret dan solutif bagi penyelesaian krisis Rohingnya secara permanen. Semoga.

Iklan
Iklan