Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Keagamaa
Konsep luhur Islam tentang pergaulan antar keyakinan agama yang berbeda sudah sudah lebih dahulu dipraktikkan Nabi, sahabat dan khalifah dalam perjalanan sejarah kemudian. Nabi ketika kecil sudah berada di lingkungan demikian. Pamannya Abu Thalib yang mengasuh dan jadi pelindungnya tidak seiman dengan Nabi, bahkan sampai akhir hayatnya. Walau Nabi sedih, namun beliau pasrah, karena itu realitas.
Awal menerima wahyu, Nabi dan istri beliau Khadijah berkonsultasi dengan Warqah bin Naufal, seorang Nasrani yang menguasai kitab-kitab terdahulu. Warqah memberi tahu, bahwa beliau adalah nabi akhir zaman, dan ingin membantu dakwahnya, namun ia keburu meninggal karena usia tua.
Ketika Nabi hijrah ke Madinah beliau ditemani Abdullah bin Uraiqith, seorang musyrik, dialah berjasa sebagai guide, dan karena jasanya ia diberi upah oleh Nabi, tanpa mengutak-atik kemusyrikannya. Dalam Perang Hunain, Nabi juga bersekutu dengan Shafwan bin Umaiyah, seorang Yahudi. Karena ia berniat baik membantu Nabi, maka beliau tak keberatan bersekutu dengannya, tanpa mempersoalkan keyahudiannya. Karena keahlian Shafwan dalam perang, maka ia pun mendapat bagian dari ghanimah (harta rampasan perang).
Ketika Nabi wafat, baju besi beliau sedang tergadai dengan seorang tetangga yang beragama Yahudi. Ini menunjukkan betapa dalam bermuamalah, Nabi tidak mempersoalkan pluralitas agama, bahkan menjalin kerukunan dengannya.
Realitas kehidupan di Madinah pada awal terbentuknya pemerintahan Islam pun, sangat diwarnai keragaman. Di situ ada muslim Muhajirin dan Anshar, Yahudi, dan Kristen. Nabi menjalin kerukunan dengan mereka, membentuk Piagam Madinah, yang pada intinya menerima hak-hak individu dan golongan, namun tetap dalam semangat kerukunan dan persatuan. Untuk itu, Nabi mengajurkan agar di antara tetangga saling bersaudara dan mengasihi. Anjuran Nabi kalau memasak diperbanyak airnya (kuahnya) agar bisa memberi tetangga, tidak terlepas dari upaya merajut kerukunan ini.
Para khalifah kemudian, juga demikian. Umar bin Khattab misalnya, punya beberapa pembantu rumah tangga nonmuslim. Di antaranya Asbaq, seorang Kristen. Ia berkata: aku dahulu hamba sahaya Umar, dan Umar mengajakku masuk Islam, tapi aku menolak. Umar hanya berkata: tidak ada paksaan dalam agama.
Ketika penaklukan Jerusalem (637 M), Uskup Agung Sophronius menawari Umar kalau mau shalat di gereja. Umar menolak, tapi hanya shalat di sampingnya. Umar menjelaskan, hal itu agar di kemudian hari tidak ada umat Islam merampas gereja untuk dijadikan masjid. Di kalangan dunia Kristen, figur Umar sangat dihormati karena toleransinya yang besar terhadap penganut agama lain. Umar termasuk di jajaran tokoh dunia berpengaruh sebagaimana tertuang dalam The 100, karya Michael H Hart.
Harun al-Rasyid, seorang Khalifah Bani Abbaiyah, punya dokter pribadi Hunain bin Ishak, seorang Kristen. Hubungan keduanya tidak pernah terganggu, bahkan sangat akrab. Hunain dianggap sebagian bagian dari keluarga besar khalifah.
Jika konsep luhur ajaran Islam tersebut mampu diterapkan, tentu sangat membantu menumbuhkan harmoni dan kerukunan. Namun itu saja tentu tidak cukup. Sebab ajaran agama tidak berbanding lurus dengan perilaku penganutnya. Di samping itu ada banyak faktor lain penyebab konflik dan disharmoni.
Meminjam pendapat Abdul Haris Nasution, penyebab konflik yang paling potensial adalah kesenjangan dan ”ketidakadilan sosial.” Untuk itu tentu pemerintah dituntut untuk lebih konsisten dalam mewujudkan keadilan sosial yang merata dalam berbagai aspeknya. Kebijakan beserta penerapannya harus lebih berpihak kepada rakyat banyak, yang miskin dan lemah. Penegakan hukum juga harus dikedepankan tanpa pandang bulu.
Menurut Frans Seda, kita jangan melarang orang untuk kaya. Itu tidak benar. Tapi pemerintah jangan mengurus orang yang sudah kaya. Yang harus diurus adalah orang kecil, lemah dan miskin. Sekarang justru terbalik, ujarnya. Pemerintah cenderung memanjakan orang kaya.
Bagi yang sudah kaya, baik seagama atau bukan, tentu dibutuhkan kesediaanya mengorbankan sebagian kekayaannya. Tidak berambisi untuk menumpuk kekayaan hingga tujuh turunan. Jika kesejahteraan sosial semakin merata, maka kecemburuan sosial dan sejenisnya yang dapat memicu konflik dan kerusuhan akan dapat dikurangi.