Oleh : AHMAD BARJIE B
Ketika orang menuntut ilmu agama, hendaklah hati direndahkan dan dijernihkan, supaya ilmu masuk ke dalam hati dan tertanam dengan kuat. Jangan banyak bicara, tertawa, apalagi kalau sampai memprotes atau mengomel kepada ulama atau guru yang mengajar. Kalau ingin menuntut ilmu secara benar dan ingin mendapatkan kebenaran dan berkah, maka hati harus bersih, jauhkanlah diri dari sifat jahil yang dungu. Kedunguan (hamaqah) itu misalnya seseorang baru sedikit belajar ilmu umum atau ilmu agama, baru sedikit berguru, tetapi sudah berani mengkomplain (melawan, menolak atau memprotes) orang yang sudah lama menuntut ilmu dan ahli di bidangnya, atau banyak gurunya. Sikap seperti ini akan menjauhkan seseorang dari ilmu dan kebenaran, karena itu sebaiknya tidak usah diladeni. Nabi Isa as mengatakan, “Aku tidak lemah daripada menghidupkan orang yang telah mati (atas izin Allah), tetapi aku tidak akan berhasil mengobati orang yang dungu”.
Orang yang jahil masih mau belajar, masih mau mendengar pendapat orang lain, mereka ini dapat diobati karena ia benar-benar tidak tahu, lalu ingin mencari petunjuk dan kebenaran dari orang yang tahu dan ahli di bidangnya. Tetapi orang dungu tidak mau menerima pelajaran dan kebenaran dari orang yang sudah ahli di bidangnya, baik orang yang dungu itu sudah atau belum tahu, karena dalam dirinya ada sifat hasad, dengki, sombong dan keras kepala. Mungkin dungu seperti inilah yang dimaksud oleh Rocky Gerung, dalam banyak perkataan, ungkapan dan ceramahnya.
Prof Dr Eng Burhanuddin Jusuf Habibie mengatakan, 30 orang profesor dapat ditundukkan dengan satu fakta kebenaran, karena profesor yang benar itu dapat menerima kebenaran. Tetapi satu orang yang bodoh tidak akan mau menerima kebenaran meskipun disampaikan oleh 30 orang profesor, karena matahatinya sudah budeg dan akal sehatnya sudah mati. Karena itu jangan berdebat dengan orang bodoh.
KH Ilham Humaidi dari Banjarmasin, dalam satu ceramah-pengajian menyatakan, di antara adab murid kepada guru adalah rendah hati dan tidak berlagak tahu, walaupun ia mungkin sudah tahu tentang apa yang diajarkan oleh guru. Meskipun guru mengulang pelajaran sampai seratus kali, perhatian murid tetap penuh sama seperti ia mendengar pertama kali. Ibarat sebuah gelas yang sudah berisi air, maka agar “air ilmu” bisa masuk gelas itu harus dikosongkan dulu. Belajar suatu ilmu makin sering diulang makin baik. Hal ini sejalan dengan peribahasa, lancar kaji karena diulang, lancar jalan karena ditempuh.
Ali bin Abi Thalib menyatakan, kalau ada guru yang mengajarinya satu huruf saja, maka ia adalah budak dari guru tersebut, maksudnya bersedia mengabdi dan disuruh apa saja oleh guru tersebut. Dalam sebuah pengajian ba’da Jumat di rumah Bapak Iwan Wahyudi (Kompleks Bintang Mas Residence 2 Banjarmasin, 17-2-2023), seorang habib mengisahkan tentang Sayyid Muhammad Ali al-Maliki, ulama besar di Makkah. Suatu kali beliau bepergian bersama supirnya. Di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang tua yang berjalan kaki. Sayyid Muhammad Ali langsung turun dari mobil, lalu melepas jubah dan serban/bolangnya (imamah), kemudian berjalan kaki sambil menuntun orang tua itu sampai ke rumah. Ketika ditanya orang, mengapa beliau bersikap demikian, beliau menjawab, orang itulah dulu yang pernah mengajarinya membaca huruf-huruf hijaiyah Alquran, alif ba ta tsa dan seterusnya, sehingga jasanya sangat besar.
