Oleh : Jummy
Aktivis Dakwah
Mudik Lebaran telah menjadi tradisi tahunan yang melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, setiap tahun pula, permasalahan klasik dalam sektor transportasi kembali mencuat: kemacetan, lonjakan harga tiket, kecelakaan, hingga maraknya travel gelap. Alih-alih menikmati perjalanan pulang kampung dengan tenang, masyarakat justru harus berjibaku dengan berbagai tantangan yang seolah tak kunjung terselesaikan.
Pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan selama Ramadan dan menjelang Idulfitri 1446 Hijriah, seperti pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) serta diskon tiket mudik. Namun, kebijakan ini belum cukup untuk menjawab tantangan utama, yaitu jaminan keamanan dan kenyamanan transportasi bagi seluruh rakyat.
Ketimpangan Transportasi
Salah satu fenomena yang kembali menjadi sorotan adalah maraknya travel gelap. Alih-alih dianggap sebagai solusi alternatif, keberadaan travel gelap sejatinya merupakan bukti nyata bahwa kebutuhan transportasi publik belum terpenuhi dengan baik.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai bahwa maraknya travel gelap bukanlah inovasi, melainkan tanda bahwa layanan angkutan umum belum merata hingga ke pelosok daerah. Ketimpangan dalam akses transportasi ini membuat masyarakat terpaksa memilih opsi yang lebih fleksibel, meski harus mengorbankan aspek keselamatan dan kepastian hukum.
Di sisi lain, meningkatnya jumlah pemudik pada H-9 sebelum Lebaran menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang memilih mudik lebih awal demi menghindari kepadatan. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan, Budi Rahardjo, menyampaikan bahwa strategi ini diharapkan mampu mengurangi kepadatan di hari-hari tertentu.
Namun, mengandalkan strategi mudik lebih awal sebagai solusi atas permasalahan transportasi jelas bukan pendekatan yang ideal. Akar masalahnya adalah sistem transportasi yang belum mampu menjamin layanan yang memadai bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama di masa puncak arus mudik.
Transportasi
Berbagai persoalan dalam sarana transportasi, terlebih pada masa mudik, tidak bisa dilepaskan dari buruknya tata kelola transportasi dalam sistem kapitalisme-sekuler. Dalam sistem ini, transportasi dipandang sebagai sektor bisnis yang menguntungkan, sehingga pengelolaannya banyak diserahkan kepada pihak swasta.
Pemerintah lebih berperan sebagai regulator daripada penyedia layanan utama. Akibatnya, harga tiket transportasi menjadi fluktuatif dan cenderung mahal saat permintaan meningkat. Tidak heran jika banyak masyarakat yang akhirnya beralih ke moda transportasi ilegal seperti travel gelap, meskipun risikonya tinggi.
Selain itu, ketimpangan pembangunan infrastruktur membuat banyak daerah masih sulit dijangkau oleh transportasi umum yang layak. Hal ini turut memperkuat tren urbanisasi, dimana masyarakat dari desa dan daerah terpencil memilih mencari penghidupan di kota besar. Akibatnya, tradisi mudik menjadi tidak terelakkan karena masih banyak perantau yang harus kembali ke kampung halaman untuk bersilaturahmi saat Lebaran.
Pandangan Islam
Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam mengatur transportasi. Dalam Islam, transportasi adalah fasilitas publik yang tidak boleh dikomersialkan. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan transportasi yang aman, nyaman, murah, serta tepat waktu.
Meski pembangunan infrastruktur memang membutuhkan biaya besar dan perencanaan yang matang, Islam tidak membenarkan penyerahan sektor transportasi sepenuhnya kepada swasta. Negara harus menjadi pihak yang bertanggung jawab penuh dalam penyediaan dan pengelolaan transportasi publik.
Negara bertanggung jawab untuk menjamin transportasi yang memadai bagi seluruh rakyatnya. Transportasi bukan sekadar bisnis, melainkan kebutuhan dasar yang harus disediakan oleh negara secara adil dan merata.
Islam memastikan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya berfokus pada kota-kota besar. Seluruh daerah, termasuk pelosok, harus mendapatkan akses transportasi yang sama baiknya. Hal ini akan mengurangi ketimpangan ekonomi dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada kota-kota besar.
Negara dalam sistem Islam tidak akan membiarkan harga tiket melonjak tinggi hanya karena permintaan meningkat. Harga transportasi akan diatur agar tetap wajar dan tidak membebani rakyat, terutama di momen-momen penting seperti mudik Lebaran.
Islam tidak hanya menekankan aspek keterjangkauan transportasi, tetapi juga memastikan bahwa keamanan dan kenyamanan pengguna terjamin. Pemerintah wajib menyediakan armada yang layak, jalur transportasi yang aman, serta fasilitas yang menunjang kenyamanan perjalanan.
Negara Islam memiliki berbagai sumber pemasukan yang halal dan beragam, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam dan pendapatan dari sektor kepemilikan umum. Dengan sumber dana yang kuat, negara mampu membangun dan mengelola sistem transportasi yang unggul tanpa harus bergantung pada investasi swasta.
Mudik Lebaran seharusnya menjadi momen kebahagiaan bagi masyarakat, bukan justru menjadi beban yang penuh risiko. Sayangnya, sistem transportasi yang dikelola dalam kerangka kapitalisme-sekuler telah gagal memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi rakyat.
Maraknya travel gelap, lonjakan harga tiket, dan buruknya infrastruktur adalah bukti nyata bahwa pemerintah belum mampu memenuhi hak dasar rakyat dalam hal transportasi. Selama sistem ini masih diterapkan, permasalahan serupa akan terus berulang setiap tahunnya.
Islam menawarkan solusi yang lebih baik dengan menempatkan transportasi sebagai fasilitas publik yang harus dikelola oleh negara secara penuh. Dengan sistem ini, seluruh rakyat akan mendapatkan layanan transportasi yang layak, aman, nyaman, dan terjangkau tanpa harus bergantung pada mekanisme pasar yang sering kali tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Wallahu a’lam bish-shawab.