Habib tersebut mengisahkan lagi, Habib Abdurrahman Masyhur adalah seorang ulama terkenal di Hadramaut Yaman. Banyak murid berdatangan untuk berguru kepadanya, dari dalam dan luar negeri. Lantas datang seorang calon murid anak seorang ulama besar pula. Lalu guru tersebut menyuruh calon muridnya itu pergi ke pasar untuk membeli ikan kering, dengan syarat membeli sendiri dan ikan tersebut tidak dimasukkan dalam tas, kantongan atau sejenisnya, melainkan dimasukkan dalam baju, yang tentu berakibat bajunya kotor dan berbau. Ketika si murid pergi ke pasar, banyaklah orang terkejut karena si murid tidak pernah sekali pun ke pasar sebelumnya, dan mereka pun berebut melayani karena tahu anak itu putra seorang ulama besar, bahkan ada yang ingin mengantarkan ikan yang dibelinya langsung ke rumah. Tetapi si murid menolak, ia membeli sendiri ikan dimaksud dan memasukkan ke dalam saku bajunya. Ketika tiba di depan Abdurrahman Masyhur, sang guru tersebut tersenyum dan baru mau mengajarinya sesuatu ilmu. Hal itu dimaksudkannya untuk menguji dan menghilangkan kalau-kalau ada sifat ego atau merasa mulia pada diri anak tersebut, karena ia anak seorang ulama besar.
Seorang murid Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul) dalam sebuah ceramah haulan Guru Sekumpul yang ke-18 di bulan Rajab 1444 H bercerita bahwa saat menjadi santri di Ponpes Darussalam, Muhammad Zaini adalah santri paling pandai, berakhlak mulia dan wara’. Rata-rata santri saat itu mampu menamatkan pelajaran di Darussalam selama 10 tahun. Namun oleh guru-guru beliau yang rata-rata mualim besar, Muhammad Zaini baru diluluskan setelah 11 tahun, jadi lebih lama daripada teman-teman beliau. Ternyata hal ini antara lain dimaksudkan agar Muhammad Zaini bisa lebih lama bersama para mualim dan mereka ingin mewariskan ilmu yang lebih banyak lagi kepada beliau.
Menaati suruhan guru seringkali membawa keberuntungan, hikmah dan berkah tersendiri. Dikisahkan oleh KH Fakhruddin Noor (Guru Tungkal), dalam satu ceramahnya di Masjid At-Taqwa Banjarmasin 11 Rajab 1445 H /22 Januari 2024, bahwa di masa mudanya ia disuruh oleh gurunya KH Muhammad Ali Wahab (1934-2011) untuk berjualan cakuduk (semacam pisang goreng yang diiris-iris kecil dicampur tepung) di Pondok Pesantren Al-Baqiyyatus Shalihat Kuala Tungkal yang diasuh sang kyai. Sebagai guru yang masih muda sebenarnya ada rasa gengsi, namun karena guru yang menyuruh, maka beliau bersama istri harus mengerjakan dengan ikhlas. Selanjutnya juga disuruh berjualan bubur ayam. Tapi justru dari hasil berjualan bubur itu akhirnya di tahun 2005, Guru Tungkal bisa naik haji. Karena itu sambil guyon, ia menyatakan, kalau ada serial sinetron di televisi berjudul “Tukang Bubur Naik Haji”, sebenarnya ia berhak menjadi artisnya, karena yang dialaminya nyata adanya, bukan fiksi. Guru Tungkal (asal Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi) yang berdarah Banjar dan sangat akrab dengan bahasa Banjar ini, juga menceritakan bahwa KH Muhammad Ali Wahab dulu juga sering menyuruhnya berceramah, padahal awalnya tidak bisa berceramah. Tapi akhirnya, karena suruhan guru, ia bisa berceramah, hingga diundang ke berbagai daerah, termasuk ke banua Banjar Kalsel yang merupakan daerah asal leluhurnya.